Jumat 23 November 2012 Nenekku dari Papa dipanggil menghadapNya, di usia ke 92 tahun.
Aku hanya dapat menghadiri pemakaman beliau hari minggunya, tgl 25 November.
Naik pesawat terpagi dari Jakarta, langsung menuju ke Rumah Duka dijemput sepupuku. Acara berlangsung dari pagi s/d siang hari. Setelah acara pemakaman, aku masih punya waktu beberapa jam lagi sebelum kembali ke Jakarta lagi. Aku ingin menengok ke rumah nenek di Gang Baru, yang sudah lama tak kukunjungi (karena aku jarang bertemu nenekku, dan seringnya bertemu di rumah tanteku atau di satu acara keluarga).
Kembali ke sana terasa seperti kembali menyusuri ingatan masa kecil. Rumah-rumah itu, para tetangga yang sebagian besar masih sama, hanya menua . Tapi ada banyak hal yang mengganjal hatiku.
Rumah nenekku, yang berloteng kayu, sebagian kayunya rusak :(. Atapnya bocor, mungkin itu yang menyebabkan beberapa bagian kayunya rusak. Menurut cerita Alm Mamaku, loteng itu dibangun oleh kakek sendiri dibantu Papaku yang masih kecil waktu itu.
Memandang tangga kayunya yang beberapa bagian aus dimakan usia dan rusak, terasa sedih hatiku. Tangga ini dan loteng kayunya adalah tempat main kami para cucu waktu kecil. Sewaktu liburan sekolah biasanya kami sekeluarga bermobil dari Purwokerto ke Semarang, mengunjungi kakek & nenek. Namanya anak-anak, kalau sudah lari-larian kami suka jadi kurang hati-hati. Aku pernah jatuh di tangga kayu itu, 2 atau 3 kali :D. Demikian juga adik-adikku.
Dari dulu rumah itu, yang merangkap sebagai warung kelontong di bagian depan, memang penuh dengan barang dagangan. Aku kecil suka memandangi macam-macam barang yang dijual di situ, mengamatinya satu persatu. Kadang menerka-nerka apa guna dari barang tersebut. Ada batu apung dan kentang di peti kayu. Ada rak berisi bermacam-macam tepung yang sudah berplastik. Ada rak yang berisi bahan makanan kering dan kalengan. Ada rak berisi botol-botol bumbu dan sirup. Rak-rak itu menjulang dari lantai ke langit-langit, mengelilingi dinding waserba yang kecil. Banyak sekali macamnya. Kagum aku mereka (nenek dan para tante yang membantu) bisa ingat semuanya, ya jenisnya, ya harganya, ya tempatnya berada.
Rumah nenekku ini memang berlokasi di dalam pasar, Pasar Gang Baru. Pasar buka sejak sebelum subuh sampai siang hari. Ketika menginap di sana dulu, sekitar jam 3.30 pagi sudah mulai suara gaduh layaknya sebuah pasar yang menggeliat bangun. Apalagi di depan rumah nenek ada yang jual kelapa yang diparut. Sepagi itu dia sudah mulai menyalakan mesin parutnya. Pagi-pagi itu biasanya aku terbangun, oleh suara berisik, lalu mengintip kesibukan orang-orang yang sedang mempersiapkan dagangannya. Tak berani mengganggu, karena nenek dan para tante yang membantu sungguh sibuk, hilir mudik di tempat yang kecil itu. Jadi aku beraninya mengamati barang-barang dagangan itu ketika warung sudah tutup.
Kemarin itu perasaan barang-barang dagangan yang ada sudah makin banyak dan mengokupasi tempat-tempat yang tersisa. Jadi makin sempit dan kotor :(
Duduk di balai-balai kayu di depan warung sorenya bersama Papaku, seorang tante dan sepupu, aku mengamati para tetangga. Banyak rumah yang dulunya berarsitektur pecinan kuno sudah berubah. Berganti jadi bangunan tembok modern :(
Jalanan sempit di depan warung masih sama, aspal yang sudah terkelupas sana-sini. Selokan bau masih tetap bau.
Berandai-andailah aku. Andai pemerintah kota Semarang berkenan mempertahankan arsitektur rumah-rumah lama di situ. Andaikan jalannya di paving rapi dan selokannya dibuat tertutup sehingga tidak menyebarkan bau. Tempat itu bisa jadi tempat wisata yang lebih menarik, bahkan dibandingkan dengan kompleks Pasar Baru di Jakarta.
Di seberang warung nenek, terpaut beberapa rumah, masih berproduksi pia Tan Tie Kang, yang entah sudah berapa puluh tahun ada di situ. Dengan pia model kunonya yang kukangeni.
Sore dan malam hari para penjaja makanan banyak yang lewat. Semuanya enak-enak. Sayang kemarin itu aku tidak bisa bermalam di sana, karena harus buru-buru mengejar pesawat kembali ke Jakarta (senin suami ngantor dan Donna masuk sekolah).
Sebetulnya hari minggu itu ada acara Semawis. Sayang aku tidak sempat mengunjunginya karena waktu bukanya jam 6 sore, sedangkan aku musti sudah berada di airport jam 17.30an. Semoga lain waktu aku bisa mengunjunginya.
Kekayaan budaya suku tionghoa yang sudah menyatu jadi kebudayaan Semarangan ini kalau serius diperhatikan dan didukung pemerintah, bisa menarik wisatawan jauh lebih banyak daripada yang disuguhkan Singapore ataupun Malaysia. Tinggal menunggu, kapan hal itu bisa terjadi, sebelum bangunan kuno di situ melapuk dan berganti jadi bangunan modern.
No comments:
Post a Comment