Pages

Thursday, June 12, 2008

Kisah Dari Sebutir Nasi

Di rumah, seluruh anggota keluarga kami selalu dibiasakan tidak meninggalkan sebutir nasi pun ketika makan. Saya mengajarkan Donna untuk menghargai hasil kerja keras petani, yang beberapa kali dia lihat ketika melintas dalam perjalanan menuju ke suatu tempat. Kadang yang tampak adalah petani sedang menanam, kadang sedang memanen.

Beberapa hari yang lalu dalam perjalanan ke suatu tempat, saya melihat pemandangan sungguh indah di satu tempat: ada bagian sawah yang sedang ditanami, ada yang sudah berbuah tapi masih hijau dan ada yang sudah menguning masak.
Saya ajak Donna turun ke pematang sawah, menemui seorang petani di situ. Saya minta sang petani untuk membagi sedikit padi-padi yang masih hijau maupun yang sudah menguning.
Berdiri di pematang sawah di tengah hamparan padi yang menguning sungguh menakjubkan. Padi-padi itu seakan berdansa gemulai karena hembusan angin, angin yang sama yang membelai kita (dan ketika di rumah Donna menirukan gemulainya tarian para padi :D).

Di rumah, saya bantu Donna mengupas salah satu bulir padi. Dengan girang dia menunjukkan ke saya butir beras yang dia dapatkan itu. Saya bilang,” kamu berhasil kupas satu butir, berapa butir yang mesti kamu kupas untuk sesendok nasi?”

Ya, dalam sebutir nasi tersimpan kisah kerja keras dan dedikasi yang luar biasa dari seorang petani. Awalnya petani harus mengolah tanah supaya layak tanam. Lalu dengan terbungkuk-bungkuk di terik matahari mereka menanam benih-benih padi itu, menjaganya agar cukup air dan pupuk sehingga tumbuh subur. Ketika bulir-bulir padi mulai keluar dan masih menghijau (tahukah anak-anak kita, bahwa bulir yang hijau itu masih ‘kosong’ ?) mereka harus tetap menjaganya dari gulma dan segala macam hama agar kelak bulir-bulir itu akan padat berisi. Dan ketika bulir-bulir padi mulai menguning, mereka juga harus tetap menjaganya dari tikus dan burung.

Semua info itu saya sampaikan pada Donna, lewat buku, lewat kata-kata, dan yang paling bermakna tentu lewat pengalaman langsung yang dia alami. Dia melihat orang-orangan sawah dengan ‘kagum’. Dia melihat petani sedang terbungkuk menanam, mencabuti gulma, mendengarnya berteriak mengusir burung pipit.

Ada peristiwa yang saya rasa meninggalkan kesan yang mendalam padanya. Tak jauh dari perumahan kami ada areal sawah , tampaknya tanaman padi di situ sudah ‘tua’ tapi aneh karena tak tampak bulir-bulir padi bergelayut. Ya, tanaman padi itu puso. Sayang waktu itu tak tampak seorang petani pun yang bisa saya tanya sebabnya. Hanya tampak sebagian dari padi puso itu sudah mulai dibabat.

Belasan tangkai padi yang masih hijau maupun sudah masak yang saya dapatkan itu saya bawa ke sekolah Donna. Saya bagi ke Kepala Sekolah, guru, dan orang tua teman-teman Donna. Saya minta mereka bersama anak-anak mengupas bulir padi itu.
Saya ingin anak-anak itu tahu dari mana nasi yang mereka makan berasal (jangan-jangan ketika mereka ditanya darimana beras yang mereka makan, mereka jawab ‘beli dari toko’!). Bahwa dari tiap butir nasi yang mereka suap ada kisah kerja keras dan ketulusan para petani.

Dan mumpung menjelang libur, mungkin ada orang tua yang tertarik membawa anak-anak mereka ‘berkunjung’ ke sawah, the real one kalau bisa. Karena pengalaman yang akan mereka dapatkan lebih bermakna dari pada sejuta kata-kata yang kita ‘cekokkan’ pada mereka.
Cerita mengenai wisata untuk anak yang lagi ngetrend , semacam ‘back to nature’ yang pernah saya ikuti, dalam acara ‘menanam padi di sawah’ : setelah anak-anak diberi benih padi mereka dibebaskan menanam di mana saja, tanpa penjelasan, tanpa petunjuk apapun. Setelah anak-anak puas (puas atau tidak, yang jelas benih padinya ‘dijatah’ sesuai tiket yang dibayarkan) dan beranjak pergi, sang ‘petani’ mencabuti kembali hasil tanam anak-anak, menyimpannya kembali untuk rombongan pembeli tiket berikutnya. Anak tetangga yang waktu itu saya ajak, menengok ke belakang dan melongo “kenapa padinya dicabutin lagi?”. Dari suara dan raut wajahnya rasa kecewa itu tak dapat disembunyikannya…
(untung waktu itu Donna masih berusia setahunan, jadi sebagai ‘penggembira’ yang belum mengerti dia tak perlu merasakan kekecewaan itu).

No comments: