Pages

Sunday, March 27, 2011

Menulis & Literatur

Aku sedang mengingat-ingat masa SD dulu. Rasanya tak ada dorongan untuk menulis seperti ini (walaupun sebetulnya ada banyak ide di kepala yang ingin ku share, itu sebabnya waktu awal-awal SD aku dibilang cerewet). Sejak bisa baca aku suka sekali membaca (waktu itu buku bacaan yang ada di rumah/perpustakaan sangat terbatas jumlahnya + koran langganan).
Sekarang Donna anakku, sangat suka membaca dan menulis (plus ilustrasi, sejak umur 5 tahun, dengan tulisannya yang masih tidak karu-karuan). Di sekolah dia sering sekali dapat pujian untuk karangan-karangannya. Bahkan cerita-cerita yang dia karang di rumah pun dibawa ke sekolah dan ditempel di ruang kelas untuk menginspirasi teman-temannya dalam menulis. Karena bagi sebagian besar teman-temannya 'menulis' adalah suatu hal yang sulit (yah bagaimana mau menulis kalau sejak kecil terbiasa pasif di depan TV, terlalu banyak les ini dan itu sehingga kreatifitas mati). Mereka berasal keluarga yang sangat berkecukupan. Baju, sepatu & perlengkapan sekolah bermerek, tapi jumlah buku anaknya (bukan buku pelajaran) bisa dihitung dengan jari. Yang berniat mencerdaskan anak malah kebablasan, buku banyak, tapi anaknya dipaksa les ini itu tiap hari sampai mabok yang akhirnya jadi kontraproduktif.
Buku bacaan Donna lumayan banyak (600-700 judul kayaknya). Di sekolahnya ada kegiatan menulis diary untuk masing-masing anak (anak-anak didorong untuk berekspresi lewat kata-kata). Sedari awal anak-anak dibiasakan menjawab soal ulangan dengan kata-kata mereka sendiri, bukan hapalan. Ada beberapa kali kepala sekolahnya "mewarnai bersama" gambar yang digambar Donna, sambil mendengarkan cerita Donna tentang gambar itu. Di ruang kantornya. Seperti dua orang teman. Memang tidak setiap saat (kapan kerjanya si kepsek kalau main melulu sama Donna ha ha ha).
Waktu sekolah dulu rasa-rasanya menulis/mengarang dimasukkan ke dalam pelajaran kesusastraan. Judul ditentukan oleh guru (bahkan kadang-kadang termasuk isi paragrafnya). Sangat tidak menarik. Kalau sudah demikian detailnya, sekarang kupikir-pikir kenapa bukan si guru saja yang menulis cerita itu (supaya klop dengan keinginannya). Jadinya dulu pelajaran mengarang benar-benar tidak ada rohnya, benar-benar terpaksa.
Dan yang juga parah adalah pengenalan buku-buku sastranya : anak-anak hanya diminta menghafalkan Judul + Nama Pengarang + inti ceritanya. Titik. Yang penting murid-murid tahu: buku A dikarang oleh B inti ceritanya C. Cukup. Kalau ulangan dapat nilai bagus.
Kering, benar-benar kering. Padahal kalau anak-anak dibiasakan membaca buku bermutu, anak-anak akan dapat merasakan sendiri keindahan dari cerita tersebut. Dari gaya bahasanya dan pilihan kata-katanya, bisa tergambar secara gamblang situasi yang ada di cerita tersebut. Tidak perlu menghafal.
Membayangkan andai aku punya guru seperti tokoh John Keating dalam film Dead Poet Society. Film itu menyentuh diriku sangat dalam dan terpatri kuat di benakku. Adakah film itu menginspirasi para guru/calon guru/kepala sekolah?

2 comments:

Aar said...

Selamat ya Donna. Senang mendengar cerita Donna yang senang membaca dan menulis. Apalagi Mama yang sedang belajar menjadi guru spt di film "Dead Poet Society". Mbak Ratna pasti bisa...! :)

https://drawingofmind.blogspot.com said...

Makasih ya Mas Aar & mbak Lala atas dukungannya. Semoga aku bisa, paling tidak, "mendekati" John Keating-nya "Dead Poet Society" dalam membimmbing anak2ku ^_^