Di sela-sela semua kegiatan untuk anak-anak itu sebetulnya pikiran saya sedang kalut . Bagaimana tidak , ibu saya makin parah keadaannya . Setelah terdiagnosa kanker pada th 2003 dan menjalani serangkaian pengobatan alternative , bukannya membaik malahan beliau mengalami gagal ginjal juga. Di sisi lain saya berusaha keras agar kehidupan anak-anak bisa ‘senormal’ mungkin , di tengah bermacam beban yang menghimpit. Karena semakin parah keadaan ibu saya , semakin besar ‘emosi negatif’ yang menyelimuti suasana rumah kami . Beliau di kala sedang berdua dengan saya sering mengungkapkan , tolong mama diikhlaskan , karena derita yang mama tanggung sudah tak tertahankan. Walau hati terasa begitu pedih, saya berusaha menyembunyikannya , dan saya berusaha memahami beliau . Kalau saya memaksa beliau agar bertahan terus dalam penderitaan yang begitu menyiksa , alangkah egoisnya saya! Demi agar saya bisa tetap melihat kehadiran beliau , beliau yang harus menanggung segala derita! Saya pasrahkan beliau ke Atas,saya hanya ingin beliau bahagia , itu saja .
Ibu saya tadinya adalah seorang wanita yang sangat sehat dan kuat , jarang sekali mengeluh. Beliau mendedikasikan hidupnya untuk anak-anaknya . Ibu orang yang hangat. Kalau akan ada saudara yang datang dari jauh , ibu sudah menyiapkan makanan kesukaannya (ke pasar dan memasaknya sendiri), nyaris untuk tiap orang ibu tahu makanan kesukaannya masing-masing.
Menyaksikan beliau tinggal kulit membungkus tulang dan terbaring tak berdaya , harus dibantu untuk semua kegiatannya , hati saya benar-benar sedih . Sampai sekarang pun bayangan menyedihkan itu tetap terasa menyayat hati .
Walaupun segala upaya telah kami lakukan , ditambah segala bantuan yang luar biasa dari para saudara , keadaan ibu tetap tak membaik , bahkan bertambah parah . Sampai akhirnya beliau dipanggilNya kembali ke rumahNya 29 Oktober 2005. Saya relakan beliau , selamat jalan mama… Bagi saya kehadiran beliau tetap ada . Di dalam hati , dan dalam semua kenangan yang indah …
Pada saat Narti menengok kampungnya setelah acara pemakaman ibu selesai , ayahnya melarangnya kembali ke Jakarta. Hampir seluruh barang dan tabungannya masih ada pada saya. Dia menitipkannya pada saya .
Jadi setelah pemakaman , hidup yang saya alami pun mengalami perubahan drastis. Saya kehilangan ibu saya , dan juga Narti yang hampir 9 tahun bersama kami .
Tapi saat itu perasaan saya kosong. Saya tak merasa apapun . Kasihan sekali anak-anak (waktu itu Liza berusia 8 tahun dan Donna 1 tahun) karena mamanya Cuma seperti robot bernyawa tapi tak tampak tanda-tanda ‘kehidupan’.. Otak saya terasa tak jalan dan perasaan pun terasa mati. Walau sehari-hari pontang-panting mengurus anak dan rumah , tapi entah kenapa perasaan saya belum bisa kembali. Perlu beberapa minggu , sampai saya bisa merasa oh… saya ini manusia yang punya perasaan , saya manusia yang punya otak, dan pelan-pelan mulai kembali ke kehidupan normal.
Beberapa waktu sebelum ibu meninggal , ketika keadaan sungguh menekan , saya dan adik-adik sempat berkonflik . Saya tahu, semua ingin memberikan yang terbaik untuk beliau dan pada saat itu semua dalam keadaan ‘tegangan tinggi’. Salah kata sedikit saja menimbulkan pertentangan yang besar.
Kepala saya terasa mau pecah , rumah saya penuh ketegangan . Tuduhan miring pun sempat terlayang ke saya , seakan-akan saya anak durhaka , yang menelantarkan ibu , betapapun saya telah berusaha memberikan yang terbaik , bagi mereka belumlah cukup . Bahkan sampai-sampai ada waktu (1 bulan ) di mana kami tak bisa membawa Liza terapi ke bandung . Berapapun pengorbanan kami sekeluarga, seakan tak ada harganya. Saya pun akhirnya menjadi sangat marah , marah yang sungguh penuh dendam, karena sakitnya hati ini. Bukan hanya saya dan suami yang berkorban, bahkan seorang anak seperti Liza pun ikut berkorban, dan itu masih dianggap tak cukup?
Saya akhirnya berusaha berpikir positif , mereka memang tak akan bisa mengerti keadaan kami . Adik-adik saya yang sudah berkeluarga , mereka adalah keluarga-keluarga biasa , tidak termasuk extra ordinary seperti keluarga saya . Apalagi bagi yang belum berkeluarga , tentu sulit membayangkan beban kami .
Saya ingatkan diri saya sendiri sebuah pepatah jawa yang berbunyi “becik ketitik , ala ketara” , mana yang baik akan kelihatan , demikian pula mana yang buruk. Pepatah ini saya coba untuk menurunkan kemarahan saya dan untuk lebih pasrah ke Atas . Ok, saya pikir saya perlu waktu untuk bisa mengatasi semua hal yang terasa beruntun ini.
Perjuangan mengalahkan rasa marah ini tak mudah. Lalu setelah waktu yang saya rasa cukup , saya menuliskannya di selembar kertas. Saya tuliskan kembali peristiwa-peristiwa yang saya alami. Ketika menuliskannya , saya merasa seperti sedang mengalaminya lagi saat itu, penuh emosi . Lalu ketika saya membacanya kembali , saya coba untuk mengambil jarak ,sehingga saya bisa merenungkannya kembali dan memandangnya lagi dari kacamata lain yang saya harapkan bisa lebih obyektif.
Lalu proses penyembuhan dari luka-luka, kesedihan, dan kemarahan-kemarahan yang terpendam , yang tak sempat/bisa saya keluarkan , pun pelan-pelan dimulailah. Dengan perasaan yang baru , saya mencoba memandang peristiwa itu lagi.
Lalu saya mulai bisa menerima semua itu , lalu memaafkannya , orang lain maupun diri sendiri . Lalu entah bagaimana , perasaan damai & cinta mulai menggantikan muatan emosi yang sebelumnya sangat negative.
Mungkin semacam cara menerapi diri sendiri , yang saya tak tahu namanya.
Perasaan yang sama pun saya alami ketika menuliskan seluruh blog saya. Saya merasa kembali ke peristiwa yang sedang saya tulis (mengalaminya sekali lagi), lalu mencoba memandang segala sesuatunya dari sisi yang lain.
Dan saya teringat suatu kotbah dari seorang pastor :
Ada pepatah Irlandia ( kebetulan dia dari Irlandia) yang mengatakan , jangan sekali-sekali engkau menghakimi orang lain sebelum kamu bisa berjalan dengan sepatunya.
Banyak orang dengan tak adil menghakimi kita…
Tapi itu bukanlah urusan kita.
Curahkan samudra maaf tuk mereka.
Dan berapa banyak orang yang telah kita hakimi secara tak adil juga ?
Sudahkan kita mohon kebesaran hati mereka tuk memaafkan kita ?
Atau keangkuhan telah membutakan nurani kita ?
Ibu saya tadinya adalah seorang wanita yang sangat sehat dan kuat , jarang sekali mengeluh. Beliau mendedikasikan hidupnya untuk anak-anaknya . Ibu orang yang hangat. Kalau akan ada saudara yang datang dari jauh , ibu sudah menyiapkan makanan kesukaannya (ke pasar dan memasaknya sendiri), nyaris untuk tiap orang ibu tahu makanan kesukaannya masing-masing.
Menyaksikan beliau tinggal kulit membungkus tulang dan terbaring tak berdaya , harus dibantu untuk semua kegiatannya , hati saya benar-benar sedih . Sampai sekarang pun bayangan menyedihkan itu tetap terasa menyayat hati .
Walaupun segala upaya telah kami lakukan , ditambah segala bantuan yang luar biasa dari para saudara , keadaan ibu tetap tak membaik , bahkan bertambah parah . Sampai akhirnya beliau dipanggilNya kembali ke rumahNya 29 Oktober 2005. Saya relakan beliau , selamat jalan mama… Bagi saya kehadiran beliau tetap ada . Di dalam hati , dan dalam semua kenangan yang indah …
Pada saat Narti menengok kampungnya setelah acara pemakaman ibu selesai , ayahnya melarangnya kembali ke Jakarta. Hampir seluruh barang dan tabungannya masih ada pada saya. Dia menitipkannya pada saya .
Jadi setelah pemakaman , hidup yang saya alami pun mengalami perubahan drastis. Saya kehilangan ibu saya , dan juga Narti yang hampir 9 tahun bersama kami .
Tapi saat itu perasaan saya kosong. Saya tak merasa apapun . Kasihan sekali anak-anak (waktu itu Liza berusia 8 tahun dan Donna 1 tahun) karena mamanya Cuma seperti robot bernyawa tapi tak tampak tanda-tanda ‘kehidupan’.. Otak saya terasa tak jalan dan perasaan pun terasa mati. Walau sehari-hari pontang-panting mengurus anak dan rumah , tapi entah kenapa perasaan saya belum bisa kembali. Perlu beberapa minggu , sampai saya bisa merasa oh… saya ini manusia yang punya perasaan , saya manusia yang punya otak, dan pelan-pelan mulai kembali ke kehidupan normal.
Beberapa waktu sebelum ibu meninggal , ketika keadaan sungguh menekan , saya dan adik-adik sempat berkonflik . Saya tahu, semua ingin memberikan yang terbaik untuk beliau dan pada saat itu semua dalam keadaan ‘tegangan tinggi’. Salah kata sedikit saja menimbulkan pertentangan yang besar.
Kepala saya terasa mau pecah , rumah saya penuh ketegangan . Tuduhan miring pun sempat terlayang ke saya , seakan-akan saya anak durhaka , yang menelantarkan ibu , betapapun saya telah berusaha memberikan yang terbaik , bagi mereka belumlah cukup . Bahkan sampai-sampai ada waktu (1 bulan ) di mana kami tak bisa membawa Liza terapi ke bandung . Berapapun pengorbanan kami sekeluarga, seakan tak ada harganya. Saya pun akhirnya menjadi sangat marah , marah yang sungguh penuh dendam, karena sakitnya hati ini. Bukan hanya saya dan suami yang berkorban, bahkan seorang anak seperti Liza pun ikut berkorban, dan itu masih dianggap tak cukup?
Saya akhirnya berusaha berpikir positif , mereka memang tak akan bisa mengerti keadaan kami . Adik-adik saya yang sudah berkeluarga , mereka adalah keluarga-keluarga biasa , tidak termasuk extra ordinary seperti keluarga saya . Apalagi bagi yang belum berkeluarga , tentu sulit membayangkan beban kami .
Saya ingatkan diri saya sendiri sebuah pepatah jawa yang berbunyi “becik ketitik , ala ketara” , mana yang baik akan kelihatan , demikian pula mana yang buruk. Pepatah ini saya coba untuk menurunkan kemarahan saya dan untuk lebih pasrah ke Atas . Ok, saya pikir saya perlu waktu untuk bisa mengatasi semua hal yang terasa beruntun ini.
Perjuangan mengalahkan rasa marah ini tak mudah. Lalu setelah waktu yang saya rasa cukup , saya menuliskannya di selembar kertas. Saya tuliskan kembali peristiwa-peristiwa yang saya alami. Ketika menuliskannya , saya merasa seperti sedang mengalaminya lagi saat itu, penuh emosi . Lalu ketika saya membacanya kembali , saya coba untuk mengambil jarak ,sehingga saya bisa merenungkannya kembali dan memandangnya lagi dari kacamata lain yang saya harapkan bisa lebih obyektif.
Lalu proses penyembuhan dari luka-luka, kesedihan, dan kemarahan-kemarahan yang terpendam , yang tak sempat/bisa saya keluarkan , pun pelan-pelan dimulailah. Dengan perasaan yang baru , saya mencoba memandang peristiwa itu lagi.
Lalu saya mulai bisa menerima semua itu , lalu memaafkannya , orang lain maupun diri sendiri . Lalu entah bagaimana , perasaan damai & cinta mulai menggantikan muatan emosi yang sebelumnya sangat negative.
Mungkin semacam cara menerapi diri sendiri , yang saya tak tahu namanya.
Perasaan yang sama pun saya alami ketika menuliskan seluruh blog saya. Saya merasa kembali ke peristiwa yang sedang saya tulis (mengalaminya sekali lagi), lalu mencoba memandang segala sesuatunya dari sisi yang lain.
Dan saya teringat suatu kotbah dari seorang pastor :
Ada pepatah Irlandia ( kebetulan dia dari Irlandia) yang mengatakan , jangan sekali-sekali engkau menghakimi orang lain sebelum kamu bisa berjalan dengan sepatunya.
Banyak orang dengan tak adil menghakimi kita…
Tapi itu bukanlah urusan kita.
Curahkan samudra maaf tuk mereka.
Dan berapa banyak orang yang telah kita hakimi secara tak adil juga ?
Sudahkan kita mohon kebesaran hati mereka tuk memaafkan kita ?
Atau keangkuhan telah membutakan nurani kita ?
No comments:
Post a Comment