Pages

Sunday, March 29, 2015

Batu-batu Awal Story Stones


Inilah taman mungilku yang kuubah sedikit awal Januari 2015 lalu. Kolam kura-kura diperbesar karena kura-kura kami tumbuh membesar, dan ketambahan pula 2 ekor kura-kura dari orang yang sudah tak mau memeliharanya lagi. Karena area tanam menyempit, kusebar batu-batu putih di atasnya, supaya tampak lebih luas dan terang, sekaligus menjadi area kering untuk kura-kura.
Dari batu-batu putih itulah aku mendapatkan ide untuk melukisnya dan menjadikannya alat bercerita bersama anakku. Awalnya aku memakai batu taman yang agak besar. Tapi kemudian terpikir untuk membuatnya dari kerikil yang kecil (diameter sekitar 1-2 cm), supaya mudah dan ringan dibawa ke mana saja di dalam tas tangan. Harapanku akan ada banyak orang tua yang membawanya ketika sedang bepergian bersama anak mereka dan menggunakannya sebagai alat permainan yang interaktif (dan meminimalkan penggunaan gadget pada anak-anak). 
Terus terang, melukis di batu sekecil itu perlu usaha ekstra dibanding di batu yang berukuran lebih besar, pegeel :D
Tapi demi impianku agar lebih banyak anak yang terselamatkan dari kecanduan gadget, aku lakukan juga pembuatan story stones yang kecil-kecil ini.


Friday, March 20, 2015

Lagi: Homeschooling

Homeschooling itu kata kuncinya adalah "menjalani" bukan "mendaftar" apalagi "mendirikan". Karena homeschooling bukan lembaga, tapi pendidikan berbasis keluarga.

Kalimat ini aku copas dari tulisan sahabatku Mira Julia, pas banget dengan pertanyaan bertubi-tubi dari beberapa orang yang menanyakan Donna mau HS di mana setelah SD.
Gedubrag!

Lihatlah terjemahan kata "home" dari Google translate ini:














Jadi sudah jelas-jelas "Home"schooling, bukan rukoschooling, masih juga orang bertanya "HS di mana?"

Sunday, March 15, 2015

Steve Jobs Was a Low Tech Parent

Judul itu aku copy paste dari berita yang ditulis oleh wartawan NYTimes.com. Banyak yang terkejut membacanya. Tak disangka Steve Jobs, orang di balik sukses perusahaan komputer terkenal seperti Apple, justru tidak mengijinkan segala macam peralatan high tech di rumahnya untuk digunakan oleh anak-anaknya. Dan bukan hanya Steve Jobs saja, tapi beberapa pemimpin dan pendiri perusahaan yang tergolong High Tech juga melakukan pembatasan yang amat ketat terhadap penggunakan gadget dan screen untuk anak-anak mereka. Mereka tahu bahaya penggunaan gadget yang berlebihan pada anak-anak mereka. Jadi apa yang dilakukan oleh Mr Job di rumah bersama anak-anaknya?
Aku kutip sedikit di sini:
“Every evening Steve made a point of having dinner at the big long table in their kitchen, discussing books and history and a variety of things,” he said. “No one ever pulled out an iPad or computer. The kids did not seem addicted at all to devices.”
Atau selengkapnya bisa baca di sini.

Bagaimana di rumahku sendiri? Aku & suami sampai saat ini bangga tidak punya gadget, kecuali PC di rumah dan Handphone model jadul tanpa internet. Demikian pula dengan anak -anak kami, no gadget. Entah ke depannya bagaimana, tapi sampai saat ini kami bangga dengan hal itu. Jadi ketika kami pergi bersama sekeluarga, jarang sekali kami sibuk dengan gadget masing-masing. Kami bisa bebas ngobrol, bergurau dan berdiskusi bersama. Hp ada hanya untuk berkomunikasi seperlunya. Miris melihat anak2 bahkan batita pun sudah disodori gadget untuk membuat mereka "anteng" dan "tidak mengganggu" orang tua mereka. Waktu yang sangat sebentar bersama anak-anak bukannya dipakai untuk memperkuat ikatan batin dan berdiskusi hal-hal yang penting untuk tumbuh kembangnya kelak, malah dianggapnya anak-anak itu "pengganggu". 
Kira-kira bagaimana ya generasi yang sudah dicekoki gadget ini kelak memperlakukan orang tua mereka yang sudah uzur ? Apakah kira-kira mereka akan terganggu dengan kehadiran orang tuanya yang "mulai merepotkan"? Dan sebagai pengganti kehadiran diri, mereka mengirimkan gadget terbaru untuk orang tua mereka, biar orang tua mereka "anteng"? Mungkin juga plus mengirim "nanny" (yang tentunya juga sibuk main gadget, seperti yang mereka dapatkan selama mereka menjalani masa kanak-kanak)? . Entahlah...
Kami sendiri di rumah tidak totally screen free. Kami selama ini memakai PC untuk bekerja dan belajar. Sebagaimana sifat PC itu sendiri yang tidak bisa dibawa ke mana-mana, hanya bisa digunakan di tempat tertentu dan waktu tertentu, sehingga di waktu selebihnya kami lebih bisa berinteraksi penuh sebagai manusia nyata.

Just my two cents.

Friday, March 6, 2015

Snack Buatan Sendiri untuk Mengurangi Sampah Plastik

Terus terang tidak selalu ada waktu untuk membuat camilan sendiri di rumah untuk memberikan asupan sehat plus mengurangi sampah (seperti kantong plastik dan kemasan plastik). Beberapa yang sering kubikin antara lain : Guacamole (alpukat, air lemon, tomat, bawang merah, garam, olive oil, kemarin bikin ini :D)
banana muffin (kalau pas ada pisang yang terlalu matang), macam-macam puding sayur (labu kaboca, wortel), puding cokelat, pancake, bubur sum-sum (snack hari ini), kacang ijo, bubur mixed grain, dan beberapa kue-kue yang gampang. Dan minuman macam kunir asem atau berbahan kencur. Begini hasil kunir asemku:


Kalau tidak sempat bikin ya beli :D , maklum doyan makan semua di sini. Sering aku menitipkan wadah untuk mewadahi pesananku itu, atau pinjam wadah mereka yg langsung kukembalikan begitu pesanan bisa kupindahkan ke wadahku sendiri, setidaknya mengurangi sampah plastik dan "No Styrofoam". Maklum, waktu terasa hilang entah ke mana cepat sekali. Dan hal-hal seperti ini menyita waktu yang lebih dari lumayan --> menyiapkan bahan-bahan, memasaknya, lalu mencuci semua peralatan bekas pakai.
Dan sekarang aku mau mengoven kue cokelat, simple Nutella choco cake, yg bahannya hanya Nutella dan telur ayam, karena bubur sum-sumnya sudah amblas huaa....cepet amat habisnya. Berkejaran antara yang makan dan yang bikin.


Thursday, March 5, 2015

Bermain dengan Batu Bercerita (Story Stone)

Bagaimanakah kira-kira cara bermain Story Stones ini? Ada banyak sekali, tergantung imajinasi dan kreasi kita.
Untuk anak-anak yang lebih kecil, batu-batu bisa dijejer dulu, lalu terserah si anak mau mulai dengan batu yang mana.
Misal begini:
Ada seekor beruang yang lapar
dan dia ingin makan madu.

Lalu dia mengajak Jerapah sahabatnya untuk mencari madu bersama.












Tapi Jerapah sedang asik main balon. 















































Dan seterusnya :) Untuk anak yang lebih besar, batu-batu itu bisa tetap ditaruh di dalam kantong. Lalu satu persatu bergantian mengambilnya tanpa boleh mengintip lebih dulu. Misalkan anak pertama mengambil batu dan mendapatkan gambar beruang lalu memulai dengan "Suatu hari ada seekor beruang yang sedang kelaparan". Anak kedua mengambil batu dan melanjutkan cerita. Kalau dia mendapatkan batu bergambar balon, kira-kira bagaimana melanjutkannya ya? Mungkin begini"Dan dia bukannya menemukan madu tapi balon! Maka dia berpegangan erat pada tali balon dan ...." Dan seterusnya. Akan seru sekali. Bahkan Story stone ini bisa dipakai sebagai Ice Breaker di suatu acara yang pesertanya belum saling mengenal. Dengan bermain saling melanjutkan cerita satu sama lain, bisa cerita konyol atau lucu, sehingga mencairkan suasana. Selamat mencoba ^^

Lama tak Update dan si Batu Bercerita

Sudah lama sekali ternyata aku tidak menulis di sini. Selain kesibukan sehari-hari mengurus rumah dan membantu Liza belajar, juga sesekali mengerjakan ilustrasi untuk anak-anak. Dan yang terbaru adalah Story Stones alias Batu Bercerita.



Awalnya adalah ketika aku mengganti penampilan taman super mungil di depan rumahku. Kami ingin memperluas kolam kura-kura yang sudah ada dikarenakan sudah terlalu kecil untuk kura-kura kami yang tumbuh makin besar. Apalagi dapat limpahan 2 ekor kura-kura yg lebih besar lagi (pemiliknya sudah tidak mau piara mereka lagi ). Dan itu membuat area untuk tanaman yang sudah super sempit menjadi lebih sempit lagi. Maka kuputuskan untuk mengganti area tanam yang sempit itu dengan hamparan batu kerikil (besar dan kecil) warna putih, dan menjadi area untuk kura-kura berjalan-jalan keluar kolam. 
Setelah selesai, melihat beberapa batu yang mulus dan putih itu kok aku jadi merasa melihat kanvas. Maka iseng-iseng kupilih beberapa yang besar lalu kugambari dan kuwarnai. Jadinya cantik juga. Lalu aku dan Donna bermain bergantian bercerita menggunakan batu bergambar itu, seru sekali sampai kami tertawa terbahak-bahak. Dan terpikir, kalau batu-batunya lebih kecilan seukuran 1-2 cm saja, mungkin bisa dimasukkan dalam satu kantong kain kecil, lalu bisa dibawa ke mana saja dan bisa dimasukkan ke dalam tas tangan sebagai alat untuk bermain dan bercerita di mana saja dan kapan saja. Terbayang di ruang-ruang tunggu (entah di bandara, rumah sakit, apotik, bioskop, stasiun, mana saja) anak-anak bisa asik bermain batu-batu ini dengan ibunya, penjaganya atau dengan teman lainnya. Bandingkan dengan pemandangan yg sering kita lihat selama ini: ibunya atau penjaga anaknya asik main gadget, atau melototi tayangan sinetron atau infotainment, dan anak-anaknya pun jadinya tanpa punya pilihan ikut main gadget atau ikut menatap layar TV :(
Maka ketika ada teman dari Klub Oase menawarkan untuk dijual di suatu acara seminar mereka, aku girang sekali. Mungkin ini saatnya aku bisa berkontribusi untuk mengubah pemandangan yang bikin senep (hahaha apa ya padanannya...oh iya, pemandangan yang bikin sebal) di ruang tunggu yang selama ini kulihat, dengan sesuatu yang lebih baik. Maka ngebuuutlah aku waktu itu membuat beberapa kantong untuk dijual di acara itu.

Dan ternyata peminatnya lumayan banyak. Semoga makin banyak pula orang tua yang mulai menyadari bahwa waktu dengan anak-anaknya tidaklah banyak sebelum mereka akhirnya "terbang meninggalkan sarang". Jangan tukar waktu itu dengan hal lain yang, sebetulnya kita semua tahu, tidak penting.
Bagaimana sih bermain dengan batu bercerita itu? Lihat di sini.