PRT terakhir yang menginap di rumah saya R, ternyata bukanlah seorang yang jujur. Walaupun awalnya dia tampak baik, mau banyak belajar ketika saya semangati untuk bersekolah lagi. Rencananya dia mau ambil Kejar Paket B (setara SMP), saya berikan buku-buku pelajaran yang dulu saya beli untuk Narti.
Kepandaiannya bermain gitar yang didapat dari guru musik Liza, bagai pedang bermata 2. Di satu sisi bisa sesaat menghilangkan kerinduan Liza terhadap guru musiknya. Di satu sisi saya mendapat keluhan dari tetangga saya. Tetangga sebelah rumah saya ini curiga kenapa PRTnya, sebut saja Y, selalu mengantuk berat sejak akrab dengan R (setelah complain ini saya juga baru menyadari, memang beberapa kali R kesiangan bahkan mengeluh sakit kepala di pagi hari). Karena penasaran tetangga saya ini membaca diary Y yang tak sengaja ditemukannya dalam keadaan terbuka. Ternyata mereka berdua nyaris tiap tengah malam bermain gitar di atas genting! Astagaa.., dan rupa-rupanya itulah yang membuat R menyembunyikan kunci pintu teralis besi atas (biasanya walau teralis besi terkunci, tapi kunci tergeletak di meja begitu saja).
Ya sudahlah saya pikir, terserah asal dia dapat menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.
Lalu banyak laporan masuk ke kuping saya, ketika kami tak di rumah dia keluyuran ke mana-mana (saya coba buktikan dengan menelepon ke rumah, betul , tak ada yang angkat, berkali-kali). Lalu saya ajak dia bicara dari hati ke hati. Saya tanya, pernahkah saya melarangnya keluar rumah untuk suatu keperluan (bahkan waktu dia dan Y ingin nonton pertunjukan musik di Ancol)? Jawabnya, tidak. Lalu saya tanya, pernahkah dia keluar tanpa ijin saya, karena ada yang menyaksikannya? Jawabnya, tidak.
Saya hanya bisa menghela napas. Saya jelaskan kenapa saya selalu minta agar dia minta ijin dulu pada saya/suami. Kami bertanggung jawab atas keselamatannya selama dia bekerja pada kami. Saya ceritakan apa yang pernah dialami Narti. Waktu itu Narti pergi ke pasar naik sepeda. Pada waktu yang biasanya dia sudah sampai rumah entah kenapa dia belum sampai juga, hati saya jadi was-was. Akhirnya saya putuskan mencari dia. Ketika sedang menaikkan Liza ke mobil, Narti datang diantar satpam dalam keadaan luka-luka. Rupa-rupanya dia ditabrak becak yang sedang ngebut.
Saya tentu tak mengharapkan R celaka. Tapi kalau terjadi sesuatu padanya, paling tidak saya tahu dari mana harus melacak. Tapi ya itulah dia, walau di depan saya dia tampak menurut, tapi di belakang saya dia tetap melakukannya.
Akhirnya waktu lebaran dia mau pulang kampung, saya tanya baik-baik, setelah lebaran akan kembali bekerja di sini atau tidak? Jawabnya, Ya.
Maka saya berikan ongkos pulang pergi. Saya pesan agar sesampainya di kampung beri saya kabar, agar saya tahu dia sudah sampai dengan selamat, saya beri nomor Hp saya dan suami. Dan benar, malamnya dia sms sudah sampai di kampung dengan selamat. Lalu paginya terbongkarlah kedoknya. Paginya dia salah kirim sms ke Hp suami saya, yang seharusnya dia tujukan kepada Y (mantan PRT tetangga), mereka rupanya janjian ketemu di suatu tempat di Jakarta tapi belum bisa saling menemukan. Kami tertawa geli bersama membayangkan ekspresinya ketika dia tahu salah kirim pesan.
Saya tak kuatir hilang ongkos kalau dia tak kembali, walau dia sudah terbukti tidak jujur. Kelihatannya saya bersikap begitu naif. Tak apa-apa, biarkan saja. Bagi saya, kalau seseorang memilih menjadi buruk, dia sendiri yang akan rugi karena dia tak pernah akan berkembang jadi baik.
Dan memang, setelah lebaran dia tak pernah ada kabarnya lagi.
Kepandaiannya bermain gitar yang didapat dari guru musik Liza, bagai pedang bermata 2. Di satu sisi bisa sesaat menghilangkan kerinduan Liza terhadap guru musiknya. Di satu sisi saya mendapat keluhan dari tetangga saya. Tetangga sebelah rumah saya ini curiga kenapa PRTnya, sebut saja Y, selalu mengantuk berat sejak akrab dengan R (setelah complain ini saya juga baru menyadari, memang beberapa kali R kesiangan bahkan mengeluh sakit kepala di pagi hari). Karena penasaran tetangga saya ini membaca diary Y yang tak sengaja ditemukannya dalam keadaan terbuka. Ternyata mereka berdua nyaris tiap tengah malam bermain gitar di atas genting! Astagaa.., dan rupa-rupanya itulah yang membuat R menyembunyikan kunci pintu teralis besi atas (biasanya walau teralis besi terkunci, tapi kunci tergeletak di meja begitu saja).
Ya sudahlah saya pikir, terserah asal dia dapat menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.
Lalu banyak laporan masuk ke kuping saya, ketika kami tak di rumah dia keluyuran ke mana-mana (saya coba buktikan dengan menelepon ke rumah, betul , tak ada yang angkat, berkali-kali). Lalu saya ajak dia bicara dari hati ke hati. Saya tanya, pernahkah saya melarangnya keluar rumah untuk suatu keperluan (bahkan waktu dia dan Y ingin nonton pertunjukan musik di Ancol)? Jawabnya, tidak. Lalu saya tanya, pernahkah dia keluar tanpa ijin saya, karena ada yang menyaksikannya? Jawabnya, tidak.
Saya hanya bisa menghela napas. Saya jelaskan kenapa saya selalu minta agar dia minta ijin dulu pada saya/suami. Kami bertanggung jawab atas keselamatannya selama dia bekerja pada kami. Saya ceritakan apa yang pernah dialami Narti. Waktu itu Narti pergi ke pasar naik sepeda. Pada waktu yang biasanya dia sudah sampai rumah entah kenapa dia belum sampai juga, hati saya jadi was-was. Akhirnya saya putuskan mencari dia. Ketika sedang menaikkan Liza ke mobil, Narti datang diantar satpam dalam keadaan luka-luka. Rupa-rupanya dia ditabrak becak yang sedang ngebut.
Saya tentu tak mengharapkan R celaka. Tapi kalau terjadi sesuatu padanya, paling tidak saya tahu dari mana harus melacak. Tapi ya itulah dia, walau di depan saya dia tampak menurut, tapi di belakang saya dia tetap melakukannya.
Akhirnya waktu lebaran dia mau pulang kampung, saya tanya baik-baik, setelah lebaran akan kembali bekerja di sini atau tidak? Jawabnya, Ya.
Maka saya berikan ongkos pulang pergi. Saya pesan agar sesampainya di kampung beri saya kabar, agar saya tahu dia sudah sampai dengan selamat, saya beri nomor Hp saya dan suami. Dan benar, malamnya dia sms sudah sampai di kampung dengan selamat. Lalu paginya terbongkarlah kedoknya. Paginya dia salah kirim sms ke Hp suami saya, yang seharusnya dia tujukan kepada Y (mantan PRT tetangga), mereka rupanya janjian ketemu di suatu tempat di Jakarta tapi belum bisa saling menemukan. Kami tertawa geli bersama membayangkan ekspresinya ketika dia tahu salah kirim pesan.
Saya tak kuatir hilang ongkos kalau dia tak kembali, walau dia sudah terbukti tidak jujur. Kelihatannya saya bersikap begitu naif. Tak apa-apa, biarkan saja. Bagi saya, kalau seseorang memilih menjadi buruk, dia sendiri yang akan rugi karena dia tak pernah akan berkembang jadi baik.
Dan memang, setelah lebaran dia tak pernah ada kabarnya lagi.
No comments:
Post a Comment