Pages

Thursday, May 29, 2008

Di Bawah Pohon Rindang


Sebagian peserta 17 agustusan 2006 menunggu di bawah kerindangan pohon di depan rumah.

Pohon itu terpaksa kami tebang tahun kemarin, karena akarnya yang besar ‘bertarung’ dengan tembok pagar kami. Sudah beberapa kali tembok pagar kami perkuat, tapi kalah juga. Akhirnya dengan berat hati keputusan kami ambil untuk menebangnya.
Pohon itu 12 th yang lalu ketika kami mulai tinggal di sini tingginya tak lebih dari leher saya dan diameternya sebesar jempol kaki saya. 12 th kemudian diameter bagian bawahnya kira-kira 40 cm dan tingginya menjulang melebihi atap rumah. Daunnya yang rimbun tempat banyak burung bersarang. Pernah suatu ketika suami saya memangkas daun-daunnya dan di salah satu cabang ternyata ada sarang burung berisi 2 ekor anak burung yang belum bisa terbang. Kami baru menyadarinya ketika ada ciap-ciap kecil dari gundukan daun yang telah dipangkas. Suami saya berusaha mengikatkannya kembali ke dahan tertinggi di mana jauh di atas pohon ada seekor burung (induknya?) tampak cemas memutari pohon berkali-kali.

Pohon yang saya tak tahu namanya itu, berbuah kecil lonjong seperti anggur tapi warnanya kehitaman, daunnya sepintas seperti daun mangga. Saya pernah melihat yang seperti itu tapi jauh lebih ‘raksasa’ di kebun Raya Bogor. Tingginya mungkin lebih dari 3 kali lipat pohon saya, dan diameternya perlu 2 orang untuk memeluknya. Dan karena pohon yang saya lihat itu masih ‘sehat’ mungkin saja dia akan tumbuh lebih meraksasa lagi. Saya baca dari salah satu buku milik Donna, bahwa tanaman akan tumbuh terus sampai dia mati. Wow!
Sekarang depan rumah saya terasa panas, tak ada kicau burung yang bersarang di pohon lagi. Orang yang lalu lalang pun mengeluh kehilangan keteduhannya ketika melintas.

Pohon itu sangat berjasa menyukseskan 2 kali acara 17 agustusan yang saya selenggarakan dengan keteduhannya yang menaungi anak-anak peserta dan para supporter.
Andai dia bisa bercerita tentu banyak kisah menarik yang akan kita dapatkan. Mungkin cerita tentang entah berapa ratus anak burung yang menetas lalu belajar terbang di situ. Atau kisah duka induk burung yang kehilangan sarang beserta anaknya karena ‘diculik’ anak-anak kampung yang ingin memilikinya. Juga kisah kasih PRT mantan tetangga (yang sudah pindah) dengan kekasihnya. Mereka lalu menikah, dan sekarang dia membantu saya tiap pagi sebelum dia berangkat kerja ke pabrik.

Batang pohonnya yang besar itu lalu diminta seseorang untuk dipotong-potong menjadi kayu bakar. Ada rasa sedih sebetulnya menyaksikannya berubah menjadi potongan kayu bakar, sebentar lagi dia akan menjadi abu yang kemudian tertiup angin, tak berbekas…

Bukannya saya tak menanam pohon pengganti. Tapi penggantinya ini, pohon belimbing cangkokan yang saya beli setinggi dada, tak bisa tumbuh lebih tinggi dari pagar pelindungnya yang setinggi leher. Para kambing selalu menghabiskan pucuk-pucuk daunnya.
Sebetulnya di pinggir jalan sudah ada pengumuman “Dilarang Menggembalakan Ternak Di sini”. Tapi para penggembala kambing itu tak mengindahkannya, apalagi kambing-kambingnya…
Apa boleh buat!

3 comments:

ats89 said...

Ie, ni alice.. keren-keren ie.. rajin nih, masih sempet nulis2 di tengah kesibukan.. hoho.. tapi koq ga ada foto sekeluarganya ie? haha.. bagus ie, artikelnya ditambah terus.. ok, sampe ketemu di bandung nanti ya..

https://drawingofmind.blogspot.com said...

foto sekeluarga? ntar ya... tunggu aja,he..he.. belum dibikin soalnya :D
jgn lupa booking kamar utk tgl 6,eh..udah booking dari 4 bln yg lalu kan?

Anonymous said...

hehehe.. aku takut nya cik Lien lupa, hihihihi... jd ya jelas2in dulu aja :)))
wah, aku dah lamaaa gak nulis blog cik... hehehe.. trus blognya juga friends only sich jadi sing mau baca harus bikin account dulu di Livejournal.com, tp juga itu udah gak pernah di update2 terus koq.. pemalesan, hihihi... lamaaa sihh kalo harus nulis2.. kadang suka bingung lagi mau nulis apa... kalo baca2 sich sering, hehehehe...
(Lie Siang)