Pages

Friday, June 27, 2008

Liburan Sekolah Donna 5 (Taman Mini Indonesia Indah)

Kali ini kami naik skylift, mengunjungi 2 museum dan menonton pertunjukan film di theater Keong Mas.


Museum Perangko






Liza menolak masuk di booth ini karena ruangannya sempit dan gelap.









Museum Indonesia

Di salah satu buku Donna tentang gajah ada disebutkan bahwa gajah diburu dan dibunuh karena gadingnya. Di museum ini Donna bisa melihat sebuah gading gajah yang diukir.
Saat itu juga air mukanya berubah jadi sedih...
Sayang sekali di museum ini kita tak diperkenankan mengambil foto.



"Wild Ocean" di Teater Imax keong Mas

Di film ini tergambar keserakahan manusia dalam mengambil ikan di samudra, sehingga mengurangi jatah makanan bagi para predator lain (lumba-lumba, burung laut, ikan hiu, ikan paus).Donna sungguh serius memperhatikan film ini. Bukan hanya air mukanya yang berubah jadi prihatin tapi juga membuatnya terdiam beberapa lama (merenung?).
Saya tanya,"Orang-orang itu kenapa ?"
"Mereka mengambil ikan dari lautan terlalu banyak!"
Keesokan harinya dia bilang "Nanti kalau aku sudah besar, berusia 21 tahun, aku mau ke sana berenang dengan lumba-lumba". Entah darimana dia membuat batasan usia seperti ini. Schedule untuk 17 tahun yang akan datang ?? Who knows!
Di Keong Mas ini Liza tidak ikut, menunggu di luar bersama ayahnya. Saya mau lihat dulu apakah film + suasana di dalam bakal ok untuknya. Next time kayaknya dia bisa ikut masuk, film yang ini lagi (filmnya bagus!)

Wednesday, June 25, 2008

Liburan Sekolah Donna 4

Craft from National Geographic : Motion the Ocean


www.nationalgeographic.com/kids/
1.Air + pewarna makanan (warna biru)
2.Tuang baby oil
3.Taruh mainan plastic yang bisa mengapung

Awalnya saya beri mainan plastik berbentuk kelinci karena warna pink-nya yang sangat menyala.
Tapi Donna menolak. Katanya, kelinci tidak hidup di lautan. Dia minta diganti mainan ikan pausnya yang berwarna hijau muda. Beginilah hasil akhirnya.

Sunday, June 22, 2008

Liburan Sekolah Donna 3



Our Turtles
Donna menamai mereka : Vanilla (yang pemalu) dan Vanilay (yang friendly),usia mereka 2 tahun.
Dia suka mengajak mereka bercakap-cakap (tepatnya monolog :D).
Suatu ketika saya tidak mendengar suara Donna ketika sedang bermain dengan kedua kura-kura itu. Karena penasaran saya intip. Yaa ampuun.. si Vanilay sedang diayun pelan-pelan di ayunan. Ayunannya sih aman, tapi kan si Vanilay bisa tujuh keliling ????

Liburan Sekolah Donna 2



The Predator Who Helps the Farmer
Saya ajak Donna men- cap kepik pakai kentang. Untuk latar belakang saya buatkan gambar rumput. Kata Donna, ini bukan rumput tapi padi, karena kepik menolong petani makan hama (dia dapat ‘ilmu’ ini dari kliping The Rice yang saya buatkan). He…he…he… gak sia-sia klipingnya.

Liburan Sekolah Donna 1


The Rice
Untuk mem-follow up pengenalan terhadap padi yang saya berikan ke Donna beberapa waktu yang lalu, saya buatkan kliping tentang padi yang diambil dari http://www.knowledgebank.irri.org/ dan foto-foto dari harian Kompas, juga foto yang saya buat sendiri.
Di web site tersebut ada 3 macam cereal yang diterangkan begitu komplit (padi, gandum dan jagung). Bagus sekali kalau bisa kita share ke anak-anak kita.
Kliping ini nantinya akan saya bawa ke sekolah Donna untuk di share dengan teman-teman Donna yang lain.

Ballet Show
Memeriahkan pembukaan Doraemon road show di Plaza Semanggi.
Karena baru pertama kali, Donna & teman-temannya ada salah-salah dikit. He..he..he… demam panggung rupanya.

Thursday, June 19, 2008

Kala Liza Sakit


Tahun ini ketika Liza sakit, saya sudah punya ‘asisten’ kecil berusia 4 tahun : Donna!

Maret lalu Liza sakit thypus (dirawat di rumah), dan harus beristirahat total. Mungkin karena kasihan melihat kakaknya hanya bisa tergolek saja, Donna berinisiatif ‘membacakan’ buku untuk Liza. Donna yang belum bisa baca begitu percaya diri ‘membacakan’ buku untuk Liza yang lancar baca. Lalu pemandangan selanjutnya membuat saya harus menahan tawa :
Liza dengan wajah bingung menatap Donna lalu menatap halaman buku yang sedang ‘dibacakan’, begitu terus bergantian. Mungkin dalam hati Liza ngomong begini :”Donna nih ngomong apaan sih… kok gak sama ya sama yang tertulis?”

Awal Mei kemarin, sehabis hiking di cibubur kami makan siang di suatu mall sekitar situ. Sehabis makan siang Liza muntah-muntah (sebelumnya memang dia tampak kurang begitu ceria, jadi kami putuskan hiking yang tidak terlalu jauh lokasinya). Tampaknya Liza masuk angin.
Waktu perjalanan pulang, di mobil, Liza berbaring di kursi. Saya lalu membacakan cerita untuk Liza, yang diambil dari salah satu buku favoritnya, tanpa buku tentunya (karena nggak bawa bukunya + hapal luar kepala saking seringnya dulu membacakan untuk Liza kecil). Setelah selesai,Liza tampak mendingan.
Melihat hal itu, Donna juga ingin melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan, dengan cerita berbeda yang dia tahu jadi favorit kakaknya. Berhubung Donna tidak hapal, maka saya jadi ‘pembisik’ dibalik punggungnya.
Maka adegan berikutnya juga membuat saya harus menahan tawa lagi:
Liza bangkit duduk menatap Donna dengan exciting, lalu mengintip si ‘pembisik’ sampai selesai berbisik, lalu ke Donna lagi, begitu bolak-balik. Dan ketika kalimat yang saya bisikkan terlalu panjang sehingga Donna lupa bagian akhirnya, Liza menunggu sejenak sementara Donna berpikir keras… lalu Liza berinisiatif melanjutkan kalimat tsb! Ha…ha…ha… pokoknya semua jadi senang. Liza senang karena itu bacaan favoritnya, Donna senang karena merasa membuat Liza senang, dan papa mama mereka pun senang melihat adegan itu. Jadinya acara hiking hari itu happy end :D

Wednesday, June 18, 2008

Kala Liza Sakit (Jaman Dulu)


Minggu lalu ketika Liza masuk angin, saya teringat jaman Liza waktu masih batita dulu. Dia sering sekali sakit, bahkan pernah 2 kali dirawat di Rumah Sakit.

Yang pertama karena ada benjolan kecil sebesar kacang tanah di atas mata kirinya yang harus dioperasi. Untungnya benjolan itu bersih, dalam arti tak berakar. Karena operasi itu sudah dipersiapkan lebih dulu, suami saya yang waktu itu masih kerja di Jawa Timur bisa datang sebelumnya, sehingga kami bisa bergantian jaga bersama almarhum ibu saya. Operasi itu sendiri berlangsung baik dan sukses.

Yang kedua adalah waktu Liza terkena muntaber. Celakanya waktu itu saya sendiri juga sedang terserang diare. Karena mendadak,suami saya tidak bisa langsung pulang (kota tempat dia bertugas adalah suatu kota sangat kecil di Jawa Timur, dan mesti ke kota terdekat untuk naik kereta api ke Jakarta).
Jadi saya yang sedang diare berjaga bergantian dengan almarhum ibu saya di rumah sakit, baru hari kedua suami saya datang menggantikan saya. Kami tak boleh lengah sedikit pun dalam menjaga Liza karena takut dia tiba-tiba mencabut infuse di tangannya.
Bagaimana rasanya menjaga anak sakit, tak boleh lengah sambil menahan diare? He..he..he.. yang jelas takkan terlupakan!

Thursday, June 12, 2008

Kisah Dari Sebutir Nasi

Di rumah, seluruh anggota keluarga kami selalu dibiasakan tidak meninggalkan sebutir nasi pun ketika makan. Saya mengajarkan Donna untuk menghargai hasil kerja keras petani, yang beberapa kali dia lihat ketika melintas dalam perjalanan menuju ke suatu tempat. Kadang yang tampak adalah petani sedang menanam, kadang sedang memanen.

Beberapa hari yang lalu dalam perjalanan ke suatu tempat, saya melihat pemandangan sungguh indah di satu tempat: ada bagian sawah yang sedang ditanami, ada yang sudah berbuah tapi masih hijau dan ada yang sudah menguning masak.
Saya ajak Donna turun ke pematang sawah, menemui seorang petani di situ. Saya minta sang petani untuk membagi sedikit padi-padi yang masih hijau maupun yang sudah menguning.
Berdiri di pematang sawah di tengah hamparan padi yang menguning sungguh menakjubkan. Padi-padi itu seakan berdansa gemulai karena hembusan angin, angin yang sama yang membelai kita (dan ketika di rumah Donna menirukan gemulainya tarian para padi :D).

Di rumah, saya bantu Donna mengupas salah satu bulir padi. Dengan girang dia menunjukkan ke saya butir beras yang dia dapatkan itu. Saya bilang,” kamu berhasil kupas satu butir, berapa butir yang mesti kamu kupas untuk sesendok nasi?”

Ya, dalam sebutir nasi tersimpan kisah kerja keras dan dedikasi yang luar biasa dari seorang petani. Awalnya petani harus mengolah tanah supaya layak tanam. Lalu dengan terbungkuk-bungkuk di terik matahari mereka menanam benih-benih padi itu, menjaganya agar cukup air dan pupuk sehingga tumbuh subur. Ketika bulir-bulir padi mulai keluar dan masih menghijau (tahukah anak-anak kita, bahwa bulir yang hijau itu masih ‘kosong’ ?) mereka harus tetap menjaganya dari gulma dan segala macam hama agar kelak bulir-bulir itu akan padat berisi. Dan ketika bulir-bulir padi mulai menguning, mereka juga harus tetap menjaganya dari tikus dan burung.

Semua info itu saya sampaikan pada Donna, lewat buku, lewat kata-kata, dan yang paling bermakna tentu lewat pengalaman langsung yang dia alami. Dia melihat orang-orangan sawah dengan ‘kagum’. Dia melihat petani sedang terbungkuk menanam, mencabuti gulma, mendengarnya berteriak mengusir burung pipit.

Ada peristiwa yang saya rasa meninggalkan kesan yang mendalam padanya. Tak jauh dari perumahan kami ada areal sawah , tampaknya tanaman padi di situ sudah ‘tua’ tapi aneh karena tak tampak bulir-bulir padi bergelayut. Ya, tanaman padi itu puso. Sayang waktu itu tak tampak seorang petani pun yang bisa saya tanya sebabnya. Hanya tampak sebagian dari padi puso itu sudah mulai dibabat.

Belasan tangkai padi yang masih hijau maupun sudah masak yang saya dapatkan itu saya bawa ke sekolah Donna. Saya bagi ke Kepala Sekolah, guru, dan orang tua teman-teman Donna. Saya minta mereka bersama anak-anak mengupas bulir padi itu.
Saya ingin anak-anak itu tahu dari mana nasi yang mereka makan berasal (jangan-jangan ketika mereka ditanya darimana beras yang mereka makan, mereka jawab ‘beli dari toko’!). Bahwa dari tiap butir nasi yang mereka suap ada kisah kerja keras dan ketulusan para petani.

Dan mumpung menjelang libur, mungkin ada orang tua yang tertarik membawa anak-anak mereka ‘berkunjung’ ke sawah, the real one kalau bisa. Karena pengalaman yang akan mereka dapatkan lebih bermakna dari pada sejuta kata-kata yang kita ‘cekokkan’ pada mereka.
Cerita mengenai wisata untuk anak yang lagi ngetrend , semacam ‘back to nature’ yang pernah saya ikuti, dalam acara ‘menanam padi di sawah’ : setelah anak-anak diberi benih padi mereka dibebaskan menanam di mana saja, tanpa penjelasan, tanpa petunjuk apapun. Setelah anak-anak puas (puas atau tidak, yang jelas benih padinya ‘dijatah’ sesuai tiket yang dibayarkan) dan beranjak pergi, sang ‘petani’ mencabuti kembali hasil tanam anak-anak, menyimpannya kembali untuk rombongan pembeli tiket berikutnya. Anak tetangga yang waktu itu saya ajak, menengok ke belakang dan melongo “kenapa padinya dicabutin lagi?”. Dari suara dan raut wajahnya rasa kecewa itu tak dapat disembunyikannya…
(untung waktu itu Donna masih berusia setahunan, jadi sebagai ‘penggembira’ yang belum mengerti dia tak perlu merasakan kekecewaan itu).

Thursday, June 5, 2008

kisah 3 Benih Yang Saya Tabur part two


Dari 3 PRT yang pernah bekerja pada saya, saya jadi merenungkan hal ini, benih yang baik tak selalu bisa tumbuh dengan baik. Mereka membutuhkan tanah yang baik agar dapat tumbuh.

Saya manusia yang jauh dari sempurna. Tapi dengan kehadiran Liza dan Donna, saya berusaha keras, agar saya selalu bisa menabur benih kebaikan. Di mana pun, kepada siapa pun, tak terkecuali pada PRT yang sedang bekerja pada kami.
PRT yang pertama, Narti, dia serupa dengan tanah yang subur, karena kebaikan hatinya dan kemauannya yang kuat untuk berubah menjadi makin baik (dari seorang buta huruf menjadi lancar baca tulis, dari tak punya uang sepeser pun sampai punya 2 petak sawah + sebidang tanah). Sehingga benih-benih kebaikan dan kemajuan yang saya tabur padanya tumbuh subur. Saya yakin pohon ini kelak pun akan berbuah kebaikan.
PRT yang kedua, V, serupa tanah bercadas, yang membuat benih-benih kebaikan dan kemajuan yang saya tabur mati bahkan sebelum sempat berkecambah (mungkin bisa saya ingatkan, dia lebih mementingkan pulang mengangkat jemurannya yang sudah kehujanan dari pada menunggui Liza yang terbaring sakit hanya untuk 10 menit saja).
PRT yang ketiga, R, ibarat tanah gersang, di mana benih kebaikan yang saya tabur Cuma tumbuh jadi pohon kerdil, yang tak berbuah, bahkan akan mati kalau tanahnya tak berubah.
Tetap saja banyak kemungkinan yang bisa terjadi dalam perjalanan hidup di dunia ini. Bisa saja tanah yang subur menjadi gersang karena tak pernah disirami hal-hal yang baik. Tanah gersang pun akan berubah jadi subur kalau kemudian dipupuk dengan kebaikan. Dan tanah bercadas pun tak pernah kehilangan kesempatan, jika tersedia banyak pupuk yang melapisinya, dan ketika ada benih kebaikan ditabur dia pun berkesempatan menumbuhkannya menjadi pohon kebaikan yang berbuah subur.

Demikian juga kita, tanah subur, tanah gersang, atau tanah bercadaskah kita? Tak ada kata terlambat untuk menumbuhkan pohon kebaikan dari hati kita. Dan tentu tak boleh dilupakan perawatannya, karena dalam perjalanan hingga dapat menghasilkan buah-buah kebaikan, tentu banyak gangguannya. Mungkin bisa dibayangkan seperti ini :
Putus asa yang bagaikan benalu, menghisap semangat hidup kita…
Tak ada kemauan untuk selalu belajar menjadi lebih baik, bagaikan ulat yang menggerogoti pucuk-pucuk daun muda sehingga tak ada pertumbuhan lagi…
Tak ada kemauan untuk menggali kebaikan dari dalam diri , bagaikan hama yang memakan calon-calon buah sehingga tak ada buah yang dihasilkan…
Atau bahkan tanahnya sendiri yang makin miskin hara karena tak pernah mendapatkan pupuk kebaikan dan air kasih sayang, sehingga segagah apapun pohonnya akan terkulai layu dan kering meranggas…
Saya tetap mengharapkan ketiga mantan PRT saya bagaimanapun prosesnya tetap akan menjadi pohon yang menghasilkan buah kebaikan, seperti juga saya selalu berharap dan berusaha keras agar senantiasa bisa menghasilkan buah yang baik.

Demikianlah renungan saya tentang 3 benih yang telah saya tabur.

Kisah 3 Benih yang Saya Tabur part one


PRT terakhir yang menginap di rumah saya R, ternyata bukanlah seorang yang jujur. Walaupun awalnya dia tampak baik, mau banyak belajar ketika saya semangati untuk bersekolah lagi. Rencananya dia mau ambil Kejar Paket B (setara SMP), saya berikan buku-buku pelajaran yang dulu saya beli untuk Narti.

Kepandaiannya bermain gitar yang didapat dari guru musik Liza, bagai pedang bermata 2. Di satu sisi bisa sesaat menghilangkan kerinduan Liza terhadap guru musiknya. Di satu sisi saya mendapat keluhan dari tetangga saya. Tetangga sebelah rumah saya ini curiga kenapa PRTnya, sebut saja Y, selalu mengantuk berat sejak akrab dengan R (setelah complain ini saya juga baru menyadari, memang beberapa kali R kesiangan bahkan mengeluh sakit kepala di pagi hari). Karena penasaran tetangga saya ini membaca diary Y yang tak sengaja ditemukannya dalam keadaan terbuka. Ternyata mereka berdua nyaris tiap tengah malam bermain gitar di atas genting! Astagaa.., dan rupa-rupanya itulah yang membuat R menyembunyikan kunci pintu teralis besi atas (biasanya walau teralis besi terkunci, tapi kunci tergeletak di meja begitu saja).
Ya sudahlah saya pikir, terserah asal dia dapat menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.

Lalu banyak laporan masuk ke kuping saya, ketika kami tak di rumah dia keluyuran ke mana-mana (saya coba buktikan dengan menelepon ke rumah, betul , tak ada yang angkat, berkali-kali). Lalu saya ajak dia bicara dari hati ke hati. Saya tanya, pernahkah saya melarangnya keluar rumah untuk suatu keperluan (bahkan waktu dia dan Y ingin nonton pertunjukan musik di Ancol)? Jawabnya, tidak. Lalu saya tanya, pernahkah dia keluar tanpa ijin saya, karena ada yang menyaksikannya? Jawabnya, tidak.
Saya hanya bisa menghela napas. Saya jelaskan kenapa saya selalu minta agar dia minta ijin dulu pada saya/suami. Kami bertanggung jawab atas keselamatannya selama dia bekerja pada kami. Saya ceritakan apa yang pernah dialami Narti. Waktu itu Narti pergi ke pasar naik sepeda. Pada waktu yang biasanya dia sudah sampai rumah entah kenapa dia belum sampai juga, hati saya jadi was-was. Akhirnya saya putuskan mencari dia. Ketika sedang menaikkan Liza ke mobil, Narti datang diantar satpam dalam keadaan luka-luka. Rupa-rupanya dia ditabrak becak yang sedang ngebut.
Saya tentu tak mengharapkan R celaka. Tapi kalau terjadi sesuatu padanya, paling tidak saya tahu dari mana harus melacak. Tapi ya itulah dia, walau di depan saya dia tampak menurut, tapi di belakang saya dia tetap melakukannya.

Akhirnya waktu lebaran dia mau pulang kampung, saya tanya baik-baik, setelah lebaran akan kembali bekerja di sini atau tidak? Jawabnya, Ya.
Maka saya berikan ongkos pulang pergi. Saya pesan agar sesampainya di kampung beri saya kabar, agar saya tahu dia sudah sampai dengan selamat, saya beri nomor Hp saya dan suami. Dan benar, malamnya dia sms sudah sampai di kampung dengan selamat. Lalu paginya terbongkarlah kedoknya. Paginya dia salah kirim sms ke Hp suami saya, yang seharusnya dia tujukan kepada Y (mantan PRT tetangga), mereka rupanya janjian ketemu di suatu tempat di Jakarta tapi belum bisa saling menemukan. Kami tertawa geli bersama membayangkan ekspresinya ketika dia tahu salah kirim pesan.

Saya tak kuatir hilang ongkos kalau dia tak kembali, walau dia sudah terbukti tidak jujur. Kelihatannya saya bersikap begitu naif. Tak apa-apa, biarkan saja. Bagi saya, kalau seseorang memilih menjadi buruk, dia sendiri yang akan rugi karena dia tak pernah akan berkembang jadi baik.
Dan memang, setelah lebaran dia tak pernah ada kabarnya lagi.