Pages

Saturday, May 10, 2008

Sekolah Sore


Liza secara teratur menjalani terapi SI di bandung, kemudian kegiatannya bertambah mengikuti Musik Dasar setelahnya dan langsung kembali ke Jakarta. Dua minggu sekali secara teratur.
Musik Dasar adalah kegiatan bermusik (bukan belajar memainkan alat musik, tapi bagaimana menikmati musik, bagaimana bermain musik dengan alat yang ada secara menyenangkan) yang diselenggarakan lembaga nirlaba Jendela Ide, berlokasi di Deutsch Schulle Bandung . Kenapa kami memasukkan kegiatan ini ke jadwal Liza? Liza sangat menyukai musik, bahkan ketika masih bayi saat dia menangis dan tak bisa ditenangkan oleh apapun, senandung saya menjadi obat yang mujarab untuk menenangkannya.
Guru Musik Dasar ini orang yang sangat open mind dan berusaha belajar mengerti Liza. Dari yang awalnya beliau tak tahu harus melakukan apa untuk Liza, sampai terbentuk interaksi yang bisa dibilang sangat baik antara mereka.


Tahun 2001 kami dapat tetangga baru, persis di sebelah kami. Keluarga baru ini sangat terbuka, juga anak-anaknya. Mereka orang-orang yang ‘hangat’.
Timbullah ide dalam diri saya, bagaimana kalau anak-anak tetangga sekitar saya kumpulkan tiap sore, semacam “sekolah sore”.
Gayung bersambut. Anak-anak sangat senang, karena mereka menemukan dunia yang berbeda dari sekolah mereka tiap hari yang ‘kering’.
Di rumah saya mereka bebas membaca buku yang jumlahnya 200an, saya bacakan buku, menonton ‘shadow puppet’ dan bergantian jadi ‘dalangnya’, membuat craft, bikin buku cerita, banyak mainan yang bagi mereka ‘aneh’, bermain drama, bermain pura-pura, piknik bersama, masak (sebetulnya Cuma bikin dadar), dan masih banyak lainnya.
Tiap jam 5 sore (bahkan ada yang sudah menunggu sebelum ‘sekolah’ buka) mereka sudah siap menunggu di depan pintu. Dan banyak yang enggan pulang ketika ‘sekolah’ usai (jam 6-an sore).
Di situ interaksi yang terjadi antara Liza dan teman-temannya berjalan dengan sangat alamiah. Tanpa saya atur-atur. Mereka menanyakan hal-hal yang tak mereka mengerti tentang Liza langsung pada saya. Mereka tidak menghindari Liza. Di sini peran Narti (PRT saya yang pertama) sangat besar. Dia di ‘sekolah sore’ berperan sebagai ‘shadow teacher’ untuk Liza, sehingga saya bisa bebas jadi pembimbing anak-anak.

Maret 2005 saya punya ide untuk merekam suatu drama, yang rekamannya akan saya bagikan untuk tiap anak. Saya berharap akan jadi kenangan indah bagi tiap anak, tak terkecuali Liza tentunya. Saya pilih cerita yang sudah pernah saya bacakan, yang tidak rumit, yang kira-kira bisa dimainkan oleh semua anggota ‘sekolah sore’ yang beragam usia dan kemampuannya, tanpa kecuali (bahkan Donna yang berusia 1 th pun saya sertakan). Pilihan jatuh ke “Si Jubah Merah” (Red Riding Hood). Pilihan peran saya diskusikan dengan mereka, kecuali untuk Liza, dia saya pilihkan peran sebagai pemburu yang nantinya hanya ngomong “ dor !” (menembak serigala) mengingat kesulitan verbalnya. Pada hari H ada seorang pemain yang berhalangan, sehingga Narti yang menggantikan. Sungguh heboh dan seru !

Anak-anak sampai ketagihan. Mereka mengusulkan untuk bikin drama lagi dengan cerita yang lain, bahkan kalau saya nggak mau, mereka bilang boleh aja drama yang kemarin itu lagi ! Wow !
Dan yang luar biasa adalah Liza . Karena reaksinya yang biasa-biasa saja, saya tak tahu apakah dia suka atau tidak (apalagi dalam menjalankan lakonnya itupun dia dibantu ayahnya). Waktu saya pertontonkan videonya lagi pun tampaknya dia datar-datar saja. Setelah beberapa bulan berlalu, tiba-tiba Liza minta diputarkan video “Jubah Merah” ! Saya tanya apa yang dia lakukan disitu, dia bilang “pemburu”,“dor!” dan “tembak serigala”. Bahkan sampai sekarang pun Liza ketika ditanya tentang hal itu, dia bisa menjawab dengan jawaban yang sama (pun di suatu acara seminar di mana kami membawakan testimony kami).

Lalu agustus 2005 saya dan tetangga berniat membuat acara 17 agustusan sendiri, khusus untuk anggota ‘sekolah sore’. Kami kerahkan anak-anak untuk menghias depan rumah kami (tempat lokasi acara). Kami sediakan hadiah (murah meriah, yang penting semua anak dapat bagian).
Macamnya lomba saya buat lain daripada yang lain kecuali lomba makan kerupuk, yaitu “kipas balon” dan “tuang air”.
Peserta lomba saya bagi 3 golongan: ‘anak besar’, ‘anak kecil’ dan ‘para mbak’. Walau Liza secara fisik dan usia masuk golongan ‘anak besar’, tapi karena keterbatasannya saya masukkan ke golongan ‘anak kecil’. Tak ada yang protes, mereka sungguh memahami keterbatasan Liza tanpa saya perlu banyak omong. Bahkan sesekali kalau Narti membantu pun tak ada yang protes.
Seru sekali. Saya rekam dan bagi ke semua anak. Penontonnya juga banyak.
Saya pun tak menyangka acaranya jadi demikian meriah.
Setelah berlangsung sukses, banyak orang tua teman-teman anak tetangga yang protes kenapa anak mereka tak diajak serta. Wah jadi tersanjung nih…
Dan mereka pun mengancam : awas kalau tahun depan bikin lagi dan gak ajak-ajak kami!
Ok, kayaknya tahun depan mesti bikin yang lebih heboh!

2 comments:

Husna said...

sayang sekali sama adik Donna ...

https://drawingofmind.blogspot.com said...

Alizza putri bu Husna?
salam sayang dari kami :-)