Monday, May 5, 2008
Kerlip Bintang Di atas Sana...
Pada terapi yang pertama dijalani Liza saya merasa mulai bersemangat, merasa mendapat pertolongan. Di rumah semua tugas yang diberikan terapis selalu saya kerjakan dengan penuh semangat.
Tapi kadang waktu terasa berjalan sangat lambat. Kemajuan terasa tidak sejalan dengan stock kesabaran saya yang ada.
Rasa tertekan dan kesedihan mulai mendera , bahkan terasa lebih kuat dari semangat yang ada.
Dulunya sebelum saya punya Liza, saya adalah seorang karyawan di suatu biro bangunan . Ya, saya seorang desainer struktur bangunan sesuai dengan latar belakang pendidikan saya di teknik sipil.
Tiba-tiba saya merasa terdampar di jurang yang sangat dalam , yang begitu gulita sehingga saya tak bisa melihat apapun. Tak tahu kepada siapa saya bisa minta tolong , tak tahu kemana kaki harus melangkah , tak tahu dari siapa saya akan mendapatkan jawaban , dan yang paling buruk , saya bahkan tak tahu harus berbuat apa!
Komunikasi dengan suami terasa mahal , karena kami harus melalui telpon interlokal Jakarta- Jawa Timur , pun sulit untuk bisa menjelaskan sedetail mungkin keadaan yang ada .
Pertanyaan-pertanyaan “kenapa saya” , “apa salah saya” tidak pernah lepas dari kepala saya , setiap saat.
Ketika merasa benar-benar tak tahu harus berbuat apa di dalam jurang kekelaman , saya mencoba “mencari” , adakah seberkas cahaya… atau bahkan hanya kerlip bintang kecil yang bisa menunjuk ke mana arah yang benar.
Ternyata ada! Bahkan kerlip bintang yang demikian kecil terasa begitu terang di atas gulita yang menyelimuti. Liza dengan kemajuannya yang mungkin tak terlalu signifikan bagi orang lain, itulah dia ! Saya membayangkan betapa berlipat-lipat lebih berat beban yang Liza tanggung dengan segala keterbatasannya daripada saya. Dan dengan itupun dia masih bisa memperlihatkan adanya kemajuan , jadi apa lagi yang harus saya tunggu . Saya harus bangkit lagi ! Kubisikkan ke telinganya “Mari ,nak , kita bersama mulai mengarungi samudra kehidupan “.
Walau keputusan untuk bangkit telah diambil , peperangan di batin saya tentang “mengapa saya?” dan “mengapa bukan saya?” terus berlangsung. Perlu waktu yang berbilang tahun untuk saya sampai akhirnya saya bisa bangkit tegak berkata dengan sepenuh hati “ Ya, kenapa bukan saya?”. Tentu Tuhan telah menyiapkan saya lama sebelumnya untuk semua ini ,dan saya perlu menjalani semua proses ini untuk bisa sampai di sini. Before you discover, you must explore. Yes, it’s true.
Di tempat terapi saya pun jadi bisa merasa “saya tidak sendiri” , apalagi setelah ikut komunitas ,baik POTADS/Persatuan Orang Tua Down’s Syndrome maupun ISDI/Ikatan Sindroma Down Indonesia.
Saya lihat banyak yang jauh lebih tua dari Liza , ada yang perkembangannya cukup baik karena tertangani baik (dalam arti orangtuanya sungguh terlibat penuh) dan ada juga yang kurang.
Tekad saya bulatkan , jangan sampai hidup Liza diisi hal yang sia-sia , saya harus selalu mencari, mencari , dan mencari agar hanya yang terbaik yang saya berikan untuknya.
Dengan adanya 2 lubang di jantung Liza waktu bayi, saya menjadi orang yang “aneh”. Kalau Liza sedang tidur di sebelah saya , berkali-kali saya mengecek , masihkah dia bernafas ? Bahkan saya sering tak mempercayai hasil pandangan mata saya sendiri , masih memerlukan tangan saya untuk merabanya. Kadang-kadang di kala saya tertidur malam pun saya bisa terbangun sekadar untuk memastikannya baik-baik saja.
Walau saya tampak sangat care dengannya, saya juga bersikap keras padanya . Awalnya adalah ada kata-kata seorang terapis fisik (sebetulnya bukan ditujukan pada saya , tetapi pada seorang orang tua yang tidak melatih anaknya di rumah dengan alasan tidak tega) :” Lebih baik kita melihatnya menangis sekarang dari pada nanti , ketika menangis pun tak ada gunanya”.
Waktu itu saya berpikir, betul juga , lebih baik saya melatih Liza dengan keras daripada terlambat. Akhirnya saya melatihnya dengan keras.
Setelah saya mengenal metode yang lain , saya baru merasa betapa saya telah tersesat . Penyesalan saya tentang hal ini tak ada habisnya sampai saat ini. Berhari-hari saya minta maaf pada Liza ,ketika dia ada di pelukan saya.., bahkan ketika dia sedang tidur.. “Maafkan ketidaktahuan mamamu, mama memang masih harus banyak belajar”.
Ah andai saja ………..
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment