Pages

Wednesday, December 5, 2012

What About Socialization?

Temanku Wiwiet memuat ulang tulisan ini. Dan aku masih suka membacanya lagi dan lagi.


What about socialization?
http://www.geocities.com/mhfurgason/hug/socialization.html

Author Unknown

Two women meet at a playground, where their children are swinging and
playing ball. The women are sitting on a bench watching. Eventually,
they begin to talk.

W1: Hi. My name is Maggie. My kids are the three in red shirts
–helps me keep track of them.

W2: (Smiles) I’m Patty. Mine are in the pink and yellow shirts. Do
you come here a lot?

W1: Usually two or three times a week, after we go to the library.

W2: Wow! Where do you find the time?

W1: We homeschool, so we do it during the day most of the time.

W2: Some of my neighbors homeschool, but I send my kids to public school.

W1: How do you do it?

W2: It’s not easy. I go to all the PTO meetings and work with the
kids every day after school and stay real involved.

W1: But what about socialization? Aren’t you worried about them
being cooped up all day with kids their own ages, never getting the
opportunity for natural relationships?

W2: Well, yes. But I work hard to balance that. They have some
friends who’re homeschooled, and we visit their grandparents almost
every month.

W1: Sounds like you’re a very dedicated mom. But don’t you worry
about all the opportunities they’re missing out on? I mean they’re so
isolated from real life — how will they know what the world is like
–what people do to make a living — how to get along with all
different kinds of people?

W2: Oh, we discussed that at PTO, and we started a fund to bring
real people into the classrooms. Last month, we had a policeman and a
doctor come in to talk to every class. And next month, we’re having a
woman from Japan and a man from Kenya come to speak.

W1: Oh, we met a man from Japan in the grocery store the other
week, and he got to talking about his childhood in Tokyo. My kids were
absolutely fascinated. We invited him to dinner and got to meet his
wife and their three children.

W2: That’s nice. Hmm. Maybe we should plan some Japanese food for
the lunchroom on Multicultural Day.

W1: Maybe your Japanese guest could eat with the children.

W2: Oh, no. She’s on a very tight schedule. She has two other
schools to visit that day. It’s a systemwide thing we’re doing.

W1: Oh, I’m sorry. Well, maybe you’ll meet someone interesting in
the grocery store sometime and you’ll end up having them over for
dinner.

W2: I don’t think so. I never talk to people in the store
–certainly not people who might not even speak my language. What if
that Japanese man hadn’t spoken English?

W1: To tell you the truth, I never had time to think about it.
Before I even saw him, my six-year-old had asked him what he was going
to do with all the oranges he was buying.

W2: Your child talks to strangers?

W1: I was right there with him. He knows that as long as he’s with
me, he can talk to anyone he wishes.

W2: But you’re developing dangerous habits in him. My children
never talk to strangers.

W1: Not even when they’re with you?

W2: They’re never with me, except at home after school. So you see
why it’s so important for them to understand that talking to strangers
is a big no-no.

W1: Yes, I do. But if they were with you, they could get to meet
interesting people and still be safe. They’d get a taste of the real
world, in real settings. They’d also get a real feel for how to tell
when a situation is dangerous or suspicious.

W2: They’ll get that in the third and fifth grades in their health courses.

W1: Well, I can tell you’re a very caring mom. Let me give you my
number–if you ever want to talk, give me call. It was good to meet
you.

Friday, November 30, 2012

Renungan Ketika Berkunjung ke Semarang

Jumat 23 November 2012 Nenekku dari Papa dipanggil menghadapNya, di usia ke 92 tahun.
Aku hanya dapat menghadiri pemakaman beliau hari minggunya, tgl 25 November.
Naik pesawat terpagi dari Jakarta, langsung menuju ke Rumah Duka dijemput sepupuku. Acara berlangsung dari pagi s/d siang hari. Setelah acara pemakaman, aku masih punya waktu beberapa jam lagi sebelum kembali ke Jakarta lagi. Aku ingin menengok ke rumah nenek di Gang Baru, yang sudah lama tak kukunjungi (karena aku jarang bertemu nenekku, dan seringnya bertemu di rumah tanteku atau di satu acara keluarga).

Kembali ke sana terasa seperti kembali menyusuri ingatan masa kecil. Rumah-rumah itu, para tetangga yang sebagian besar masih sama, hanya menua . Tapi ada banyak hal yang mengganjal hatiku.
Rumah nenekku, yang berloteng kayu, sebagian kayunya rusak :(. Atapnya bocor, mungkin itu yang menyebabkan beberapa bagian kayunya rusak. Menurut cerita Alm Mamaku, loteng itu dibangun oleh kakek sendiri dibantu Papaku yang masih kecil waktu itu.
Memandang tangga kayunya yang beberapa bagian aus dimakan usia dan rusak, terasa sedih hatiku. Tangga ini dan loteng kayunya adalah tempat main kami para cucu waktu kecil. Sewaktu liburan sekolah biasanya kami sekeluarga bermobil dari Purwokerto ke Semarang, mengunjungi kakek & nenek. Namanya anak-anak, kalau sudah lari-larian kami suka jadi kurang hati-hati. Aku pernah jatuh di tangga kayu itu, 2 atau 3 kali :D. Demikian juga adik-adikku.
Dari dulu rumah itu, yang merangkap sebagai warung kelontong di bagian depan, memang penuh dengan barang dagangan. Aku kecil suka memandangi macam-macam barang yang dijual di situ, mengamatinya satu persatu. Kadang menerka-nerka apa guna dari barang tersebut. Ada batu apung dan kentang di peti kayu. Ada rak berisi bermacam-macam tepung yang sudah berplastik. Ada rak yang berisi bahan makanan kering dan kalengan. Ada rak berisi botol-botol bumbu dan sirup. Rak-rak itu menjulang dari lantai ke langit-langit, mengelilingi dinding waserba yang kecil. Banyak sekali macamnya. Kagum aku mereka (nenek dan para tante yang membantu) bisa ingat semuanya, ya jenisnya, ya harganya, ya tempatnya berada.
Rumah nenekku ini memang berlokasi di dalam pasar, Pasar Gang Baru. Pasar buka sejak sebelum subuh sampai siang hari. Ketika menginap di sana dulu, sekitar jam 3.30 pagi sudah mulai suara gaduh layaknya sebuah pasar yang menggeliat bangun. Apalagi di depan rumah nenek ada yang jual kelapa yang diparut. Sepagi itu dia sudah mulai menyalakan mesin parutnya. Pagi-pagi itu biasanya aku terbangun, oleh suara berisik, lalu mengintip kesibukan orang-orang yang sedang mempersiapkan dagangannya. Tak berani mengganggu, karena nenek dan para tante yang membantu sungguh sibuk, hilir mudik di tempat yang kecil itu. Jadi aku beraninya mengamati barang-barang dagangan itu ketika warung sudah tutup.
Kemarin itu perasaan barang-barang dagangan yang ada sudah makin banyak dan mengokupasi tempat-tempat yang tersisa. Jadi makin sempit dan kotor :(

Duduk di balai-balai kayu di depan warung sorenya bersama Papaku, seorang tante dan sepupu, aku mengamati para tetangga. Banyak rumah yang dulunya berarsitektur pecinan kuno sudah berubah. Berganti jadi bangunan tembok modern :(
Jalanan sempit di depan warung masih sama, aspal yang sudah terkelupas sana-sini. Selokan bau masih tetap bau.
Berandai-andailah aku. Andai pemerintah kota Semarang berkenan mempertahankan arsitektur rumah-rumah lama di situ. Andaikan jalannya di paving rapi dan selokannya dibuat tertutup sehingga tidak menyebarkan bau. Tempat itu bisa jadi tempat wisata yang lebih menarik, bahkan dibandingkan dengan kompleks Pasar Baru di Jakarta.
Di seberang warung nenek, terpaut beberapa rumah, masih berproduksi pia Tan Tie Kang, yang entah sudah berapa puluh tahun ada di situ. Dengan pia model kunonya yang kukangeni.
Sore dan malam hari para penjaja makanan banyak yang lewat. Semuanya enak-enak. Sayang kemarin itu aku tidak bisa bermalam di sana, karena harus buru-buru mengejar pesawat kembali ke Jakarta (senin suami ngantor dan Donna masuk sekolah).
Sebetulnya hari minggu itu ada acara Semawis. Sayang aku tidak sempat mengunjunginya karena waktu bukanya jam 6 sore, sedangkan aku musti sudah berada di airport jam 17.30an. Semoga lain waktu aku bisa mengunjunginya.

Kekayaan budaya suku tionghoa yang sudah menyatu jadi kebudayaan Semarangan ini kalau serius diperhatikan dan didukung pemerintah, bisa menarik wisatawan jauh lebih banyak daripada yang disuguhkan Singapore ataupun Malaysia. Tinggal menunggu, kapan hal itu bisa terjadi, sebelum bangunan kuno di situ melapuk dan berganti jadi bangunan modern.

Sunday, November 11, 2012

Piala Piano Donna tahun 2012

Tahun ini sudah hampir habis. Dan Donna sudah mengumpulkan 3 piala dari kompetisi piano yang diikutinya.
 Yang pertama sebagai juara harapan 2 dari Yamaha yang pernah kutulis di sini.

Ini yang kedua, juara 1 di Petrof Piano Competition, di kelompok usia yang lebih tua dari Donna.


Dan ini adalah yang Donna dapatkan sore ini : mendapatkan piala Potensial di Gracia Open Music Festival. 
Sebetulnya sama dengan juara harapan. Maksudnya berpotensi jadi pianis yang baik. Semoga.
Padahal persiapannya agak mepet, karena akhir bulan lalu Donna juga mengikuti ujian piano ABRSM grade 2.

Tadi pagi Donna sempat stress. Setelah bisa ditenangkan (salah satunya dengan baca buku "Asterix the Gaul" :) ), kukatakan, tak penting menang atau kalah, yang penting nikmati permainan pianomu.
Dan akhirnya dia bisa lebih relax. 
Aku bangga padanya.




Thursday, September 27, 2012

Blowing the Weeds Flowers

It was a warm and sunny day.
We hiked around my sister's villa in Baturaden.
Walked along the path with these weeds flowers.

Pffff...pffff...and they flew away.
not to forgotten
Spread my wishes to the universe.


Saturday, September 8, 2012

Membangkitkan Passion yang Lama Terkubur

Aku sejak kecil, sejak mengenal pinsil sebagai alat tulis, suka sekali menggambar. Dengan keadaan kami yang hidup pas-pasan, tentu aku hanya bisa menggambar di atas kertas bekas pembungkus yang masih kosong di sebaliknya dan menggunakan pinsil ala kadarnya. Tak ada yang namanya menggunakan pinsil warna, yang paling sederhana sekalipun. Pinsil warna (pinsil warna murah isi 12 warna) hanya untuk keperluan sekolah.
Apa yang kugambar? Apa saja yang kulihat. Waktu itu aku kira-kira masih duduk di bangku TK. Aku masih ingat aku menggambar ibu-ibu menjemur pakaian di halaman, yang dikomentari Mamaku "Kok lehernya panjang sekali seperti 'cangik'". :) Lalu aku menggambar rumah di kampung belakang yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Dengan ayam-ayam yang berkeliaran di halaman. Romantisme masa lalu :D

Tapi urusan gambar menggambar ini dianggap oleh semua orang yang kutemui, bukanlah hal penting untuk masa depan. Bagaimana tidak, kami sering melihat para seniman pelukis asal Sokaraja (dekat kota kami) menenteng lukisan di pinggir jalan. Menurutku lukisan-lukisan itu bagus. Setelah dewasa aku baru tahu bahwa sebagian besar adalah lukisan repro atau meniru lukisan rekan mereka yang lebih sukses.
Jadi wajarlah kalau melihatku menggambaaar teruus, Mamaku berkata "Kok nggambar terus, mau jadi pelukis yg nenteng lukisan di pinggir jalan?"
Aku tidak menyalahkan orangtuaku, karena memang pengetahuan mereka terbatas.

Namun ketika aku SMP kelas 2 dan 3, aku mulai 'memberontak'. Diam-diam selama di kelas (aku pilih duduk paling belakang) kerjaanku hanya menggambar dan menggambar di bagian belakang buku tulis yang kosong. Pelajaran tak kuhiraukan sama sekali. Hanya mendengarkan sekali-sekali pelajaran yang menurutku menarik. Untunglah nilai-nilaiku baik-baik saja ;D

Dan demikianlah tahun demi tahun berlalu, menggambar yang sangat kusukai akhirnya hanya seperti anugerah tak berguna, dan mulai terkubur.

Tiba-tiba bulan Juli lalu ada teman yang share tentang Online Class Illustrating. Wah, ini dia yang kuperlukan, menggambar untuk ilustrasi memakai program komputer dan aku tak perlu hadir secara fisik di kelas. Aku bisa belajar di rumah, di sela-sela waktu yang ada, sambil tetap menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga tanpa asisten dan Homeschooler Mom. Pontang-panting sih, apalagi aku benar-benar belajar menggunakan program itu dari nol. Tapi aku sangat exciting. Passionku seakan bangkit dari kubur. Aku mulai mengumpulkan gambar-gambarku di sini.
Kadang aku merenung, kenapa baru sekarang aku diberi kesempatan ini Tuhan? Andaikan itu terjadi ketika aku masih mahasiswi...

Better late than never. Semoga setelah ini aku bisa Kau tunjukkan jalan ke mana aku bisa makin mengembangkan talentaku ini, Tuhan. Amin.


Sunday, August 5, 2012

Buku "Tata & Titi"

Sudah agak lama buku ini kubuat, tapi beberapa waktu lalu baru sempat ku-upload ke issuu.com.
Ini cerita keseharian antara 2 anak ayam, yang seperti anak-anak kita, berantem lalu rukun lagi.
Buku itu bisa dilihat di sini : http://issuu.com/hedwigratna/docs/tata___titi

Friday, July 6, 2012

Pameran Filateli Internasional 2012

Tanggal 23 Juni 20 12 yang lalu kami berkesempatan mengunjungi Pameran Filateli Internasional 2012 di Jakarta Convention Center. Pameran ini diikuti perwakilan banyak negara. Senang sekali kami mendapatkan pengalaman berinteraksi dengan para perwakilan negara sahabat sekaligus mengamati perangko-perangko terbitan negara mereka.
Inilah buku Philatelic Passport yang kami dapatkan dari booth Selandia Baru. Booth ini yang pertama kami kunjungi, selain karena letaknya di depan, kami juga tertarik pada perangko 3D yang mereka miliki.
Buku pasport ini di dalamnya ada nomor-nomor booth peserta, nama negara, lokasinya, populasinya, ibukotanya, bahasanya, dan tahun pertama penerbitan perangkonya. Lalu ada tempat untuk menempel perangko dari negara tersebut yang dapat kita beli di lokasi booth. Tapi tidak di semua booth kami membeli perangko, hahaha bisa jebol kantong karena ada puluhan booth. Harga tiap-tiap perangko berbeda untuk tiap negara, bahkan tiap jenis perangko, rata-rata berkisaran Rp 5000 sampai Rp 10.000. Kadang di tiap booth kami membeli lebih dari satu perangko.

Ini adalah beberapa contoh perangko yang kami beli :


Ini perangko dari Korea Utara. Interaksi kami dengan perwakilan dari Korea Utara menggunakan bahasa isyarat, karena pria tersebut tak dapat berbahasa Inggris :D


Ini adalah perangko dari Selandia Baru, perangko kedua terbanyak yang kami beli setelah perangko Indonesia (sebagai tuan rumah booth Indonesia tentu yang paling besar dan ramai :))
Dan siang itu Donna berkesempatan merasakan mencetak perangko jaman dahulu dengan cara menarik tuas dan menekannya kuat-kuat pada selembar kartu pos.

Di akhir acara, ketika kami sedang berjalan keluar menuju tempat parkir, kami bertemu seorang pria, yang bukan orang Indonesia, yang tiba-tiba memberikan pin kepada kami. Surprise dan bengong, karena kami lihat orang di sekitar kami tak dibagi pin serupa. Setelah bertanya kepada teman-teman yang dapat menolong mengartikan tulisan di pin tersebut, sepertinya pin tersebut dari Qatar (Qatar adalah peserta pameran filateli juga). Wah sayang kami belum sempat berterimakasih kepada pria tersebut. Ini adalah pin cantik tersebut:


Benar-benar pengalaman yang sangat berharga, karena baru kali ini Indonesia berperan sebagai tuan rumah, dan di tahun-tahun berikutnya akan diselenggarakan di negara-negara yang lainnya lagi.

Thursday, June 7, 2012

International Story Telling Contest 2012, behind the scene

Tanggal 2 Juni 2012 yang lalu Donna dan Papanya mengikuti International Story Telling Contest 2012, yang diselenggarakan oleh sekolahnya, Blossom International School. Dewan juri terdiri dari Ms Seen Young Park (UNESCO), Ms Sri Sulastini (TEFLIN), Ms Ismail Luz (Pearson), Ms Wong Mei Mei (Pelangi Books) dan seorang pengarang, yg saya lupa namanya.
Acara ini memang lomba bercerita duet Ayah & Anak. Kalau Ayah tidak hadir, bisa diwakilkan oleh anggota keluarga yang lelaki.
Awalnya, kami pikir kami yang mencari cerita sendiri untuk lomba itu. Dan kami pun sudah memilih cerita "The Mouse's Marriage" sekaligus merancang alat bantu untuk bercerita.
Ternyata beberapa minggu kemudian kami baru tahu kalau Donna yang diminta memilih satu dari beberapa judul buku cerita yang sudah ditentukan. Dan Donna pun memilih cerita berjudul "Marcel and the Mona Lisa" karya Stephen Rabley.
Ceritanya adalah seekor tikus Perancis bernama Marcel yang adalah juga detektif, yang memergoki pencurian lukisan Mona Lisa dari Museum Louvre Paris oleh penjaga baru museum tersebut. Dan mulailah Marcel berpetualang mengikuti lukisan tersebut dan bersembunyi di tas hitam milik sang pencuri. Sampai akhirnya Marcel berhasil membuat kehebohan di rumah bos sang pencuri dengan menjatuhkan lilin yang membakar karpet, sehingga Marcel pun dapat melarikan lukisan tersebut. Lalu Marcel memasukkan gulungan lukisan tersebut ke kotak pos kantor Polisi yang ditemuinya. Dan akhirnya lukisan tersebut bisa kembali ke Museum Louvre di Paris.
Maka kami pun memikirkan ulang alat bantu  yang sesuai dengan cerita dari buku ini.
Saya membuat tas hitam dari bahan karton manila hitam, bekas dari suatu acara kantor suamiyang sudah tak terpakai. Tas ini berperan penting, karena selain untuk menyimpan lukisan curian, tas ini juga menjadi tempat bersembunyi Marcel. Lalu saya berpikir mau membuat kotak pos, di mana Marcel nanti akan memasukkan lukisan curian ini. Tapi suami saya punya ide lebih baik: bagian belakang tas hitam dijadikan sebagai kotak pos, sehingga tak terlalu banyak barang yang musti dibawa ke panggung.
Untuk lilin yang dipakai untuk membuat kebakaran di rumah bos sang pencuri, kami menggunakan bekas hiasan natal yang berbentuk lilin.
Bisa dibilang semua adalah barang-barang bekas. Alat bantu yang bukan berupa barang bekas hanyalah print out lukisan Mona Lisa dan boneka jari untuk tokoh Marcel dan Celine temannya. Boneka jari itu sudah lama kami beli dari suatu acara.
Saya minta Donna dan Papanya untuk masing-masing membaca buku itu dan mengerti. Tak perlu hafal.
Proses latihannya berjalan santai dan penuh gurauan. Saya minta Donna bercerita kepada "orang lain" yang sama sekali tidak tahu jalan cerita dari buku tersebut. Jadi bisa dibilang tidak ada kalimat yang musti dia hafalkan. Waktu itu Donna terbahak-bahak melihat papanya berjalan gaya Moonwalk untuk adegan berjalan. Juga ketika papanya beride bersiul untuk menggambarkan bunyi radio yang didengar Marcel selama perjalanan.
Cerita itu komplit sekali, sekitar 6-7 menit. Ternyata kami baru tahu bahwa masing2 peserta dibatasi oleh waktu presentasi, maksimal 5 menit, kira-kira semingguan sebelum hari H.
Kemudian kami berdiskusi, bagian mana saja yang tidak perlu, dan kami buang. Hasilnya total waktu yang diperlukan hanya sekitar 4 menit sekian detik.
Saya sebagai 'penonton' dan pemegang stopwatch ketika mereka latihan, sekaligus kritikus.
Akhirnya hari H tiba. Donna sebagai peserta pertama dari category 5 (8-12 years old).Pagi harinya Donna sempat gelisah. Untung kiriman buku cerita pesanan Donna datang tepat pada waktunya, cukup bisa membantu meredakan ketegangannya. Semuanya berjalan lancar, walau ada sedikit gangguan ketika salah satu lemari stand sponsor jatuh. Tapi secara menyeluruh penampilan mereka sangat menyedot perhatian. Begini kira-kira adegan di panggung :

Dan akhirnya mereka pun meraih juara pertama :D
Selain piala, mereka pun berhak atas hadiah ini :
Sayang penampilan mereka yang sudah saya rekam di kamera tak dapat disaksikan karena ada problem di memory cardnya. Untuk kenang-kenangan Donna kelak, saya minta mereka melakukan ulang di rumah dan saya rekam. Bisa dilihat di sini ini.



Wednesday, May 30, 2012

Menyusun Menu Seminggu Sekali

Awalnya ada teman yang menanyakan bagaimana & apa menu kami yang saya susun untuk seminggu. Lalu tak lama keluar statusnya di dinding Facebooknya, bahwa menyusun menu harian seperti yang dia lakukan adalah lebih demokratis.
Saya merasa aneh. Apa hubungannya ya antara menyusun menu mingguan dan harian dengan demokratis/kurang demokratis?
Menurut cara pandang saya, demokratis adalah kalau kita mau mengakomodasi pendapat dari "warga kita", dalam hal ini anggota keluarga. Jadi selama pendapat para anggota keluarga diakomodasikan, tak ada masalah, mau menyusun menu harian, mingguan atau bahkan bulanan.
Kenapa saya menyusun menu secara mingguan? Karena hal itu memudahkan saya untuk mengatur pengeluaran, mengatur jenis makanan supaya berimbang dan menghemat waktu (karena waktu untuk memikirkan menu "besok masak apa ya" setiap harinya bisa saya reduksi, berdasarkan pengalaman saya sejak menikah). Menu seminggu itu maksud saya senin-jumat, hari sabtu dan minggu bebas. Kadang makan di luar, kadang menu surprise, kadang beli, kadang masak yang agak ribet, dsb.
Saya yang memiliki 2 orang anak, dengan satu anak SN (yang juga menjalankan pendidikan rumah) dan tanpa ada bantuan dari asisten maupun anggota keluarga lain kecuali suami saya (yang musti ngantor pagi sampai malam) sangat merasakan efisiensi waktu karena masalah masak ini bisa diorganisir dengan baik.
Anak-anak tentu boleh berpendapat mau dimasakkin apa untuk menu minggu depan. Dan saya tinggal menulis bahan yang musti saya beli, dengan membagi dua atau tiga kali belanja (yang bisa diantar oleh tukang sayur pasar langganan saya).

Contohnya Liza:"Mau makan semur daging!". Mantap dan luar biasa kan anakku yang SN ini ;)
Kesukaannya selain Semur Daging dengan sayur Terong, adalah Jagung.
Tapi tak mungkin kan saya menuruti dalam menu itu cuman semur daging dan jagung secara terus menerus. Sangat tidak seimbang gizinya.
Jadi bisa saya janjikan "Semur Dagingnya bulan depan lagi ya...Gantinya Liza boleh pilih masakan A atau masakan B? atau lainnya?" dst.
Di sini mereka belajar tentang menu yang seimbang, baik sumber protein maupun jenis sayurnya.

Donna :"Aku mau makan ikan goreng".
Saya :"Oke, nanti kita tunggu kalau tukang ikan langganan kita bawa ikan yang segar dan tidak terlalu mahal ya. Kalau sampai hari H yang kita tentukan untuk makan ikan goreng itu tukang ikan tidak datang (mungkin karena sedang musim angin barat sehingga tak ada ikan) enaknya diganti apa? Telur goreng? Tempe tahu goreng? Tapi nanti kalau lewat hari H tukang ikannya bawa ikan yang segar & terjangkau, pasti mama belikan, untuk hari sabtu/minggu ya."
Yang ini mereka belajar membuat plan A dan plan B. Kalau tidak ada A, bisa pakai B dengan nutrisi yang sama.

Ada bagian dari menu seminggu itu yang saya putuskan sendiri.
Di sini mereka belajar menerima keputusan orang lain, makan dengan penuh syukur apa yang ada di meja.

Mereka belajar bahwa tidak setiap saat semua keinginan mereka bisa dikabulkan, tapi masih bisa makan dengan baik, itu anugerahNya yang layak disyukuri. Mereka tumbuh menjadi manusia yang makannya tidak rewel, non picky eaters. Dan mereka pun tahu kenapa keinginan mereka tak terpenuhi, apa penggantinya yang setara, bagaimana mengelola kekecewaan dan juga belajar bersabar menunggu terpenuhinya keinginan itu.

Jadi memang tidak ada hubungannya antara demokratis atau tidak, dengan berapa lama sekali menyusun menu.

Saturday, May 19, 2012

Carrefour Green Bag

Sudah beberapa tahun aku nyaris selalu membawa tas belanja sendiri dari rumah, untuk mengurangi sampah plastik yang kudapat dari tas kresek. Itu adalah salah satu langkah Go Green kami , yang konsisten kami lakukan. Salah satu tas dari kain yang kami pakai adalah yang kami beli di Carrefour, yaitu Carrefour Green Bag. Kami punya dua yang terbuat dari kain dan satu yang terbuat dari plastik. Yang terbuat dari plastik sudah lama jebol dan yang terbuat dari kain pun belum lama ini jebol juga. Sayang program penukaran tas (yang waktu itu dibilang seumur hidup tas boleh ditukarkan kalau rusak) sudah berakhir tahun lalu, jadi tak bisa ditukarkan lagi. Yang terbuat dari plastik selain untuk belanja di Carrefour aku juga pakai untuk belanja di pasar. Dan kemudian setelah itu ada beberapa ibu yang mengikuti langkahku dengan membawa tas belanja sendiri dari rumah. Ah senangnya. Apalagi para tukang sayur langgananku selalu berterimakasih karena aku menolak menggunakan tas kresek mereka kalau tidak terpaksa. Pun tas kresek yang terkumpul di rumah kukembalikan pada mereka untuk dipakai kembali. Yang merepotkan justru di Carrefour Daan Mogot di mana aku sering belanja bulanan. Setiap kali lapor ke keamanan di pintu masuk Carrefour, setiap kali itu pula aku harus menjelaskan bahwa:
1. Ini tas aku bawa sendiri dari rumah.
2. Aku gak mau pakai kantong kresek kalau tidak terpaksa, makanya aku bawa tas ini. Sepertinya cuman aku ya yang bawa tas sendiri dari rumah. Karena tak pernah kulihat orang lain yang membawa tas dari rumah, plus petugas yang tampak selalu kebingungan setiap kali melihatku membawa tas tsb. Lebih merepotkan lagi hari minggu kemarin. Setelah menerangkan hal-hal tersebut di atas, petugas tersebut ngotot bahwa aku harus menitipkan tas tsb di tempat penitipan barang. Trus bagaimana aku memasukkan barang belanjaanku?
Jawabnya cukup ajaib : Ibu bawa belanjaan bersama trolinya, lalu ambil tas di penitipan, lalu masukkin barangnya di situ! Astagaa...repot bener! Setelah bersikukuh bahwa itu adalah hakku untuk membawa tas sendiri dari rumah, barulah aku diberi ijin membawa tas tsb masuk :( Tak kuduga, di akhir waktu belanja, ketika kami mau keluar dari Carrefour tsb, ada petugas Carrefour yang menyodorkan kotak plastik (seperti foto di atas). "Ini hadiah dari Carrefour untuk ibu, karena ibu telah memakai Carrefour Green Bag". Wow, what a nice surprise :)
Semoga ke depannya makin banyak masyarakat yang berkenan membawa tas belanja sendiri dari rumah. Bumi kita sudah terlalu sarat dengan sampah plastik. Dan semoga makin banyak pusat perbelanjaan yang mengadakan semacam Green Bag yang berkelanjutan, yang tidak terputus hanya untuk promo dalam jangka waktu tertentu saja.

Thursday, May 10, 2012

KidFFest 2012

Tahun ini kami menyaksikan 3 film di KidsFFest 2012. Film yg pertama adalah "Fuchsia The Mini Witch". Film ini aku tidak mendampingi Donna, karena aku harus membawa Liza les piano (ada perubahan jam les mendadak), jadi suamiku yg menemaninya. Film kedua adalah "We Can be Heroes". Film ini kami saksikan terlambat setengah jam! Bertepatan dengan minggu ke-5 yang ternyata masuk ke "Car Free Day". Setelah merambat di jalur lambat dan nyaris terlambat, tiba-tiba di jalur cepat sudah terlihat mobil-mobil bergerak. Kami pun ikutan ke jalur cepat. Dan entah ada dalam sekejab berhenti total, baik jalur cepat maupun jalur lambat. Sudah terlambat 20 menit, kami lari sampai ngos-ngosan ke lantai 8 Blitz Megaplex. Akhirnya setelah duduk kulihat jam, kami sudah terlambat setengah jam :(( Film ketiga yang kami tonton adalah "Lionel". Entah kenapa 2 dari 3 film yang kutonton aku merasa kurang puas. Rasanya tidak sebagus tahun-tahun sebelumnya.

Tuesday, March 20, 2012

Doll's Dream

Minggu kemarin Donna ikutan Yamaha Piano Competition Junior A (di mana tahun lalu dia menjadi juaranya). Tahun ini bersamaan waktunya dengan dimulainya Exam Week di sekolahnya. Memang konsentrasi agak terpecah, tapi lumayan, dapat juara Harapan Kedua. Ada kesalahan sedikit ;)
Tapi aku bangga padanya. Cuman sayangnya aku lupa membawa Memory Card di dalam kameraku sehingga tak terdokumentasikan. Ini adalah permainannya untuk lagu yang dipertandingkan, Doll's Dream karya Theodore Oesten, yang dimainkan di rumah.

Wednesday, March 14, 2012

e-KTP & Miracle

Sabtu tgl 10 Maret yang lalu aku & Agung membuat e-KTP. Sebetulnya yang mendapat undangan cuma Agung. Maka berangkatlah dia duluan ke kecamatan. Dari sana Agung telpon bahwa punyaku juga bisa diurus sekalian. Maka menyusullah aku dan anak-anak ke kecamatan, walau sebetulnya aku & Liza sedang flu, tidak enak badan.
Sampai di sana antrian ada sekitar 10 orang. Kuajak anak-anak menunggu. Donna bawa bacaan. Liza, yah seperti biasa hanya membawa comforter buku dari kain yang berbordir, tak bisa berbuat lainnya.
Ketika giliran Agung, Donna ikut menonton prosesnya, tampak senang banget dia. Waktu giliranku, aku minta Donna jaga Liza sebentar, tapi dia ngotot mau lihat prosesku juga. Setelah selesai kami keluar ruangan untuk menjemput Liza. Dan kami saksikan pemandangan yang memilukan : Liza tergeletak tiduran di lantai, sambil ditonton para penunggu! Betapa sedihnya hatiku. Cepat-cepat kami meminta Liza bangun dan pulang. Pikiranku kacau, aku marah pada Donna yang tidak mau menjaga Liza sebentar saja.
Ketika hampir sampai pintu keluar, aku dipanggil kembali oleh petugas, karena komputer rusak sehingga proses pengambilan dataku musti diulang lagi. Maka aku kembali mengeluarkan KTPku yang lama dan duduk di kursi ruang dalam lagi. Hati sedih + flu membuatku tak bisa berpikir jernih. Di situlah dimulai persoalan yang yang membuatku stress beberapa hari : KTPku ketinggalan.
Hari Minggu aku baru teringat aku belum mengambil KTPku yang kuletakkan di meja petugas kecamatan. Kuputuskan hari Senin pagi aku akan mengambilnya segera.
Hari Senin aku tak bisa ke kecamatan pagi-pagi, karena Liza (juga aku) masih flu, dia tertidur lagi setelah mandi & sarapan. Akhirnya aku sampai di kecamatan sekitar pk 10.15. Setelah tanya sana sini (karena petugasnya berbeda dengan yang hari Sabtu) akhirnya ada seorang petugas yang mengaku memberikan KTPku itu kepada penduduk sesama perumahanku (aku blok H dan dia di blok G) untuk titip diberikan kepadaku. Astagaaa...aku sampai bengong tak tahu harus apa.
"Tunggu aja bu, satu dua hari ini, katanya mau diantar ke rumah ibu".
Setelah pulang di rumah, hatiku tak juga bisa tenang, pikiranku sangat galau. Aku balik lagi ke kecamatan, tentu dengan selalu membawa serta Liza (Agung di kantor & Donna di sekolah) yang dengan terpaksa kutinggal di mobil di parkiran. Aku agak memaksa minta nama & alamat si pembawa KTPku itu. Karena data disimpan di komputer atasan si petugas, maka kami menjelaskan kepada atasan tsb alasanku meminta data nama & alamat. Sang atasan menegur si petugas kenapa bisa memberikan KTP orang begitu saja kepada orang lain dan menegurku kenapa KTP bisa ketinggalan. Akhirnya didapat alamat tsb. Buru-buru aku jemput Donna karena sudah lewat waktunya dan lagi harus melewati kemacetan parah di jalan dekat sekolahannya. Donna menanyakan sudahkah KTPku ditemukan di kecamatan, yang kujawab belum, plus rentetan kekesalan kenapa dia tak mau menjaga LIza sebentar saja waktu itu. Lalu ku drop dia di tempat les gambarnya karena aku mau mencari alamat si pemegang KTPku.
Setelah menemukan alamat tsb dan kugedor-gedor berkali-kali tanpa ada sambutan, kuputuskan untuk menjemput Donna dari les gambarnya untuk nanti kembali ke situ lagi. Sorenya setelah dari jemput les Donna dan menggedor-gedor alamat itu lagi, kebetulan ada anak tetangganya keluar yang mengatakan si ibu M sudah lama tak tinggal di situ lagi, pindah entah ke mana. Rasa putus asa langsung mendera.
Malamnya ganti Agung yang mencoba menggedor-gedor alamat tsb, dan setelah bertanya pada Satpam diketahui si ibu M ini pindah agak jauh dari situ walau masih blok G juga. Malam itu juga aku & Agung bergantian mencoba mencari. Rumah yang ditunjukkan Satpam tak membuka pintu juga ketika diketuk, dan ada sebuah warung bernama sama dengan ibu M di dekat situ. Kuputuskan besok pagi mencari lagi karena sudah capek sekali dan flu terasa memburuk. Malam itu aku tidur dengan badan meriang dan pikiran stress. Pk 01.30 ketika aku terbangun, Donna menyentuhku, "Mama...". Aku tersadar, anak ini pasti didera perasaan bersalah sehingga tak bisa tidur. "Kamu gak bisa tidur ya? Ayo tidurlah, gak ada yang bisa kita lakukan sekarang, tidur saja, kalau tidak kamu nanti ikutan flu seperti Mama & cicik". Barulah dia tertidur.
Pagi-pagi berpayung dibawah hujan sangat lebat dan berangin aku mulai mendatangi warung yang kemarin, tapi ternyata bukan ybs. Rumah yang ditunjuk Satpam akhirnya kudatangi, betul ada ibu M tapi sedang antar anaknya sekolah, agak siang baru pulang. Agak siang kudatangi kembali, akhirnya kudapat kembali KTPku. Legaa sekali. Aku bersyukur mencarinya, tidak menunggu di rumah seperti saran si petugas kecamatan. Karena dari percakapan dengan si ibu M, sepertinya dia memang tidak berniat mencari alamatku untuk menyampaikan KTPku itu.
Siangnya ketika menjemput Donna segera kusampaikan berita gembira itu. Dengan mata berbinar dia berkata "Last night I prayed all night long for you and your ID card. I know God has many miracle for us. He always has."
Aku terharu dan merasa malu.

Friday, February 10, 2012

Buku yang Diawali dengan Judul "The Secret ..."

Beberapa minggu terakhir ini Donna sedang membaca 3 buah buku (yang satu sudah selesai, yang satu sedang dibaca, dan yang satu baru akan dibaca). Yang lucu adalah ketiga buku tersebut diawali dengan judul "The Secret ..."
Yang pertama (sudah selesai) adalah yang berjudul "The Secret Garden", buku klasik karya Frances Hodgson Burnett.

Cerita ini bisa dilihat di Wikipedia.
Dan berhubung copy right dari buku ini sudah habis, buku ini bisa dibaca bebas di Project Gutenberg.
Tapi saya masih termasuk old fashioned lady hohoho..., lebih suka membaca buku secara fisik, yang terbuat dari kertas. Untunglah Donna suka keduanya, virtual book maupun physical book :P

Yang kedua adalah serial "The Secret Seven" alias Sapta Siaga, karya Enid Blyton, buku klasik juga. Buku yang sebelah kiri sedang dibaca, sedangkan yang kanan belum sempat dibaca).

Sebuah kebetulan, ketiganya berjudul "The Secret ..."

Sunday, February 5, 2012

Our Pet part two

Piaraan kami lainnya adalah telur keong mas dan kepompong ngengat.

Telur keong Mas yang berwarna putih adalah cangkang telur yang sudah menetas.





Pemandangan yang indah. Satu persatu bayi keong Mas yang berukuran sekitar 1 mm ini meluncur menuju air. Sedari lahir mereka sudah bercangkang, karena sebagai binatang invertebrata Tuhan telah memberikan "rumah" untuk melindunginya.


Makhluk ciptaanNya yang lain yang "mampir" di rumah kami adalah kepompong ngengat, yang kami temukan di dekat pintu. 8 hari kemudian menetas and we have to say good bye...








Bulan Januari yang indah...

Wednesday, February 1, 2012

Our Pet part one

Bulan Januari lalu kami punya tambahan beberapa binatang piaraan, selain tiga kura-kura Brasil kami yg dinamai Sam & Sol (d/h Vanilla & Vanilay :P) dan Chelsea (yang ini baru berumur 3 bulanan).
Sam & Sol, 5 thn
Chelsea, 3 bulan.










Piaraan baru kami yang baru di bulan Januari ini antara lain adalah 8 ekor kecebong.

Lucu sekali, kalau diamati akan terlihat mata dan bibirnya. Mereka kami beri makan pelet kura-kura.







Tak berapa lama mereka pun tumbuh kaki belakangnya, yang awalnya kecil dan belum berfungsi.








Setelah kaki belakangnya menguat, tumbuhlah kaki depannya.







Pelan-pelan ekornya yang tadinya memanjang pun menyusut, dan saatnya kami musti melepaskannya :( satu persatu sesuai kesiapannya sebagai kodok.

Ini adalah jenis kodok pohon, karena ketika kakinya tumbuh lengkap mereka memanjat dinding kandang, dan ketika kami lepas pun mereka melompat ke arah batang dan dedaunan, bukan ke tanah.
Apa sebetulnya perbedaan kodok (frog) dan katak (toad)? Lihat di sini.

Sunday, January 22, 2012

Unlimited Passionate Learning Process

Diawali dari betapa banyak kali aku merasa "melukai" niat belajar Donna.
Niatnya belajar Ancient Egypt dan hieroglyph : "Yah waktunya sudah gak ada Donna, kamu musti ngerjain PR A, B, C dari sekolah". :(
Lain waktu : "Ma aku mau bikin lapbook tentang belalang. Aku mau memotret belalang di sekitar kita". "Besok-besok ya Donna, kan besok musti ngumpulin tugas ini dan itu". :((
Tak terhitung aku harus menghentikan keasikannya membaca, baik ketika membaca buku fiksi maupun non fiksi :'(, sudah malam besok gak bisa bangun pagi-pagi ke sekolah, masih banyak PR, dll.
Ya ampuun...aku juga tersiksa sekali dengan keadaan ini. Walaupun aku tidak menekan Donna dalam masalah sekolah dan nilai, tetap saja tugas dan PR sekolah tentu menyita waktu.
Di sekolah juga ada pelajaran yang menurutku "tidak berguna" yakni Sempoa. Untuk apa? Aku tidak ingin menjadikan anakku kalkulator. Jawaban sekolah bahwa itu untuk balancing otak kiri dan kanan, Donna sudah belajar piano (baca not balok & main piano, otak kiri & kanan). Balancing dengan cara yang menyenangkan. Belum lagi PR Sempoa sangat menyita waktu. :(
Ada lagi PR yang menghabiskan waktu : Menulis Halus. Tulisan tangan Donna sudah bagus untuk anak usia 7 th. Tapi sekolah adalah tempat belajar yang umum, kalau ada temannya yang belum bagus tulisannya tentu sekelas dapat PR menulis halus semua. :(
Di sisi lain aku meyakini bahwa Passion + Focus = Masterpiece.
Dan pencerahan dari temanku Devi Sutarsi tentang "Jack all of trades, master of none" menambah keyakinan & kemantapan diriku : Home Education!
Tapi aku tetap harus mempersiapkan segalanya. Terutama dalam makin memandirikan Liza sebanyak mungkin, sehingga aku punya waktu lebih banyak untuk dibagi ke Donna. Terus terang hal ini tidak mudah. Sebenarnya Donna juga sudah tak sabar , "Kenapa aku harus menunggu lulus SD dulu untuk memulai homeschooling?"
Sabar.Sekarang Donna kelas 3 SD. Waktunya akan tiba, di mana Donna bisa mengalami Unlimited Passionate Learning Process.

Monday, January 16, 2012

Catatan Ellen Kristi :MENGAJAR ANAK MEMBACA, MENULIS, DAN MENGEJA

MENGAJAR ANAK MEMBACA, MENULIS, DAN MENGEJA
dari sudut ilmu perkembangan anak*

dr. Susan R. Johnson, FAAP
diterjemahkan oleh Ellen Kristi
* pernah dimuat secara bersambung dalam e-magazine Sekolah Rumah


PENGANTAR DARI PENERJEMAH

Tak bisa dipungkiri, di era global yang serba kompetitif ini banyak orangtua yang rela melakukan apa saja agar anaknya lebih unggul dibanding rekan-rekan sebaya, crème de la crème. Salah satu ukuran yang populer dipakai untuk menilai kehebatan anak adalah kemampuan baca-tulis. Barangkali itu sebabnya kurikulum baca-tulis yang dulu baru diajarkan di tingkat Sekolah Dasar, sekarang sudah jadi pelajaran wajib di jenjang Taman Kanak-kanak (TK), bahkan Kelompok Bermain (KB).

Tetapi, apakah betul asumsi bahwa semakin dini anak belajar baca-tulis semakin cerdas kelak ia di masa depan? Atau sebaliknya, mencekoki anak dengan pelajaran formal terlalu dini justru berbahaya? Berikut ringkasan penuturan dari pakar perkembangan dan perilaku anak, dokter Susan Johnson, yang layak dicermati para orangtua.


Bagian I - Sistem Proprioseptif
Apakah anak Anda tidak bisa duduk tenang, selalu bergeliat-geliut di kursinya, melilitkan kakinya ke kaki bangku, mengetuk-ngetukkan jari di meja, dan sebagainya? Apakah anak Anda sering terbangun sepanjang tidur malamnya, mencari-cari kontak fisik dengan orangtua sebelum bisa lelap kembali? Jika ya, berarti kemungkinan besar sistem proprioseptifnya belum matang.
Sistem proprioseptif adalah kemampuan seorang anak untuk mengetahui keberadaan tubuhnya dalam ruang. Anak dengan sistem proprioseptif yang telah berkembang bisa merasakan keberadaan anggota-anggota tubuhnya tanpa harus melihat atau menggerakkan mereka. Kematangan sistem ini bisa diuji antara lain dengan melihat apakah seorang anak bisa berdiri stabil di atas satu kaki dengan mata terpejam.

Kematangan sistem proprioseptif sangat erat kaitannya dengan kemampuan untuk duduk tenang dan memusatkan perhatian. Selama tujuh tahun awal kehidupannya, otak anak masih harus memetakan lokasi otot, tendon, dan sendi-sendi di seluruh tubuh. Itu sebabnya saat disuruh duduk, ada saja bagian tubuh si anak yang bergerak-gerak supaya otak tidak kehilangan jejak keberadaannya. Sayang, di sekolah, anak yang tidak mampu duduk tenang seperti ini bisa langsung dicap sebagai penderita ADD (Attention Deficit Disorder).

Kalau sistem proprioseptif belum matang, seorang anak akan kesulitan belajar membaca dan menulis. Sebab, ia belum bisa membayangkan gerakan dari bentuk-bentuk abstrak seperti huruf dan angka. Boleh saja ia telah berlatih berpuluh-puluh kali, tapi tetap saja bingung antara huruf “b” dan “d”, atau tanpa sadar menulis angka 2 atau 3 secara terbalik. Untuk mengetes, coba saja Anda gores dengan jari huruf atau angka itu di punggung anak Anda, apakah ia bisa mengenalinya? Kalau tidak bisa, berarti sistem proprioseptifnya belum berkembang baik.

Sistem proprioseptif menjadi kuat melalui gerakan-gerakan jasmani, seperti menyapu, mendorong gerobak mainan, membawakan belanjaan, mengosongkan tong sampah, menyiangi rumput, atau bergelantungan di tangga lengkung taman bermain. Lewat kegiatan-kegiatan ini, koneksi antara benak dan reseptor di otot, tendon, dan sendi terbentuk. Saat lengan, kaki, telapak tangan, dan telapak kaki maju, mundur, naik, turun, ke kiri dan kanan, anak-anak akan mulai memperoleh kesadaran tentang ruang di sekeliling mereka. Dampaknya, saat nanti mereka memandang bentuk-bentuk huruf dan angka, mata mereka mampu mengikuti dan melacak garis-garis dan lengkung-lengkung itu. Memori dari gerakan-gerakan ini akan tercetak di benak mereka, lantas terbentuklah gambaran atau imaji mental atas angka-angka dan huruf-huruf ini. Sebelum mulai menulis, orientasi yang benar ini akan muncul sebagai panduan. Mereka tak lagi bingung antara huruf “b” dan “d” atau arah angka 2 dan 3.

Bagian II – Membaca, Mengeja, dan Menulis

Belakangan ini, kurikulum dalam Kelompok Bermain (playgroup) dan Taman Kanak-kanak tampak semakin mendesak agar anak balita belajar baca-tulis-eja. Tetapi betulkah waktunya sudah tepat? Sudah siapkah mereka? Mari kita kaji dari aspek perkembangan otak anak.

Jika anak belajar membaca pada usia 4-7 tahun, maka bagian otak yang akan dipakai adalah belahan otak kanan. Belahan ini membuat anak mengenali apa pun sebagai gambar, termasuk huruf dan angka. Saat diperkenalkan pada sebuah kata, anak akan mengingat huruf pertama dan huruf terakhir, serta panjang dan bentuknya secara umum – dan tergambarlah kata itu di benaknya.

Kelemahannya, kalau cara membaca dengan otak kanan itu terpatri di pola pikir anak, di kemudian hari ia akan mengalami berbagai problem belajar. Sebab, anak jadi terbiasa melihat kata sebagai gambar. Ia melihat huruf pertama, huruf terakhir, panjang dan bentuknya lantas menebak “kata apa itu?”. Kata BURUK bisa dibaca BUSUK atau BULUK. Jika Anda pampangkan kata ARJOLI ia akan membacanya sebagai ARLOJI tanpa sadar bahwa ia telah salah mengeja. Kata-kata seperti SIAP dan SUAP atau SURAT, SARAT, dan SIRAT akan terlihat sama saja.

Membaca via otak kanan oke-oke saja untuk kata-kata pendek, tapi akan sangat melelahkan untuk kata yang panjang, apalagi kalimat. Anak-anak yang membaca dengan belahan otak kanan pasti bakal kewalahan setelah membaca beberapa alinea. Lagipula, karena sibuk membunyikan kata, mereka tak bisa menangkap makna utuh dari suatu bacaan. Tidak ada imaji mental yang timbul sementara mereka membaca buku cerita. Ini akan membatasi pemahaman menyeluruh mereka. Akibatnya, saat harus meringkas atau melaporkan isi bacaan, mereka cenderung mencontek atau menyalin teks apa adanya.

Karena pusat membaca di otak kanan melihat huruf dan angka sebagai gambar, cara belajar membaca terbaik untuk usia 4-7 tahun adalah menghubungkan huruf atau angka dengan gambar-gambar. Misalnya, huruf “M” bisa diwakilkan oleh gambar dua puncak gunung dengan lembah di tengahnya. Contoh lain termasuk menggambar seekor katak untuk huruf “K”, seekor badak untuk huruf “B” atau wafer untuk huruf “W”.

Kita juga belajar mengenalkan bunyi huruf dengan mengaitkannya ke benda nyata, misalnya bahwa bunyi “M” adalah bunyi pertama dari kata “Mama”. Tapi cara ini tidak bisa dipakai untuk membuat anak hafal bentuk hurufnya. Dari sudut ilmu perkembangan, sangat tidak masuk akal mengharap anak hafal bagaimana menulis huruf B dengan bilang, “Babi, Nak, babi!” karena huruf B sama sekali tidak mirip dengan babi, atau huruf A dengan apel, dsb.

Tetapi untuk belajar membaca secara formal, masih perlu dipenuhi dua faktor lain. Pertama, berkembangnya pusat baca di belahan otak kiri. Ini rata-rata terjadi usia 7-9 tahun (pada anak perempuan bisa lebih cepat, sementara pada anak lelaki bisa lebih lambat, sekitar umur 10-12 tahun). Pusat membaca di otak kiri inilah yang menyanggupkan anak-anak untuk belajar membaca secara fonetis (dari huruf ke huruf). Sekarang mereka dapat mengingat lebih akurat bagaimana mengeja kata-kata.

Belahan otak kanan menyanggupkan anak membaca lewat ingatan visual, sementara belahan otak kiri dengan metode fonik (membunyikan kata dari huruf ke huruf). Membaca dengan ingatan visual sangat efisien untuk kata-kata pendek, sementara metode fonik efisien untuk kata-kata panjang. Jika kedua belahan otak itu telah berkembang dan saling terhubung, anak bisa mengakses keduanya secara bersamaan. Akibatnya, anak akan mampu membaca kata pendek maupun panjang dengan efisien.

Bagaimana kita tahu belahan otak kanan dan kiri telah saling terhubung (integrasi bilateral)? Cobalah tes kemampuan mereka melakukan cross-lateral skip: apakah mereka bisa mengayunkan kaki kiri dengan tangan kanan atau kaki kanan dengan tangan kiri berbarengan tanpa berpikir atau berkonsentrasi. Sebab gerakan-gerakan tubuh bagian kanan terhubung dengan belahan otak kiri, sementara gerakan-gerakan tubuh bagian kiri terhubung dengan belahan otak kanan. Kalau anak dapat menggerakan tangan dan kaki yang berseberangan bersama-sama, berarti belahan otak kanan dan kiri sedang “ngobrol” atau terhubung satu sama lain. Kalau anak hanya bisa mengayunkan tangan dan kaki yang sama (homolateral skip), berarti mereka belum siap membaca, karena mereka belum bisa mengakses kedua belah otak secara simultan.

Kemampuan mengakses secara simultan pusat baca di belahan otak kiri dan kanan memudahkan proses membaca anak. Sembari membaca, ia juga bisa menciptakan imaji visual dalam benaknya tentang isi bacaan sebab ia tidak terpaku pada kegiatan mengeja. Alhasil, saat diajak berdiskusi atau disuruh menceritakan kembali, mereka mampu menguatakannya dengan kata-kata mereka sendiri. Mengapa? Karena imaji itu hidup dalam otak mereka. Mereka jadi lebih mudah memahami makna di balik cerita dan buku yang mereka baca. Belajar mengeja pun akan jadi lebih mudah.

Saya kuatir melihat makin banyaknya siswa kelas 4, 5, 6 SD bahkan SMP di sekolah negeri maupun swasta yang masih kesulitan mengeja atau masih membaca secara visual. Pernah saya memberi tes. Saya minta sejumlah anak membaca kalimat ini: Enam boach pergi brllibur berasma naik preahu mnemacing ikon. Ternyata banyak yang tidak sadar bahwa kalimat itu mengandung salah eja. Saat saya suruh mereka membaca kertas lain berisi kalimat yang sama namun dieja dengan benar, mereka bilang kalimat kedua ini sama saja dengan yang pertama. Paling banter mereka hanya menyadari 1-2 kata saja yang berbeda ejaan.

Anak-anak ini telah didesak untuk membaca terlalu cepat, saat hanya otak kanan mereka yang sudah siap. Mereka menutupinya dengan belajar membaca segala sesuatu hanya dengan ingatan visual. Saat pusat baca di belahan otak kiri mereka akhirnya siap, mereka masih terbiasa membaca dengan otak kanan. Baru ketika kata yang mereka baca terlalu sulit, mereka memakai pusat baca otak kiri. Tetapi mereka belum bisa memakai pusat baca di otak kiri dan otak kanan bersama-sama.

Banyak dari anak-anak ini masih belum memiliki integrasi bilateral dalam gerakan fisik mereka seperti juga dalam keterampilan baca mereka. Sebagian anak membaca dengan lambat dan susah payah. Sebagian anak lain punya ingatan visual begitu kuat sehingga mereka bisa membaca cepat tetapi tingkat pehamaman dan ejaan mereka payah. Kedua kelompok ini sama-sama tidak bisa membayangkan dengan mudah adegan-adegan dari teks yang mereka baca atau mengingat bagaimana cara mengeja tiap kata satu per satu.

Anak-anak tingkat akhir sekolah dasar yang masih kesulitan membaca perlu diberikan terapi sesuai kasusnya. Ada banyak opsi terapi yang bisa dipilih. Oh ya, mereka juga perlu sering dilatih melakukan gerakan silang untuk menguatkan integrasi otak kiri dan otak kanan, misalnya lewat permainan tenis, berenang dengan berbagai gaya, atau mendaki gunung. Sebagai catatan, semua terapi ini jangan dijalankan dalam suasana persaingan, sebab stres mengganggu pembentukan jalur syaraf. Setelah itu, mereka harus dilatih ulang membaca fonik dengan otak kiri.

Sekolah dan orangtua berperan besar dalam mendukung proses belajar anak lewat penyediaan makanan yang bergizi, buah dan sayuran segar, dengan menghindari minyak yang setengah terhidrogenisasi dan lemak trans. Tidur yang cukup – yang berarti bertambahnya persentase rapid eye movement (REM) – akan membantu anak mencerna pelajaran yang ia terima di hari sebelumnya. Yang tak kalah pentingnya adalah cinta kasih tanpa syarat. Anak yang merasakan cinta kasih ini akan bertumbuh kembang lebih optimal, termasuk kemampuan akademisnya.

Pembatasan ketat terhadap kegiatan menonton (televisi, video, games komputer), bahkan meniadakannya sama sekali di hari-hari sekolah, akan membebaskan pikiran anak untuk berpikir. Jika tidak, tontonan elektronik itu akan membombardir otak anak dengan rentetan gambar yang menginterupsi proses berpikir. Irama yang teratur dan rutin dalam pola makan dan tidur serta kegiatan sehari-hari akan mendukung sistem syaraf yang rileks dan anak pun lebih siap belajar.

Sekali lagi, anak tidak dapat belajar dengan baik, jaringan syaraf pun tak berkembang sempurna, jika anak stres. Memaksa mereka menulis, membaca, dan mengeja, atau memberi mereka tes-tes “standar” terlalu dini (tidak sesuai dengan tahap perkembangannya) akan menciptakan perilaku bermasalah dan problem-problem belajar, terutama pada anak laki-laki. Mereka bisa benci sekolah, juga benci belajar.

Tahun pertama sekolah dasar adalah waktu untuk memperkenalkan berbagai gambar bentuk. Anak-anak belajar dan membuat huruf-huruf yang dijadikan gambar. Mereka berlatih tulis bersambung (kursif), setiap huruf ditulis berulang kali (misalnya, bentuk kursif “c” disambung seperti ombak lautan).

Satu atau dua tahun kemudian, saat anak sudah mahir berdiri di satu kaki dengan mata tertutup, menebak huruf atau angka yang ditulis di punggungnya, lompat tali maju mundur, dan melakukan gerakan silang – artinya, otak kanan dan otak kiri telah sama-sama berkembang dan saling terhubung – pelajaran formal untuk membaca, mengeja, dan menulis sudah bisa dimulai.

Sudah waktunya untuk menyingkirkan meja-meja dari kelompok bermain dan taman kanak-kanak. KB/TK perlu mengisi kurikulumnya dengan permainan yang melatih integrasi syaraf, keterampilan motorik halus, kemampuan motorik visual, keseimbangan, kekuatan otot, proprioseptif, selain perkembangan sosial dan emosional anak. Kegiatan seperti drama, memanjat, berlari, melompat, engklek (loncat dengan satu kaki), lompat tali, jalan keseimbangan, menyanyi, kejar-tangkap, melukis, mewarnai, bermain tepuk tangan irama, merangkai manik-manik, merajut, serta keterampilan hidup sehari-hari akan menyiapkan pikiran mereka untuk belajar. Anak-anak butuh semua gerakan yang sehat, harmonis, ritmis, dan tak kompetitif ini untuk mengembangkan otak mereka. Sebab gerakan tubuh itulah, bersama-sama dengan kecintaan mereka pada proses belajar, yang menciptakan jalur-jalur syaraf di otak mereka, agar mereka bisa membaca, menulis, mengeja, berhitung matematis, dan berpikir kreatif.

Sunday, January 15, 2012

Belajar bisa dari Apa Saja (Perangko)

Semenjak aku masih berusia antara 5-6 tahun, aku suka mengumpulkan perangko. Aku suka melihat-lihat gambar-gambar yang tertera di perangko. Tapi aku bukan kolektor perangko ataupun filatelis yang sangat serius. Aku mengumpulkannya karena aku suka, itu saja.
Sekarang, ketika Donna sudah cukup besar, dua bulan lagi akan berusia delapan tahun, aku mulai mengenalkan perangko-perangko simpananku kepadanya, yang tentunya memang akan kuwariskan padanya.
Ternyata dari benda yang namanya perangko ini, kita bisa mempelajari banyak hal. Salah satunya Geografi dan Sejarah.
Dimulai dari mencari letak negara penerbit perangko di globe. Bahkan mencari nama negara, karena ada beberapa negara yang namanya berbeda dengan yang tercantum di perangko, misal: Magyar Posta (Hungarian Post, Pos Hongaria), Posta Romana (Romania, Rumania), CCCP (Union of Soviet Socialist Republics/USSR, Uni soviet) dan lain-lainnya.
Dari bidang Sejarah kita bisa belajar bahwa ada beberapa negara yang tak akan mengeluarkan perangko lagi dikarenakan negara tersebut sudah bubar, misal Cekoslowakia, Uni Soviet, Yugoslavia.

Perangko dari bekas negara Uni Soviet.

Perangko dari bekas negara Yugoslavia.







Ada juga perangko dari negara yang sama, tapi sekarang berubah namanya, misalnya perangko dari Hong Kong. Dulu perangko dari Hong Kong ada lambang/gambar the Queen of England (Ratu Elizabeth), tapi setelah penyerahan kembali Hong Kong ke China, yang tertulis di perangko adalah "Hong Kong, China".





Masih banyak lagi hal yang bisa kita pelajari dari sebuah perangko, misal binatang atau bunga endemik negara tersebut. Baju-baju daerah Indonesia juga pernah diabadikan dalam perangko (termasuk baju "daerah" Timor Timur, yang sekarang sudah menjadi negara merdeka).
Kalau kita mau, kita bisa belajar dari apa saja yang ada di sekitar kita, termasuk secuil kertas bernama Perangko ini.