Pages

Thursday, May 29, 2008

Di Bawah Pohon Rindang


Sebagian peserta 17 agustusan 2006 menunggu di bawah kerindangan pohon di depan rumah.

Pohon itu terpaksa kami tebang tahun kemarin, karena akarnya yang besar ‘bertarung’ dengan tembok pagar kami. Sudah beberapa kali tembok pagar kami perkuat, tapi kalah juga. Akhirnya dengan berat hati keputusan kami ambil untuk menebangnya.
Pohon itu 12 th yang lalu ketika kami mulai tinggal di sini tingginya tak lebih dari leher saya dan diameternya sebesar jempol kaki saya. 12 th kemudian diameter bagian bawahnya kira-kira 40 cm dan tingginya menjulang melebihi atap rumah. Daunnya yang rimbun tempat banyak burung bersarang. Pernah suatu ketika suami saya memangkas daun-daunnya dan di salah satu cabang ternyata ada sarang burung berisi 2 ekor anak burung yang belum bisa terbang. Kami baru menyadarinya ketika ada ciap-ciap kecil dari gundukan daun yang telah dipangkas. Suami saya berusaha mengikatkannya kembali ke dahan tertinggi di mana jauh di atas pohon ada seekor burung (induknya?) tampak cemas memutari pohon berkali-kali.

Pohon yang saya tak tahu namanya itu, berbuah kecil lonjong seperti anggur tapi warnanya kehitaman, daunnya sepintas seperti daun mangga. Saya pernah melihat yang seperti itu tapi jauh lebih ‘raksasa’ di kebun Raya Bogor. Tingginya mungkin lebih dari 3 kali lipat pohon saya, dan diameternya perlu 2 orang untuk memeluknya. Dan karena pohon yang saya lihat itu masih ‘sehat’ mungkin saja dia akan tumbuh lebih meraksasa lagi. Saya baca dari salah satu buku milik Donna, bahwa tanaman akan tumbuh terus sampai dia mati. Wow!
Sekarang depan rumah saya terasa panas, tak ada kicau burung yang bersarang di pohon lagi. Orang yang lalu lalang pun mengeluh kehilangan keteduhannya ketika melintas.

Pohon itu sangat berjasa menyukseskan 2 kali acara 17 agustusan yang saya selenggarakan dengan keteduhannya yang menaungi anak-anak peserta dan para supporter.
Andai dia bisa bercerita tentu banyak kisah menarik yang akan kita dapatkan. Mungkin cerita tentang entah berapa ratus anak burung yang menetas lalu belajar terbang di situ. Atau kisah duka induk burung yang kehilangan sarang beserta anaknya karena ‘diculik’ anak-anak kampung yang ingin memilikinya. Juga kisah kasih PRT mantan tetangga (yang sudah pindah) dengan kekasihnya. Mereka lalu menikah, dan sekarang dia membantu saya tiap pagi sebelum dia berangkat kerja ke pabrik.

Batang pohonnya yang besar itu lalu diminta seseorang untuk dipotong-potong menjadi kayu bakar. Ada rasa sedih sebetulnya menyaksikannya berubah menjadi potongan kayu bakar, sebentar lagi dia akan menjadi abu yang kemudian tertiup angin, tak berbekas…

Bukannya saya tak menanam pohon pengganti. Tapi penggantinya ini, pohon belimbing cangkokan yang saya beli setinggi dada, tak bisa tumbuh lebih tinggi dari pagar pelindungnya yang setinggi leher. Para kambing selalu menghabiskan pucuk-pucuk daunnya.
Sebetulnya di pinggir jalan sudah ada pengumuman “Dilarang Menggembalakan Ternak Di sini”. Tapi para penggembala kambing itu tak mengindahkannya, apalagi kambing-kambingnya…
Apa boleh buat!

Hadiah Untuk Semua


Inilah tumpukan hadiah untuk para peserta 17 agustusan 2006. Semua dapat hadiah, karena semua sudah berusaha keras. Semua adalah pemenang.

17 Agustusan 2005


Peserta 17 agustusan 2005 adalah murni anggota sekolah sore, seperti tampak di foto ini (yang 2 orang sedang berhalangan), lebih sedikit tapi lebih dekat satu sama lain.

17 Agustusan Yang Kedua


Setelah era yang dibantu oleh PRT V, ada seorang teman yang menawari PRT yang mau menginap di rumah, namanya R.
Dari segi kepandaian, karena dia lulusan SD, R jauh lebih pintar dari Narti. Tapi dia belum sampai tahap bisa mengerti Liza (bahkan sampai terakhir dia kerja pada kami). Memang untuk bisa benar-benar mengerti Liza bukan Cuma perlu waktu, tapi juga perlu kemauan untuk mengerti. Jadi akhirnya saya fokuskan R untuk kebersihan rumah dan sesekali menjaga Donna.

R saya ajak ikut ke bandung, ke tempat Liza bermusik. Karena dia berminat sekali untuk bisa main gitar, saya minta tolong guru bermusik Liza untuk mengajarinya sedikit-sedikit agar bisa mengiringi Liza ketika di rumah. Waktu itu guru Liza bermusik sedang bersiap-siap berangkat ke Jerman sekeluarga (dia dan suaminya mendapatkan beasiswa dari Jerman). Lumayanlah, si R bisa gitar dikit-dikit, paling tidak saya pikir bisa untuk ‘mengganti’ acara bermusik dengan guru itu.
Akhirnya guru bermusik Liza berangkat ke Jerman, dan acara Liza bermusik terpaksa di stop (saya juga mendukungnya ke Jerman untuk masa depan yang lebih baik untuk kita semua kelak). Waktu itu saya belum menemukan guru pengganti yang mau menerima keadaan Liza apa adanya. Dan acara ke bandung 2 minggu sekali pun selesai (terapi SI sebelumnya sudah saya pindahkan ke RS Bunda di Jakarta).

Walau saya sudah ada PRT yang menginap, saya tetap tidak bisa mengadakan sekolah sore lagi. Seperti yang saya tadi ungkapkan, R belum bisa mengerti Liza. Jadi sulit bagi saya untuk membagi konsentrasi menjadi pembimbing anak-anak dan shadow teacher untuk Liza.
Tapi pernah sekali saya membawa anak-anak tetangga untuk ber- out bond bersama.

Lalu waktu 17 agustus 2006 sekali lagi saya dan tetangga mengadakan acara 17 agustusan, sekaligus memenuhi janji kami tahun lalu kepada anak-anak. Yang ini persiapannya lebih serius karena pesertanya sangat banyak. Kami dan beberapa orang tua berpatungan membeli hadiah (saking banyaknya sampai harus diangkut mobil). Kami juga siapkan minuman dan penganan kecil. Tetangga saya kebagian mempersiapkan hadiah-hadiah, saya bagian acara. Persiapannya sudah heboh beberapa hari sebelumnya, layaknya akan ada acara kawinan atau sunatan di kampung!
Pembagian golongan peserta lomba jadi lebih banyak, golongan kecil A (paling kecil) dan B (agak gedean dikit), golongan agak besar A dan B , golongan anak besar, lalu golongan para mbak.
Lombanya antara lain : menempel anggota wajah dalam keadaan mata tertutup (untuk para mbak diganti jadi menggambar wajah dalam keadaan mata tertutup), lalu menyusun menara dari bekas rol tissue (sudah berbulan-bulan kami mengumpulkannya sampai terkumpul 1 dus buesaar), dan terakhir merobohkan menara rol tissue dengan cara menggelindingkan balon berisi air ke target masing-masing dengan stick dari kertas Koran yang digulung.
Seru dan heboh sekali, semua berteriak menyemangati anaknya masing-masing, sampai sehabis acara habis juga suara kami.
Seperti biasa Liza ikut golongan kecil A, dan waktu menempel anggota wajah, kami tidak menutup mata Liza (wah..bisa ngamuk berat nanti). Semua orang mengerti.
Dan acara itu ditutup dengan ‘perang balon’ isi air sisa lomba. Capek, tapi memang seru.
Tapi, jika lain waktu saya mendapat kesempatan menyelenggarakan acara sejenis, saya tak ingin menyelenggarakannya sebesar ini lagi (itupun sehabis acara selesai datang seorang nenek yang protes berat karena cucunya kok tidak diikut sertakan, ampuun… lama-lama kami mesti pakai event organizer deh :D). Karena terlalu banyak peserta, waktu penyelenggaraan jadi panjang, dan tentu suasananya amat sangat tidak nyaman bagi Liza (beberapa kali dia kabur masuk rumah). Ramai, lama, panas (hampir jam 12 siang baru selesai). Terlalu banyak orang sehingga hilang rasa kedekatan dan keakraban satu sama lain (terutama anggota bekas sekolah sore), yang seharusnya menjadi ‘nyawa’ dan tujuan acara ini awalnya.
Oleh sebab itu saya juga bilang ke anak-anak, tahun depan gak janji ada acara 17 an, lihat sikon nanti. Dan memang ternyata itu yang terjadi,th 2007 saya tak punya PRT juga tetangga sebelah saya. 17 agustusan 2006 menjadi yang terakhir.

Dan akhirnya anggota sekolah sore yang pernah saya adakan pun berpencar-pencar. 7 anak dari 10 anak anggota sekolah sore pindah rumah (termasuk tetangga sebelah rumah saya). Kok bisa banyak sekali? 3 anak ikut orang tuanya pindah karena masalah ekonomi, 2 anak pindah karena ekonomi orang tuanya membaik, dan 2 anak ikut orang tuanya pindah ke dekat tempat kerjanya.
Saya bersyukur karena sekolah sore yang begitu menyenangkan pernah ada, walaupun sekarang tinggal kenangan tapi saya yakin kenangan yang indah ini akan ada di dalam memory masing-masing anak. Juga mungkin tentang seorang anak special needs bernama Liza. Di mana mereka setiap hari pernah berinteraksi langsung, tanpa kepura-puraan, tanpa paksaan.

Saya berharap kelak di kemudian hari ketika mereka telah beranjak dewasa kenangan masa kecil yang indah ini akan membuat mereka jadi manusia yang lebih peka, lebih bisa menerima manusia lain yang keadaannya berbeda dari mereka dan lebih arif dalam memandang dan menyikapi sebuah perbedaan.
Harapan yang menjadi doa saya, menyertai mereka…

Thursday, May 22, 2008

Bubarnya Sekolah Sore


Dikarenakan kepulangan Narti ke kampung yang mendadak, saya sempat kerepotan. Hampir 9 tahun dia menjadi bagian dari keluarga kami yang tak terpisahkan. Pekerjaan rumah tangga akhirnya saya kerjakan berdua dengan suami, di sela-sela tugas pokok kami. Untuk memperingan pekerjaan, sejak saat itu hingga kini kami catering, saya hanya masak untuk anak-anak. Sekolah rumah Liza saya sesuaikan dengan sisa waktu yang ada. Saya berpikir, mungkin ini sedang saatnya ‘memperlambat laju’, tak apa-apa, pokoknya saya usahakan tak berhenti.

Dan semua itu saya ceritakan secara terbuka kepada para anggota sekolah sore. Mereka bisa mengerti, bahkan sejak saat ibu saya mulai makin berat keadaannya yang membuat hari-hari sekolah sore banyak ‘bolongnya’ dan akhirnya ‘stop’ setelah ibu kritis hingga meninggal. Kami sama-sama merindukan saat-saat riang penuh kehebohan yang menyenangkan itu. Saya tak mungkin menyelenggarakannya sendirian. Tapi saya persilakan kalau mereka mau main ke rumah kami, mau baca-baca buku atau apapun. Tapi rupanya para orangtua mereka ‘melarang’ mereka, karena mereka tak ingin menambah kerepotan saya dan mereka merasa saya masih dalam suasana berkabung.

Apakah berarti sosialisasi untuk Liza jadi terhenti? Tentu saja tidak, karena sosialisasai bisa dilakukan di mana saja & kapan saja. Seperti kehidupan nyata kita sehari-hari, kita bergaul dengan berbagai macam orang dan tidak Cuma dengan yang sebaya/seusia saja. Maksud saya, ke mana pun saya pergi Liza saya ajak, sehingga di setiap tempat dia bisa berinteraksi dan bertemu dengan berbagai macam orang. Misal di sekolah musik, di sekolahnya Donna, di tempat les-nya Donna,dll.

Ada beberapa minggu kami hidup pontang-panting waktu itu. Kemudian ada yang membantu saya lagi, tapi karena dia sudah berkeluarga dia hanya bisa membantu hingga sore, sampai jam 5. Cuma, yang satu ini etos kerjanya sungguh-sungguh payah. Ya sudahlah, yang penting Liza bisa kembali mendapatkan prime time untuk belajar, dari pagi sampai siang. Sebut saja namanya V.

Ada suatu peristiwa yang membuat saya terhenyak akan sikapnya.
Waktu itu Liza sakit, muntah-muntah, mulai siang tak berhenti. Dokter langganan praktek sore hari. Saya coba beri Liza anti muntah, dan akhirnya muntahnya berhenti, lalu tertidur. Waktu itu pukul 3 siang, suami saya di kantor sedang ada urusan sehingga tak bisa pulang lebih cepat, langit mendung mau hujan, Donna (waktu itu usianya belum 2 th) sedang tidur siang. Saya minta V tungguin mereka karena saya mau mandi, tak lebih dari 10 menit. Belum selesai saya bicara hujan besar tercurah dari langit. V ribut mau pulang karena mau angkat jemuran. Saya sampai tak bisa ngomong sesaat, bukankah hujan sudah turun dan jemuran pasti sudah basah, sedangkan Liza sedang terbaring sakit (dan sebetulnya memang belum waktunya dia pulang)? Tapi dia ngotot. Ya sudah, saya tak mau menghabiskan waktu dan tenaga untuk berdebat. Dia tetap pulang ke kontrakannya, kira-kira setengah jam bersepeda katanya (sepeda itu sepeda kami, yang kami pinjamkan karena kasihan dia kalau bolak-balik jalan kaki).
Tak apa-apa, saya tak dendam padanya. Kalau memang V tak pernah mau berubah menjadi baik, dia sendiri yang akan rugi, karena dia menutup diri ke arah perkembangan yang lebih baik bagi dirinya sendiri.
Akhirnya saya tak jadi mandi, saya tunggui Liza. Saya kompres dia karena mulai panas. Ketika jam praktek dokter sudah mulai saya bawa Liza dan Donna sendiri ke sana. Ada rasa haru melihat Donna yang belum 2 th berusaha naik turun mobil sendiri sambil membantu membawakan tas tanpa saya minta. Dia rupanya melihat saya kerepotan membawa kakaknya. Perbedaan yang sangat mencolok dengan sikap V! Lalu dengan susah payah sampai juga kami ke ruang periksa dokter di lantai 2. Fiuuh…ngos-ngosan pokoknya.


Dari peristiwa itu, kita bisa melihat bahwa kedewasaan seseorang tak ada hubungannya dengan usia fisik. V seorang wanita dewasa, tapi kalah dewasa dengan Donna yang belum 2 th!

Monday, May 19, 2008

Sekolah Rumah


Tahun 2004 Liza lulus dari TK. Tidak seperti waktu dia berusia 3 th di mana saya berusaha mencarikan ‘sekolah’ yang cocok, saat ini saya begitu mantapnya untuk mengajar sendiri. Ya betul, karena saya merasa hanya saya yang bisa memberi pendidikan yang terbaik untuknya, apalagi jika dibanding segala macam pendidikan yang ada saat itu. Saya tidak gamang sedikit pun, walau saya belum tahu persisnya model sekolah rumah yang bagaimana yang akan saya buat untuk Liza. Saya bisa belajar, terutama tentu dari psikolog yang telah menjadi bagian dari kehidupan kami. Dengan bimbingan orang sehebat dia, dan segala macam yang telah, sedang, dan akan terus saya pelajari, tak akan ada orang lain yang lebih mampu mendidik Liza selain saya ibunya. Dan psikolog kami dengan gembira mendukung 100% !

Sebetulnya memang saya tak pernah berhenti mengajar Liza (+ Narti tentunya), sejak Liza bisa duduk. Hanya, waktu dia ‘sekolah’ di suatu ‘sekolahan’ , waktu yang saya pakai untuk mengajar adalah sore dan malam hari. Dengan berhentinya kegiatannya pergi ke suatu ‘sekolahan’ , waktu saya lebih leluasa, dari pagi sampai siang + sore sampai malam. Kami sungguh menikmati waktu-waktu belajar itu, di samping mengurus bayi Donna tentunya (yang saya tekadkan full ASI sampai 6 bulan dan diteruskan sampai 2 th, dan berhasil!). Ada selingan hari tertentu ada seorang terapis yang datang ke rumah. Kesibukan yang menyenangkan. Tidak ada perkembangan dari mereka yang terlewatkan oleh saya.

Sulitkah mengajar anak sendiri? Menurut saya semua orang bisa melakukannya, asal mau setia dengan komitmen awal ingin mengajar anak, jalan akan terbuka. Mungkin bisa diingatkan, bahwa sebetulnya latar belakang pendidikan saya tak ada hubungannya sama sekali dengan hal ini. Jadi menurut saya semua orang bisa melakukannya! Dengan mengajar, kita juga jadi banyak sekali belajar, bukan hanya dalam perkara ilmunya, tapi juga belajar bersabar, belajar mengerti orang lain dengan segala keterbatasannya, belajar untuk menjaga semangat agar tak rontok, dan masih banyak lagi.
Berikut ini filosofi sekolah rumah yang saya dapat dari psikolog Liza :
Child lead, sesuai kemampuan anak, proses bukan hasil, meaningful dan yang terakhir ‘pakai hati’.

Saat menyenangkan, kecuali pada saat ketemu orang ‘asing’ dan hampir selalu terjadi tanya jawab sebagai berikut :
“Anaknya di sekolahin di mana?”
“Sekolah di rumah”
“Datangin guru ?”
“Enggak. Saya sendiri yang mengajar”
Dan mulailah terjadi perubahan air muka. Ada yang menyatakan kekagumannya : hebat ya bisa melakukan itu semua sendiri. Yang masih lumayan baik biasanya melanjutkan dengan pertanyaan : pakai metode apa, dapat bahan darimana dst. Yang berubah agak masam melanjutkan menguliahi saya bahwa anak begini perlu sosialisasi dan bla.. bla.. bla.. Yang paling menjengkelkan ,ada juga yang jadi ‘emosi’ seakan-akan saya menelantarkan Liza : anak begini harus disekolahin , harus dikasih haknya dst.
Saya ngerti, mungkin memang mereka bermaksud memberi perhatian untuk Liza. Ketika stock kesabaran sedang ada banyak, saya bisa jelasin pelan-pelan. Tapi ketika terjadi puluhan kali, kadang ada rasa ‘bosan’. Paling gawat kalau stock kesabaran sedang habis, badan lagi kurang sehat (dll keluhan), yah.. ‘terpaksa’ kata-kata yang keluar dari mulut saya mungkin terdengar kurang enak. Kalau ada di antara pembaca pernah mengalami hal yang terakhir, dengan tulus saya minta maaf. Tak ada niat saya untuk menyakiti.

Banyak orang penasaran, apa sih yang diajarkan pada Liza ?
Buuanyaak sekali, sampai-sampai sebetulnya waktu yang ada tak mencukupi.
Misalnya berhitung. Bisa lewat mainan pura-pura memberi makanan untuk ‘binatang’ (saya buat dari karton dengan mulut menganga lebar) dalam jumlah tertentu. Atau bermain membentuk pola-pola tertentu. Permainan kartu domino pun bisa dipakai, atau ular tangga (saya buat sendiri supaya bisa terbaca Liza karena cukup besar, termasuk dadunya). Dan lain-lain.
Untuk bahasa, ada mengetik ulang buku cerita (di computer ber-keyboard khusus), ada pemahaman bacaan (reading comprehension), pemahaman gambar/menceritakan gambar, sequencing kartu , dll.
Untuk melatih Fine Motor : tracing, ‘menjahit’, bermain play dough, finger painting, bermain biji-bijian, dll.
Untuk Gross Motor : basket, meniti, lempar tangkap bola,dll.
Untuk Terapi Wicara : latihan-latihan yang pernah diberikan dulu oleh terapis wicaranya, tinggal diulang.
Ada juga mengenai hal sehari-hari , seperti : saya kumpulkan dus-dus bekas susu, cereal , botol bekas shampoo , yakult dll barang yang biasa Liza pakai, lalu saya buat “mini market”. Dan Liza bisa ‘belanja’ dengan uang betulan. Tujuannya adalah agar Liza mengenal uang (sempat kacau ketika terjadi perubahan ‘gambar’ uang baru), tahu fungsinya dan tahu nilai nominalnya.

Setiap bulan saya evaluasi sendiri, mana yang kurang mana yang sudah cukup, mana yang perlu diganti dengan tingkat yang lebih sulit/mudah. Juga saya berusaha mencari ide-ide baru agar tidak bosan. Dan setelah th 2005 tak ada terapis lagi yang datang ke rumah (menurut psikolog Liza, saya bisa menangani semuanya dengan baik).
Tiap 3 bulan sekali saya datang ke psikolog di bandung.

Waktu awal memulai sekolah rumah alias home school, saya belum memutuskan apakah nantinya Liza akan saya ikutkan ujian persamaan atau tidak. Lalu setelah berjalan beberapa saat saya memutuskan untuk tidak ambil ujian persamaan. Alasannya sederhana saja : membuang-buang waktu. Maksudnya, karena mengejar supaya bisa ikut ujian persamaan otomatis pelajaran yang saya ajar harus sesuai dengan bahan ujian persamaan, bukan disesuaikan dengan keadaan/kebutuhan Liza lagi. Padahal dengan keadaan Liza yang berkebutuhan khusus seperti ini akan sangat-sangat sulit baginya kalau harus berkompetisi dengan anak berkebutuhan normal. Jadi apa arti selembar ijasah bagi Liza (apalagi yang Cuma setara SD)? Dan berapa tahun waktu Liza akan terbuang percuma diisi dengan penjejalan/drilling bahan-bahan yang tak berguna untuk hidupnya?
Tanpa harus dibuktikan oleh selembar ijasah, Liza bisa membuktikan lumayan lancar baca tulis (di computer), bahkan tanpa bermaksud menyombongkan diri,Liza jauh-jauh lebih bagus dari anak DS yang saya lihat bersekolah di SLB.

Kami merasa sudah berjalan di arah yang benar.
Mengenai hal ini, ketika sedang mengemudi saya merenungkan hal ini:
Walau arah tujuan yang benar sudah kita ketahui, dalam perjalanan menuju ke sana kita tetap harus sering ‘meluruskan kembali kemudi’ agar tidak menyimpang dari tujuan. Di semua jalan yang ada, jalan tol sekalipun.
Selain senantiasa meluruskan kemudi agar selalu sesuai dengan arah yang kita tuju, kadang perjalanan kita melambat karena banyak lubang atau polisi tidur, atau ada orang menyeberang, atau ada kendaraan orang lain .
Sama seperti kehidupan kita sehari-hari, hidup bersifat dinamis (termasuk sekolah rumah yang saya selenggarakan).
Jangan takut untuk selalu meluruskan kemudi kembali tiap saat.

Thursday, May 15, 2008

Kisah Sedih


Di sela-sela semua kegiatan untuk anak-anak itu sebetulnya pikiran saya sedang kalut . Bagaimana tidak , ibu saya makin parah keadaannya . Setelah terdiagnosa kanker pada th 2003 dan menjalani serangkaian pengobatan alternative , bukannya membaik malahan beliau mengalami gagal ginjal juga. Di sisi lain saya berusaha keras agar kehidupan anak-anak bisa ‘senormal’ mungkin , di tengah bermacam beban yang menghimpit. Karena semakin parah keadaan ibu saya , semakin besar ‘emosi negatif’ yang menyelimuti suasana rumah kami . Beliau di kala sedang berdua dengan saya sering mengungkapkan , tolong mama diikhlaskan , karena derita yang mama tanggung sudah tak tertahankan. Walau hati terasa begitu pedih, saya berusaha menyembunyikannya , dan saya berusaha memahami beliau . Kalau saya memaksa beliau agar bertahan terus dalam penderitaan yang begitu menyiksa , alangkah egoisnya saya! Demi agar saya bisa tetap melihat kehadiran beliau , beliau yang harus menanggung segala derita! Saya pasrahkan beliau ke Atas,saya hanya ingin beliau bahagia , itu saja .
Ibu saya tadinya adalah seorang wanita yang sangat sehat dan kuat , jarang sekali mengeluh. Beliau mendedikasikan hidupnya untuk anak-anaknya . Ibu orang yang hangat. Kalau akan ada saudara yang datang dari jauh , ibu sudah menyiapkan makanan kesukaannya (ke pasar dan memasaknya sendiri), nyaris untuk tiap orang ibu tahu makanan kesukaannya masing-masing.
Menyaksikan beliau tinggal kulit membungkus tulang dan terbaring tak berdaya , harus dibantu untuk semua kegiatannya , hati saya benar-benar sedih . Sampai sekarang pun bayangan menyedihkan itu tetap terasa menyayat hati .
Walaupun segala upaya telah kami lakukan , ditambah segala bantuan yang luar biasa dari para saudara , keadaan ibu tetap tak membaik , bahkan bertambah parah . Sampai akhirnya beliau dipanggilNya kembali ke rumahNya 29 Oktober 2005. Saya relakan beliau , selamat jalan mama… Bagi saya kehadiran beliau tetap ada . Di dalam hati , dan dalam semua kenangan yang indah …

Pada saat Narti menengok kampungnya setelah acara pemakaman ibu selesai , ayahnya melarangnya kembali ke Jakarta. Hampir seluruh barang dan tabungannya masih ada pada saya. Dia menitipkannya pada saya .
Jadi setelah pemakaman , hidup yang saya alami pun mengalami perubahan drastis. Saya kehilangan ibu saya , dan juga Narti yang hampir 9 tahun bersama kami .

Tapi saat itu perasaan saya kosong. Saya tak merasa apapun . Kasihan sekali anak-anak (waktu itu Liza berusia 8 tahun dan Donna 1 tahun) karena mamanya Cuma seperti robot bernyawa tapi tak tampak tanda-tanda ‘kehidupan’.. Otak saya terasa tak jalan dan perasaan pun terasa mati. Walau sehari-hari pontang-panting mengurus anak dan rumah , tapi entah kenapa perasaan saya belum bisa kembali. Perlu beberapa minggu , sampai saya bisa merasa oh… saya ini manusia yang punya perasaan , saya manusia yang punya otak, dan pelan-pelan mulai kembali ke kehidupan normal.

Beberapa waktu sebelum ibu meninggal , ketika keadaan sungguh menekan , saya dan adik-adik sempat berkonflik . Saya tahu, semua ingin memberikan yang terbaik untuk beliau dan pada saat itu semua dalam keadaan ‘tegangan tinggi’. Salah kata sedikit saja menimbulkan pertentangan yang besar.
Kepala saya terasa mau pecah , rumah saya penuh ketegangan . Tuduhan miring pun sempat terlayang ke saya , seakan-akan saya anak durhaka , yang menelantarkan ibu , betapapun saya telah berusaha memberikan yang terbaik , bagi mereka belumlah cukup . Bahkan sampai-sampai ada waktu (1 bulan ) di mana kami tak bisa membawa Liza terapi ke bandung . Berapapun pengorbanan kami sekeluarga, seakan tak ada harganya. Saya pun akhirnya menjadi sangat marah , marah yang sungguh penuh dendam, karena sakitnya hati ini. Bukan hanya saya dan suami yang berkorban, bahkan seorang anak seperti Liza pun ikut berkorban, dan itu masih dianggap tak cukup?
Saya akhirnya berusaha berpikir positif , mereka memang tak akan bisa mengerti keadaan kami . Adik-adik saya yang sudah berkeluarga , mereka adalah keluarga-keluarga biasa , tidak termasuk extra ordinary seperti keluarga saya . Apalagi bagi yang belum berkeluarga , tentu sulit membayangkan beban kami .
Saya ingatkan diri saya sendiri sebuah pepatah jawa yang berbunyi “becik ketitik , ala ketara” , mana yang baik akan kelihatan , demikian pula mana yang buruk. Pepatah ini saya coba untuk menurunkan kemarahan saya dan untuk lebih pasrah ke Atas . Ok, saya pikir saya perlu waktu untuk bisa mengatasi semua hal yang terasa beruntun ini.

Perjuangan mengalahkan rasa marah ini tak mudah. Lalu setelah waktu yang saya rasa cukup , saya menuliskannya di selembar kertas. Saya tuliskan kembali peristiwa-peristiwa yang saya alami. Ketika menuliskannya , saya merasa seperti sedang mengalaminya lagi saat itu, penuh emosi . Lalu ketika saya membacanya kembali , saya coba untuk mengambil jarak ,sehingga saya bisa merenungkannya kembali dan memandangnya lagi dari kacamata lain yang saya harapkan bisa lebih obyektif.
Lalu proses penyembuhan dari luka-luka, kesedihan, dan kemarahan-kemarahan yang terpendam , yang tak sempat/bisa saya keluarkan , pun pelan-pelan dimulailah. Dengan perasaan yang baru , saya mencoba memandang peristiwa itu lagi.
Lalu saya mulai bisa menerima semua itu , lalu memaafkannya , orang lain maupun diri sendiri . Lalu entah bagaimana , perasaan damai & cinta mulai menggantikan muatan emosi yang sebelumnya sangat negative.
Mungkin semacam cara menerapi diri sendiri , yang saya tak tahu namanya.

Perasaan yang sama pun saya alami ketika menuliskan seluruh blog saya. Saya merasa kembali ke peristiwa yang sedang saya tulis (mengalaminya sekali lagi), lalu mencoba memandang segala sesuatunya dari sisi yang lain.

Dan saya teringat suatu kotbah dari seorang pastor :
Ada pepatah Irlandia ( kebetulan dia dari Irlandia) yang mengatakan , jangan sekali-sekali engkau menghakimi orang lain sebelum kamu bisa berjalan dengan sepatunya.

Banyak orang dengan tak adil menghakimi kita…
Tapi itu bukanlah urusan kita.
Curahkan samudra maaf tuk mereka.

Dan berapa banyak orang yang telah kita hakimi secara tak adil juga ?
Sudahkan kita mohon kebesaran hati mereka tuk memaafkan kita ?
Atau keangkuhan telah membutakan nurani kita ?

Saturday, May 10, 2008

Sekolah Sore


Liza secara teratur menjalani terapi SI di bandung, kemudian kegiatannya bertambah mengikuti Musik Dasar setelahnya dan langsung kembali ke Jakarta. Dua minggu sekali secara teratur.
Musik Dasar adalah kegiatan bermusik (bukan belajar memainkan alat musik, tapi bagaimana menikmati musik, bagaimana bermain musik dengan alat yang ada secara menyenangkan) yang diselenggarakan lembaga nirlaba Jendela Ide, berlokasi di Deutsch Schulle Bandung . Kenapa kami memasukkan kegiatan ini ke jadwal Liza? Liza sangat menyukai musik, bahkan ketika masih bayi saat dia menangis dan tak bisa ditenangkan oleh apapun, senandung saya menjadi obat yang mujarab untuk menenangkannya.
Guru Musik Dasar ini orang yang sangat open mind dan berusaha belajar mengerti Liza. Dari yang awalnya beliau tak tahu harus melakukan apa untuk Liza, sampai terbentuk interaksi yang bisa dibilang sangat baik antara mereka.


Tahun 2001 kami dapat tetangga baru, persis di sebelah kami. Keluarga baru ini sangat terbuka, juga anak-anaknya. Mereka orang-orang yang ‘hangat’.
Timbullah ide dalam diri saya, bagaimana kalau anak-anak tetangga sekitar saya kumpulkan tiap sore, semacam “sekolah sore”.
Gayung bersambut. Anak-anak sangat senang, karena mereka menemukan dunia yang berbeda dari sekolah mereka tiap hari yang ‘kering’.
Di rumah saya mereka bebas membaca buku yang jumlahnya 200an, saya bacakan buku, menonton ‘shadow puppet’ dan bergantian jadi ‘dalangnya’, membuat craft, bikin buku cerita, banyak mainan yang bagi mereka ‘aneh’, bermain drama, bermain pura-pura, piknik bersama, masak (sebetulnya Cuma bikin dadar), dan masih banyak lainnya.
Tiap jam 5 sore (bahkan ada yang sudah menunggu sebelum ‘sekolah’ buka) mereka sudah siap menunggu di depan pintu. Dan banyak yang enggan pulang ketika ‘sekolah’ usai (jam 6-an sore).
Di situ interaksi yang terjadi antara Liza dan teman-temannya berjalan dengan sangat alamiah. Tanpa saya atur-atur. Mereka menanyakan hal-hal yang tak mereka mengerti tentang Liza langsung pada saya. Mereka tidak menghindari Liza. Di sini peran Narti (PRT saya yang pertama) sangat besar. Dia di ‘sekolah sore’ berperan sebagai ‘shadow teacher’ untuk Liza, sehingga saya bisa bebas jadi pembimbing anak-anak.

Maret 2005 saya punya ide untuk merekam suatu drama, yang rekamannya akan saya bagikan untuk tiap anak. Saya berharap akan jadi kenangan indah bagi tiap anak, tak terkecuali Liza tentunya. Saya pilih cerita yang sudah pernah saya bacakan, yang tidak rumit, yang kira-kira bisa dimainkan oleh semua anggota ‘sekolah sore’ yang beragam usia dan kemampuannya, tanpa kecuali (bahkan Donna yang berusia 1 th pun saya sertakan). Pilihan jatuh ke “Si Jubah Merah” (Red Riding Hood). Pilihan peran saya diskusikan dengan mereka, kecuali untuk Liza, dia saya pilihkan peran sebagai pemburu yang nantinya hanya ngomong “ dor !” (menembak serigala) mengingat kesulitan verbalnya. Pada hari H ada seorang pemain yang berhalangan, sehingga Narti yang menggantikan. Sungguh heboh dan seru !

Anak-anak sampai ketagihan. Mereka mengusulkan untuk bikin drama lagi dengan cerita yang lain, bahkan kalau saya nggak mau, mereka bilang boleh aja drama yang kemarin itu lagi ! Wow !
Dan yang luar biasa adalah Liza . Karena reaksinya yang biasa-biasa saja, saya tak tahu apakah dia suka atau tidak (apalagi dalam menjalankan lakonnya itupun dia dibantu ayahnya). Waktu saya pertontonkan videonya lagi pun tampaknya dia datar-datar saja. Setelah beberapa bulan berlalu, tiba-tiba Liza minta diputarkan video “Jubah Merah” ! Saya tanya apa yang dia lakukan disitu, dia bilang “pemburu”,“dor!” dan “tembak serigala”. Bahkan sampai sekarang pun Liza ketika ditanya tentang hal itu, dia bisa menjawab dengan jawaban yang sama (pun di suatu acara seminar di mana kami membawakan testimony kami).

Lalu agustus 2005 saya dan tetangga berniat membuat acara 17 agustusan sendiri, khusus untuk anggota ‘sekolah sore’. Kami kerahkan anak-anak untuk menghias depan rumah kami (tempat lokasi acara). Kami sediakan hadiah (murah meriah, yang penting semua anak dapat bagian).
Macamnya lomba saya buat lain daripada yang lain kecuali lomba makan kerupuk, yaitu “kipas balon” dan “tuang air”.
Peserta lomba saya bagi 3 golongan: ‘anak besar’, ‘anak kecil’ dan ‘para mbak’. Walau Liza secara fisik dan usia masuk golongan ‘anak besar’, tapi karena keterbatasannya saya masukkan ke golongan ‘anak kecil’. Tak ada yang protes, mereka sungguh memahami keterbatasan Liza tanpa saya perlu banyak omong. Bahkan sesekali kalau Narti membantu pun tak ada yang protes.
Seru sekali. Saya rekam dan bagi ke semua anak. Penontonnya juga banyak.
Saya pun tak menyangka acaranya jadi demikian meriah.
Setelah berlangsung sukses, banyak orang tua teman-teman anak tetangga yang protes kenapa anak mereka tak diajak serta. Wah jadi tersanjung nih…
Dan mereka pun mengancam : awas kalau tahun depan bikin lagi dan gak ajak-ajak kami!
Ok, kayaknya tahun depan mesti bikin yang lebih heboh!

Thursday, May 8, 2008

Ke Bandung Euy..!


Th 2001 pergi ke bandung pada hari jumat sore atau sabtu pagi bukanlah hal mudah . Untuk bisa lolos dari kota Jakarta saja butuh perjuangan tersendiri di tol dalam kota . Lalu disambut tol cikampek yang sampai padalarang bahkan masuk ke bandungnya , mobil jalan seperti sedang dalam parade. Kalau pas kena liburan HarpitNas atau libur sekolah , atau ada truk yang mogok aja misalnya, wah.. bisa sampai 5-6 jam baru nyampe. Mabok ,capek dan kesal pasti! Saya tak bisa membawa serta Narti PRT saya , karena dia tak tahan naik mobil ke bandung , bisa-bisa muntah sepanjang jalan . Alih-alih membantu saya , saya jadi tambah kerepotan karena harus ngurus 2 orang .
Terapi di sini di sebut Sensori Integrasi/SI , Liza start 17 februari 2001.

Kemudian kami coba rute lain (kebetulan tempat terapi ada di cipaku , di bawahnya Lembang). Kami coba lewat Subang , lebih jauh dalam jarak , tapi lebih sepi sehingga waktu tempuh bisa lebih pasti .
Pernah terjadi kami sudah sampai Lembang lalu Lizanya panas , yah apa boleh buat , pulang lagi ke Jakarta.
Jadi saya berterimakasih banget sama orang-orang yang sudah merealisasikan jalan tol cipularang.

Diagnosa dari dokter anak di sana :
-defensive tactile
-hypotone
-disphraxia, incl. oral motor
-oral exploring +
-poor balance & body perception
- hal-hal yang menarik untuk dia adalah yang memberi input tactile & proprioceptive

Lalu mei 2001 saya mulai konsul ke psikolog yang ditunjuk. Liza didiagnosa PDD Nos (termasuk keluarga Autis- lah ceritanya).

Dengan tambahan diagnosa tidak membuat saya sedih , karena akhirnya saya jadi tahu , ooh ini yang membuat Liza tidak koperatif karena memang tidak ada yang bisa memahaminya. Jadi Liza anak yang sungguh komplet , DS + hiperaktif + autis , 3in 1.
Dengan semua petunjuk dari psikolog semua yang tampak membingungkan dari Liza jadi jelas . Sampai sekarang kami masih konsultasi ke sana kira-kira 3 bulan sekali , plus mengkonsultasikan adiknya (sebagai sibling tentu dia juga banyak problem). Psikolog yang ini menurut saya sungguh luar biasa (walau itu memang mungkin karena profesinya) , tapi saya merasa dia adalah salah satu pelita utama di jalan hidup kami.

Th 2002 saya mengalami keguguran, janin 9 minggu. Saya pasrahkan ke Atas. Kalau memang belum waktunya …
Padahal saya sudah menjalani pemrograman dokter untuk kehadirannya (selama 2 th).
Lalu selanjutnya menjalani pengobatan alternative bersama para 2 orang muda (yang akhirnya kami jadi seperti sebuah keluarga besar), dengan disertai kepasrahan yang dalam ke Atas. Dia yang serba Maha , lebih tahu daripada saya , saya tak menarget atau menuntut apapun .

Dan th 2003 saya hamil lagi . Tapi prosesnya tak mudah, walau saya terima dengan lapang dada . Saya bed rest selama 3 bln,diberi penguat kandungan, dan yang paling menyakitkan adalah saya mesti disuntik di bagian perut selama kehamilan sampai melahirkan (karena darah saya mengental, dikuatirkan akan keguguran lagi).
Selama kehamilan saya tidak mengecheck sedikitpun janin saya , apakah dia Down’s Syndrome juga . Banyak teman yang menyarankan saya agar check sebelum usia kehamilan tertentu . Jawab saya adalah : Tidak! Bagaimanapun keadaan anak yang Tuhan berikan ke saya ini , akan saya terima dengan penuh cinta . Saya sudah minta kepadaNya : mohon diberikan anak yang terbaik untuk kami. Biarlah ukuranNya yang dipakai dalam mengukur ‘seberapa baik’.

Dan kalau saya check dan dia Down’s Syndrome , terus kenapa?
Apakah kita akan ‘buang’ dia ? Apa hak kita merampas haknya untuk hidup sedangkan kita bukan Sang Pemberi Hidup itu sendiri ?

Dan akhirnya 24 maret 2004 Donna (begitu panggilannya) , lahir. Dalam keadaan yang menurut saya benar-benar terbaik yang Tuhan berikan ke kami, syukur yang luar biasa besar kami ucapkan ! Dan saya juga berutang budi terhadap 2 healer yang mendampingi saya selama sebelum sampai sesudah melahirkan ,hanya Tuhan yang dapat membalaskan budi baik mereka.

Lalu kalau dibandingkan dengan Donna , berarti Liza bukan anak yang terbaik yang Tuhan beri kepada kami ?
Justru Liza adalah anak yang lebih hebat lagi, karena diatas segala kelemahannya ,dialah yang membuat orangtuanya ‘lebih dekat’ ke Atas, lebih ulet dan sabar dibandingkan sebelumnya , lebih open mind , lebih mau memahami orang lain. Bukan orang lain yang mengubah kami , tapi Liza!

Saya jadi teringat si dokter anak yang saya ceritakan di blog saya yang pertama (dan vonisnya). Saya jadi berpikir , jangan-jangan dia juga penyandang ASD/Autistic Spectrum Disorder alias autis . Karena, jangankan berempati pada saya , rasanya dengan kata-katanya itu untuk bersimpati saja mungkin sulit baginya . Ya sudah , saya sudah lama memaafkannya , dan sekarang ganti saya yang merasa bisa berempati padanya . Kenapa saya ungkapkan ini, untuk menunjukkan pada pembaca bahwa saya bukan termasuk autis ? Ha..ha..ha.. bisa jadi !

Selama proses-proses tadi , ketika saya tak bisa menemani Liza ke bandung , saya banyak dibantu oleh almarhum ibu saya (yang dukungannya pada saya tak pernah surut ,bahkan sampai ketika beliau dalam keadaan sakit parah pun), juga adik saya bahkan ibu mertua saya. Merekalah yang bergantian meluangkan waktu dan tenaganya menemani Liza terapi ke bandung , 2 minggu sekali.

Kalau dipikir-pikir , dulu kok sanggup ya bersusah payah ke bandung 2 minggu sekali (karena sejak hampir 3 th yang lalu terapi SI-nya saya pindah ke RS Bunda , dengan dokter dan terapis yang sama). Kekuatan dari mana itu semua yang menggerakkan kami untuk sekian tahun ? Yang jelas dan utama adalah karena campur tanganNya!

Tuhan selalu memberi yang terbaik , jangan pernah ragukan itu .Cuma, karena keterbatasan kita sebagai manusia yang tidak memungkin kita melihatnya dari kacamataNya. Mungkin bisa diibaratkan kita ini kepik-kepik mungil yang mencoba memandang Ultrasaurus (dinosaurus terbesar , menurut buku Dinosaurs milik Donna). Yang satu Cuma bisa memandang ujung kuku kelingking kaki , yang satu Cuma bisa memandang ujung ekornya , yang lain Cuma bisa memandang ujung hidungnya , dst.
Lho emangnya pada jaman dinosaurus hidup, kehidupan serangga macam kepik sudah ada ? He..he.. saya gak tahu , suer!

Wednesday, May 7, 2008

Sejarah Pendidikan



Team dokter menganjurkan Liza mulai masuk bimbingan remedial untuk perkembangan kognitifnya , di suatu tempat bimbingan remedial .
Sementara di rumah saya juga tak pernah berhenti mengajar Liza .
Sistem di tempat bimbingan remedial yang memisahkan anak dengan orang tua , membuat saya sebetulnya kurang sreg (walaupun ada buku penghubung yang menjelaskan apa yang telah diajarkan dan kita pun bisa bertanya pada para terapis di sana) . tapi waktu itu saya belum punya pilihan yang lebih baik.

Lalu terjadi hal yang sungguh menyakitkan hati saya, bahkan penyesalan saya rasanya tak ada habisnya sampai sekarang:
Suatu ketika pas Liza selesai terapi dan keluar mencari saya , saya lihat pergelangan kedua tangannya tampak biru keunguan , ada apa ?
Saya mencari terapis yang sebelumnya menerapi Liza.
Jawabannya sungguh mengagetkan saya :”Itu gak apa-apa kok bu, nanti juga hilang sendiri. Tadi dia saya selotape pergelangannya karena gak mau diam” ,jawabnya kalem.
Kepala saya terasa mendidih , hati saya penuh kemarahan . Itu yang buktinya terlihat secara fisik , kalau yang tidak? Apa saja yang dia lakukan di dalam sana ketika saya tak pernah diperkenankan masuk ? Pelecehan atau bahkan mungkin siksaan yang tak mungkin anak seperti Liza ceritakan pada saya ?
Sebagai terapis bukankah seharusnya dia lebih tahu daripada saya bagaimana menangani anak-anak seperti Liza ?

Akhirnya keputusan saya bulat sudah , keluar saat itu juga!
Saya lalu minta bantuan seorang terapis yang saya kenal termasuk baik , untuk datang menerapi Liza di rumah. Ya, di rumah! Alat peraga yang ada di rumah saya lebih dari cukup untuk keperluan Liza . Terapi berlangsung di kamar tertutup tapi jendela terbuka lebar , sehingga saya selalu tahu apa yang terjadi di sana.

Di sisi lain saya juga selalu terbuka dengan pendapat orang lain. Seperti saat teman saya yang seorang dokter yang anaknya juga berkebutuhan khusus mengajak saya mencoba pengobatan alternative. Dia banyak mencoba segala macam . Saya hanya mencoba 2 dari banyak “koleksinya”.
Yang pertama adalah seorang sinshe yang bisa mengeluarkan tenaga dalam (rasanya seperti kesetrum listrik pengobatannya) , yang katanya untuk membuka simpul-simpul yang bisa menghalangi kemajuan (misalnya untuk gerakan-gerakan motorik). Beberapa kali datang saya akhirnya stop. Saya lihat Liza merasa kesakitan , bahkan sangat ketakutan tiap baru sampai rumahnya .
Yang kedua adalah para pemuda yang mendedikasikan diri pada penyembuhan lewat energi (prana , dan lalu reiki). Sampai sekarang saya masih menjalaninya, karena saya meyakini benar (saya bahkan akhirnya mempelajarinya, walau sekedar agar bisa self healing ,karena kemampuan saya yang terbatas). Ada seorang di antara mereka yang saya anggap bagian dari keluarga saya , yang kebetulan berlatar pendidikan psikologi dan mendalami hypnotherapy.

Dan karena Liza sudah berusia 3 th , maka saya pun mulai mencari “sekolah” untuknya (yang konon untuk sosialisasi).
Di sekolah yang ada di dalam komplek perumahan saya , saya datangi bersama Liza . Liza tampak gelisah . Waktu itu saya agak paksa , karena saya pikir biasalah Liza suka menolak tempat baru . Tapi rupanya mungkin itu perasaan Liza yang sudah merasakan akan ada penolakan dari pihak sekolah .
Karena, di sekolah kedua yang saya datangi Liza mau turun dari gendongan saya , bahkan mau duduk di ayunan yang terbuat dari ban bekas. Pihak sekolah menerima dengan terbuka keadaan Liza . Bahkan selanjutnya tiap kali Liza sekolah saya hadir di samping Liza sebagai shadow teacher-nya.
Sekolah yang kedua ini sebetulnya agak jauh dari rumah , saya dapatkan setelah saya ‘berburu’ (tanpa mengajak Liza tentunya). Saya pikir lebih baik agak jauh daripada gak ada . Di sekolah ini yang ada Cuma sampai TK besar, dan pada waktu TK kecil atas permintaan saya Liza mengulang (karena memang belum dapat memegang pinsil dengan baik, bahkan sampai sekarang sebetulnya walau telah berbilang tahun dalam melatihnya). Saya pikir gapapa gak bisa pegang pinsil ,lihat saja Stephen Hawking ! Tahu kan siapa dia , ahli fisika yang terkenal itu .
Sosialisasi yang ada mungkin tak seindah bayangan kita. Anak-anak lain bermain antar mereka sendiri . Bisa dimaklumi . Liza tidak bisa diajak lari-larian ,jalan saja mudah jatuh , non verbal. Jadi mau diajak main apa sama mereka ? Memang pada waktu bermain yang dipandu guru mereka mau bergantian dan menunggu Liza menyelesaikan gilirannya . Tapi di luar itu ?

Ada cerita lucu mengenai sekolah yang pertama (yang ada dalam komplek) . Untuung gak masuk situ , bahkan kalau saya dianugerahi anak lagi yang bukan special needs pun saya tak akan memasukkannya ke situ.
Anak tetangga saya yang masih berumur sekitar 4-5 tahun yang bersekolah di situ sedang beradu argumentasi dengan mamanya. Rupanya dia disuruh menghafal deklamasi oleh gurunya , judulnya saja sudah demikian panjang :”Ki Hajar Dewantara Pahlawan Pendidikan” . Berhubung dia tidak mengerti siapa itu Ki Hajar Dewantara , maka kata-kata yang keluar dari mulut mungilnya begini “Dihajar Dewantara ……” . Dan mamanya sedang berjuang keras “membetulkannya”.

Berhubung saya cabut dari pengobatan psikiater yang disarankan team dokter , akhirnya mereka menyarankan agar saya ke bandung (“Di sana ada dokter + psikolog yang bisa menangani anak-anak seperti ini”).
Setelah diskusi yang panjang antara saya dan suami , kami memutuskan untuk mencoba . Bukan hal yang mudah karena banyak kendala , antara lain suami masih kerja di Jawa Timur (bagaimana bolak-balik ke bandungnya nih) ,dan tentunya adalah jarak tempuh yang jauh . Iyalah , tahun 2001 kan tol cipularang belum ada. Kebayang kan antri di padalarang bareng truk-truk besar .
Ok , akhirnya diputuskan suami mencari kerja lagi di Jakarta. Dan dimulailah “petualangan” di bandung.

Ke bandung euy…!

Tuesday, May 6, 2008

Riwayat Penanganan medis


Terapi awal Liza adalah Fisio Terapi. Pada waktu itu Liza belum bisa tengkurap sendiri dan kepalanya pun kurang tegak. Beberapa bulan kemudian bertambah dengan Occupational Therapy (OT) setelah Liza bisa duduk. Selain melatih Fine Motor/ Motorik Halus , juga diajarkan bagaimana melatih kemandirian Liza.
Hal yang mungkin bagi orang awam mudah, sungguh sulit untuk Liza. Hal sepele , seperti sehabis main mainan dibereskan dimasukkan kembali ke dalam kotak, melepas baju sendiri/ memakainya ,makan sendiri (yang masih sulit baginya sampai sekarang adalah kalau nasi tinggal sedikit, koordinasi tangannya masih terus dilatih) ,minum dari gelas (yang ini bahkan sampai sekarang masih dilatih bagaimana agar minum tidak tumpah ) dan masih banyak lagi.
Semua ini selalu dibawah control dan koordinasi dari team dokter.


Sebelum Liza berusia kira-kira 4 th , dia mudah sekali muntah kalau sedang makan ataupun minum susu. Tiap muntah nyaris seluruh isi perut keluar , sehingga sudah biasa kalau kami bepergian kami pasti bawa 1 ransel berisi : pakaian cadangan , makanan/minuman utama (+cadangannya kalau muntah), kaos kaki cadangan , kantong kresek kecil untuk menampung muntahannya (kalau sempat di”pasang” sebelum keburu muntah) , potongan-potongan kain kecil yang tak dipakai (untuk “mengelap” bagian kursi/meja/lantai yang kena percikan). Walau hanya pergi beberapa jam , barang bawaan kami sudah seperti orang mau nginep 2 malam aja…

Bukan itu saja, Liza kecil sungguh tak kompromi dengan tempat-tempat “asing” , yang dia belum terbiasa (kelak saya akan mengerti, ketika Liza dinyatakan juga sebagai penyandang PDD NoS/Pervasive Development Disorder Non Specific ,masih keluarganya Autis).
Pernah waktu itu kami memenuhi undangan teman karib suami yang lama tak berjumpa. Di restoran itu suasana agak redup , tapi di tempat live music terang benderang. Di situ Liza sama sekali tak mau masuk , bahkan mengamuk. Akhirnya saya dan suami bergantian makan dan menggendong Liza di luar. Kami sungguh tak enak pada keluarga teman suami, tapi saya tahu mereka mengerti . Itu pertama kali kami memenuhi undangan makan keluar dengan membawa Liza.
Itulah sebabnya kami nyaris tak pernah makan keluar. Sampai kadang ketika melihat suatu logo tempat makan (bahkan yang tergolong junk food pun ) kami sampai berangan-angan ‘kapan ya bisa makan di situ’.


Waktu itu kami belum pernah bertemu/melihat ada keluarga yang membawa anak Special Needs –nya jalan-jalan. Jadi keluarga kami nyaris selalu jadi ‘tontonan’ dengan segala keribetannya . Tapi sekitar 5-6 th yang lalu kami melihat mulai banyak yang membawa anak-anak special needs –nya ‘keluar’. Ada banyak yang lebih tua dari Liza. Ke mana mereka selama ini ? Disembunyikan ? (semoga pikiran negative saya ini tidak benar).
Saya mengajak anda semua untuk menguatkan dan mendukung para orangtua mereka agar mau memberikan hak anak special needs sepenuhnya tanpa perlu was-was atau malu.

Terapi berikutnya adalah Terapi Wicara . Bukan dilatih berbicara seperti banyak orang kira, tapi lebih ke stimulasi otot-otot bicara .
Kebetulan awalnya saya mendapatkan terapis yang sungguh bagus , dalam artian dia juga memberdayakan orangtua untuk melatih anak di rumah. Bukan model yang melarang orangtua masuk , hanya anak saja . Saya merasa seperti mesin cuci saja kalau modelnya seperti itu : masuk kotor keluar bersih . Tak mungkin ada hasilnya kalau seperti itu.
Dengan terapis wicara yang pertama ini saya banyak berdikusi mengenai bagaimana mengajar Liza , memberikan tips-tips yang sampai saat ini pun tetap berguna (sayang waktu kami tidak klop ,sehingga kami ‘berpisah’).
Lalu berganti terapis, astagaa… saya dilarang masuk dengan alasan mengganggu . Tidak , saya tidak mau yang model “mesin cuci” seperti ini. Setelah beberapa kali dicoba akhirnya saya cabut.
Saya datangi ke rumah terapis wicara yang pertama, dekat bogor, untuk konsultasi di rumah , lalu saya yang menjalankannya di rumah . Hasilnya tentu lebih baik.

Dan sejak itu pun saya mulai membuat alat-alat peraga sendiri untuk Liza (sebagian saya konsul ke dia , karena dia pun pedagog) . Mengapa saya sampai repot-repot membuat alat peraga sendiri?
Karena pada waktu itu jarang ada alat peraga yang bagus sekaligus terjangkau , bahkan mencarinyapun sangat sulit. Dan lagi alat peraga yang saya buat tentu saya sesuaikan dengan kondisi Liza.
Saya buat juga dengan bahan-bahan yang murah lagi mudah didapat : karton-karton bekas (bungkus kotak susu, cereal , dll) ,plastic bekas undangan dll, kertas origami , dll. Di rumah tak pernah saya sampai kekurangan stock (karena yang membantu mengumpulkan juga banyak , mengurangi jatah pemulung ha..ha..ha..).

Apa saja peraga yang saya buat ? Macam-macam , dari huruf yang dicantelkan di gantungan sampai puzzle . Semuanya tak berbahaya karena hanya terbuat dari karton bekas makanan/minuman , kalau terkena anak pun tak akan melukai.
Dengan metode pembelajaran seperti ini terasa benar kemajuan Liza ,terutama di bidang kognitif. Para dokter dan terapis juga berpesan agar jangan sampai keterlambatan motorik (yang berasal dari pusat motorik di otak) menghalangi kemajuan kognitifnya.

Apakah semuanya menjadi lancar-lancar saja setelah itu semua ?
Alamaaak.. , sama sekali tidak ! Selama dilatih fisio terapi ketahuan kaki Liza termasuk flat, perlu sepatu khusus , sepatu ortho , yang harus dipesan . Dan tentunya harus selalu diperbaharui agar cocok selalu dengan ukuran kakinya . Baru setelah bersepatu ortho Liza mulai bisa dilatih berdiri.

Dan ketika mulai dilatih berjalan , matanya dicheck. Sedih juga mendapati matanya minus 5. Pada waktu dia berusia 1 th 3bln dia mulai berkacamata.
Lantas jadi mudah ?
Wow , makan ati banget! Frame kacamatanya yang tergolong baby frame mahalnya minta ampun untuk kami (th 1998 , barang import, dollar mahal, hanya ada satu optic yang menyediakan dan tak ada pilihan lain ).
Liza begitu tak nyamannya berkacamata , selalu dibuang jauh-jauh , dilempar begitu saja atau kalau geregetan ya digigit ! Aduuh naak.., barang mahal.. ampuun ! Dari bujukan sampai saya marah tak mempan . Dengan putus asa kadang saya memandang kacamata yang saya pungut (kadang harus saya pungut dari tepi selokan ketika dia saya ajak jalan untuk mengalihkan perhatiannya). Dan ketika frame jadi patah pun saya tangisi , saya merasa gagal ! Suami saya waktu itu bilang, Ya sudah kita kuat-kuatan saja sama Liza, kuat yang membuang atau kuatan yang memakaikannya kembali.
Bulan pertama 1 bulan perlu 2 frame . Bulan kedua 1 frame . Lalu 2 bulan baru ganti frame. Ahh.. kalo ingat hal itu , perasaan saya campur aduk , antara gemas dan geli . Yah pokoknya ada kemajuanlah .. walau waktu itu waktu rasanya lamaaa sekali kok gak ada kemajuan. Sekarang ini lebih mudah karena frame kacamatanya sudah termasuk frame anak , mudah didapat dan jauh lebih murah. Frame yang sekarang sudah lebih dari 1 tahun , hampir patah bulan nopember lalu , saya sudah siapkan cadangan (karena waktu itu mau ujian musik , takut tiba-tiba patah). Sekarang masalahnya Liza suka menggigit bagian nose pad (yang terbuat dari silicon) . Ya sudah , beberapa hari sekali saya ganti sendiri (sampai saya berlangganan di suatu optic , sekali beli 10 pasang).Padahal rasa-rasanya orang beli kacamata tak akan ganti nose pad-nya sampai kacamatanya sendiri rusak.

Tapi ada kabar gembira juga : jantung Liza pada waktu usia 2 th dinyatakan bebas dari masalah . Sebetulnya kata dokter , bukannya 2 lubang yang ada menjadi menutup, tetapi karena pertumbuhan Liza yang baik dan makin besar sehingga 2 lubang itu menjadi tak berarti lagi. Syukur kepada Tuhan yang membantunya tumbuh makin baik !


Liza pada waktu berumr 2 th 3 bln menjalani test BERA (untuk pendengaran) , karena kalau dipanggil sangat cuek . Hasilnya sangat bagus (nantinya saya juga akan tahu , ini bagian dari autistiknya dia).
Dan juga menjalani Brain Mapping pada usia 2 th 8 bln , dikarenakan sulitnya penanganan yang tepat untuk Liza. Di diagnosa ada gangguan berbahasa dan konsentrasi di bagian otak kiri, juga gangguan di pusat motorik.

Memang tidak cocok dengan gambaran anak Down’s Syndrome pada umumnya , yang ramah dan tenang. Liza sangat cuek dan tidak tenang (sampai disebut hiperaktif). Di kemudian hari saya tahu bahwa ketidaktenangannya dikarenakan kebutuhan sensory- nya yang tidak kami pahami. Setelah kebutuhan sensory –nya terpenuhi dengan baik , ternyata Liza bisa tenang.

Tapi perjalanan memang tidak semudah itu, karena diagnosa yang terbentuk saat itu malah membawa kami ke psikiater , dimana Liza harus mengkonsumsi sejenis obat , terus menerus tanpa tahu kapan bisa berhenti . Jumlah obat naik sedikit-sedikit , Liza tetap tidak bisa konsentrasi tapi pasif. Menurut psikiater tsb perlu nutrisi tertentu untuk melawannya. Astaga… jadi “bertempur” di dalam tubuh? Saya pindah psikiater lain yang bukan senior seperti yang pertama . Pendapatnya sama saja , bahkan saya sampai berdebat dengannya. Saya merasa tidak cocok. Sudah setahun lamanya obat tersebut di konsumsi Liza , plus daftar panjang diet makanan (sudah saya coba juga , hasilnya lebih banyak merepotkannya daripada faedahnya). Memang kalau Liza terlalu banyak makan terigu jadi suka agak di luar kendali. Tapi kalau dalam suatu acara ulang tahun teman misalnya, tetap saya berikan kue/mie , karena menurut saya acara itu lebih banyak gunanya untuk social life Liza daripada side effect-nya . Setelah saya pertimbangkan baik-baik saya putuskan stop, walau team dokter menyayangkan keputusan itu. Dan saya tidak mau terlibat di pro dan contra tentang hal ini. Saya hanya berusaha memberikan yang terbaik untuk Liza yang tentunya sudah saya renungkan masak-masak.


Ketika Liza berumur 3 th kurang 2 bln , baru dia “lulus” dari fisio terapi. Sudah bagus dan bisa jalan ? Waktu itu bagi saya dia sudah hebat , bisa berjalan sendiri tanpa dipegangi sejauh 2 meter , saya pandangi dia dengan bangga dan haru :”Akhirnya kamu bisa jalan ,Liza !”.

Rasanya tiap tahapan berkembangan mempunyai kesulitannya sendiri, yang kadang tak bisa kita prediksi sama sekali. Sama seperti yang kita alami dalam kehidupan nyata kita sehari-hari. Kesulitan yang kita alami pada waktu kita masih anak-anak tentu berbeda dengan kesulitan pada waktu kita remaja , juga pada masa kita dewasa . Tapi saya merasa bila tiap kali kita bisa melewatinya dengan baik , kita jadi makin lebih “dewasa” dan lebih kuat untuk tahapan berikutnya. Dalam usaha menjawab semua tantangan itu perlu kita explore semua kemampuan yang ada dalam diri kita , kalau perlu kita juga meng-explore limit kemampuan kita. Saya bisa , anda semua pasti juga bisa!

Monday, May 5, 2008

Kerlip Bintang Di atas Sana...



Pada terapi yang pertama dijalani Liza saya merasa mulai bersemangat, merasa mendapat pertolongan. Di rumah semua tugas yang diberikan terapis selalu saya kerjakan dengan penuh semangat.

Tapi kadang waktu terasa berjalan sangat lambat. Kemajuan terasa tidak sejalan dengan stock kesabaran saya yang ada.
Rasa tertekan dan kesedihan mulai mendera , bahkan terasa lebih kuat dari semangat yang ada.

Dulunya sebelum saya punya Liza, saya adalah seorang karyawan di suatu biro bangunan . Ya, saya seorang desainer struktur bangunan sesuai dengan latar belakang pendidikan saya di teknik sipil.
Tiba-tiba saya merasa terdampar di jurang yang sangat dalam , yang begitu gulita sehingga saya tak bisa melihat apapun. Tak tahu kepada siapa saya bisa minta tolong , tak tahu kemana kaki harus melangkah , tak tahu dari siapa saya akan mendapatkan jawaban , dan yang paling buruk , saya bahkan tak tahu harus berbuat apa!
Komunikasi dengan suami terasa mahal , karena kami harus melalui telpon interlokal Jakarta- Jawa Timur , pun sulit untuk bisa menjelaskan sedetail mungkin keadaan yang ada .

Pertanyaan-pertanyaan “kenapa saya” , “apa salah saya” tidak pernah lepas dari kepala saya , setiap saat.
Ketika merasa benar-benar tak tahu harus berbuat apa di dalam jurang kekelaman , saya mencoba “mencari” , adakah seberkas cahaya… atau bahkan hanya kerlip bintang kecil yang bisa menunjuk ke mana arah yang benar.
Ternyata ada! Bahkan kerlip bintang yang demikian kecil terasa begitu terang di atas gulita yang menyelimuti. Liza dengan kemajuannya yang mungkin tak terlalu signifikan bagi orang lain, itulah dia ! Saya membayangkan betapa berlipat-lipat lebih berat beban yang Liza tanggung dengan segala keterbatasannya daripada saya. Dan dengan itupun dia masih bisa memperlihatkan adanya kemajuan , jadi apa lagi yang harus saya tunggu . Saya harus bangkit lagi ! Kubisikkan ke telinganya “Mari ,nak , kita bersama mulai mengarungi samudra kehidupan “.

Walau keputusan untuk bangkit telah diambil , peperangan di batin saya tentang “mengapa saya?” dan “mengapa bukan saya?” terus berlangsung. Perlu waktu yang berbilang tahun untuk saya sampai akhirnya saya bisa bangkit tegak berkata dengan sepenuh hati “ Ya, kenapa bukan saya?”. Tentu Tuhan telah menyiapkan saya lama sebelumnya untuk semua ini ,dan saya perlu menjalani semua proses ini untuk bisa sampai di sini. Before you discover, you must explore. Yes, it’s true.

Di tempat terapi saya pun jadi bisa merasa “saya tidak sendiri” , apalagi setelah ikut komunitas ,baik POTADS/Persatuan Orang Tua Down’s Syndrome maupun ISDI/Ikatan Sindroma Down Indonesia.
Saya lihat banyak yang jauh lebih tua dari Liza , ada yang perkembangannya cukup baik karena tertangani baik (dalam arti orangtuanya sungguh terlibat penuh) dan ada juga yang kurang.
Tekad saya bulatkan , jangan sampai hidup Liza diisi hal yang sia-sia , saya harus selalu mencari, mencari , dan mencari agar hanya yang terbaik yang saya berikan untuknya.

Dengan adanya 2 lubang di jantung Liza waktu bayi, saya menjadi orang yang “aneh”. Kalau Liza sedang tidur di sebelah saya , berkali-kali saya mengecek , masihkah dia bernafas ? Bahkan saya sering tak mempercayai hasil pandangan mata saya sendiri , masih memerlukan tangan saya untuk merabanya. Kadang-kadang di kala saya tertidur malam pun saya bisa terbangun sekadar untuk memastikannya baik-baik saja.


Walau saya tampak sangat care dengannya, saya juga bersikap keras padanya . Awalnya adalah ada kata-kata seorang terapis fisik (sebetulnya bukan ditujukan pada saya , tetapi pada seorang orang tua yang tidak melatih anaknya di rumah dengan alasan tidak tega) :” Lebih baik kita melihatnya menangis sekarang dari pada nanti , ketika menangis pun tak ada gunanya”.
Waktu itu saya berpikir, betul juga , lebih baik saya melatih Liza dengan keras daripada terlambat. Akhirnya saya melatihnya dengan keras.
Setelah saya mengenal metode yang lain , saya baru merasa betapa saya telah tersesat . Penyesalan saya tentang hal ini tak ada habisnya sampai saat ini. Berhari-hari saya minta maaf pada Liza ,ketika dia ada di pelukan saya.., bahkan ketika dia sedang tidur.. “Maafkan ketidaktahuan mamamu, mama memang masih harus banyak belajar”.
Ah andai saja ………..

Sunday, May 4, 2008

Sebelas Tahun Yang Lalu...

Yang paling tua yang pernah saya tahu hanya berumur sampai 29 tahun. Yah.. apa boleh buat , kemampuannya memang sangat terbatas , kita tidak bisa berbuat banyak .”

Kata-kata seorang dokter anak februari 1997 masih sering terngiang dengan jelas di telinga saya.
Waktu itu anak pertama saya baru berumur 2 hari. Diagnosa waktu dia lahir adalah penyandang Down’s Syndrome dan jantungnya berlubang di dua tempat. Hati saya sungguh hancur. Tak terbayang masa depan seperti apa yang akan dia punya. Masa depan ? Bahkan sebelum saya bisa memikirkannya , vonis sudah dijatuhkan! Apa dosanya sehingga dia tak berhak memiliki masa depan?


“Tak apa-apa ,Nak”, bisikku pada anakku, “Orang boleh bilang apa saja, boleh mem-vonis apa saja , tapi aku mamamu.. aku akan selalu bersamamu, aku akan berikan yang terbaik yang kubisa. Dan terutama cinta tak bersyarat yang tak berkesudahan.”
Saya harus jadi orang pertama yang bangkit! Elizabeth Stella , nama yang kuberikan, dengan panggilan sayang Liza.


Pada waktu itu belum banyak dokter anak yang tahu “harus bagaimana” menangani anak-anak berkebutuhan khusus, apalagi tentunya orang-orang awam.Di sekeliling saya , orang-orang yang saya kenal pun tak ada yang benar-benar tahu yang sebenarnya dalam menangani anak seperti Liza. Tak tahu harus apa, saya hanya berusaha memberi dia full ASI . Sampai kemudian dokter kandungan saya yang memberitahu ada Rumah Sakit yang menangani anak-anak berkebutuhan khusus, waktu itu RSAB Harapan Kita. Liza berusia 4 bulan ketika memulai terapi fisik , yang dimonitor oleh suatu team dokter. Terapi demi terapi menyusul setelahnya.


Senang karena akhirnya saya bertemu dengan team yang bisa mendukung perkembangan Liza , namun di satu sisi saya pun sedih. Karena sejak Liza berusia 4 bulan itulah suami saya bertugas di jawa timur (sampai akhirnya tiga setengah tahun kemudian kami baru bisa berkumpul utuh, setelah suami saya pindah tempat kerja demi perkembangan Liza) .


Mulailah hari-hari kerja keras memberdayakan Liza . Pandangan sinis, iba dan sejenisnya nyaris selalu saya jumpai ketika membawa berjalan-jalan Liza. Tak akan sanggup saya kalau saya tak menyandarkan diri padaNya. Jatuh bangun , putus asa lalu bangkit lagi, terus menerus tak berhenti. Kadang ketika keputus-asaan saya terasa terlalu pekat dan berat membungkus diri saya , ingin sekali saya meninggalkan dunia ini dengan membawa serta Liza , sehingga tak ada lagi yang bisa menyakitinya atau menghinanya lagi. Namun suami saya sungguh membangkitkan semangat saya lagi , mengajak saya melihat ke belakang lagi dan membandingkan keadaan Liza yang dulu .
Sampai sekarang pun kalau saya ingat vonis dokter 11 tahun yang lalu , hal ini membuat saya merenung dalam-dalam. Betapa seseorang mudah menjatuhkan vonis yang begitu ‘hopeless’ . Mungkinkah kita bisa membalikkannya? Saya yakin, kalau kita berusaha sungguh-sungguh dan mohon bantuanNya asa yang tergenggam akan menjadi nyata , sungguh!


Seperti kisah mantan pembantu saya , yang pernah menjadi anggota keluarga saya sejak Liza berusia 2 bulan sampai hampir 9 tahun . Narti nama panggilannya , buta huruf ,ibu kandungnya meninggal sejak dia kecil sehingga dia hidup bersama ayah kandung + ibu tiri + adik-adik tiri . Dia ikut saya sejak berusia 13 th, menolak karena malu ketika saya tawarkan bersekolah di SD terdekat . Ok, saya bilang saya ingin dia bisa lebih sukses daripada orangtuanya jika kelak dia kembali ke kampung , bukan yang hanya tiap lebaran membawa barang-barang konsumtif yang tak ada gunanya dan kemudian kerja lagi dst , mau? Dia bersedia , dan mulailah dia belajar , dari awal sekali , belajar bersama Liza mengenal nama-nama binatang dan buah/sayur , belajar alphabet sehingga bisa membaca. Di sela-sela waktu saya didik dia bagaimana mengatur uang dan tidak ikut arus konsumtif , tentunya juga menegarkan dia ketika menghadapi rongrongan orangtuanya yang konsumtif. Akhir yang bisa dibilang manis akhirnya dia dapatkan : lumayan lancar baca tulis (bahkan dibandingkan adik-adiknya yang bersekolah formal di kampung), punya 2 petak sawah dan sebidang tanah . Sayang ayahnya terakhir benar-benar tak mengijinkannya kembali ke sini . 2 tahun tak ada kabar tiba-tiba bulan lalu dia menelepon saya , mau datang karena sangat kangen terhadap Liza (“teman sekolahnya” :-))sekalian ambil uang tabungannya yang dititipkan pada saya . Dari seorang buta huruf yang disepelekan di antara saudara-saudaranya di kampung menjadi Narti yang cukup disegani , bahkan paman-bibinya pun kadang meminta pendapatnya.
Jadi saya rasa bukan Cuma saya saja yang bisa membalikkan vonis buruk , kita semua bisa!


Ngomong-ngomong kemarin saya baca di kompas sabtu 3 mei 2008 permintaan pengurus Organisasi Pekerja Rumah Tangga Jakarta , agar tidak menyebut PRT sebagai pembantu tetapi sebagai pekerja rumah tangga . Saya jadi berpikir , bagaimana dengan Pembantu Dekan ,Pembantu rektor , dan lainnya . Bukankah perubahan seharusnya dari dalam , tidak hanya dari "judulnya" saja . Saya bukan penggemar fanatik Shakespeare , jadi tidak mengikuti alirannya tentang apalah arti sebuah nama secara extrim , tapi tidak juga menentang . Sorry , harus di stop sebelum saya kebablasan kemana-mana . Saya tidak mau berpolemik tentang hal ini, saya bukan ahlinya .