Sabtu kemarin Donna mengikuti kompetisi piano yang diselenggarakan oleh sebuah media. Kompetisinya ternyata diikuti peserta dari berbagai wilayah Indonesia dengan kemampuan hebat-hebat.
Donna tidak menang. Tapi itu bukan masalah bagi kami. Karena kalau menang lagi mungkin malah tak baik untuk Donna. Kompetisi piano pertama yang Donna ikuti adalah yang diselenggarakan oleh Yamaha beberapa waktu lalu. Veni vidi vici, Donna jadi juara satu. Kalau ini juara lagi kami takutnya dia menjadi jumawa dan sombong, menyepelekan yang namanya ketekunan dan kerja keras.
Namun kali ini aku merasa bersalah dan sedih sekali. Malam sebelum lomba Donna sangat stress, dia ingin sekali menang. Rencananya hadiah uang (kalau menang) dia ingin belikan kamera, karena selama ini kalau perlu kamera dia musti meminjamnya dariku (padahal aku sendiri memerlukannya untuk proses catatan Home Ed Liza). Dia tak bisa tidur sampai lewat tengah malam. Papanya yang mengetahui hal ini berusaha menemani sejenak sampai tertidur. Rupa-rupanya tak lama dia terbangun lagi. Aku sendiri sudah tertidur kelelahan dan tak mengetahui semua hal ini (sebagai anak yang sangat peka, Donna sangat mengerti dan tak akan membangunkanku/menggangguku). Kupikir semuanya baik-baik saja, karena toh dia pernah mengikuti kompetisi piano. Repertoir yang akan dibawakan juga semua ok.
Paginya kami menemukan banyak sekali rontokan rambut di bantal dan tempat tidur Donna. Dia merasa rambutnya kusut semua dan ditarik untuk diluruskan! Ah, aku sedih sekali dan merasa bersalah. Seharusnya aku bisa menemaninya, dia bisa tidur denganku. Ketika sedang merasa sedih/tertekan biasanya Donna minta tidur denganku, sambil memegang leherku, kuelus-elus rambutnya sampai tertidur. Ke mana saja aku ini, ibunya tapi tak bisa merasakan ketegangannya. Hari-hari terakhir memang keinginan belajar kakaknya, Liza, sedang meningkat, dan sebagai anak Special Needs tentu proses ini menyenangkanku sekaligus sangat menyerap energiku.
Segera kuputarkan lagu dari Youtube, theme song dari film "Rio" yang biasanya bisa menceriakannya. Tapi rupanya tak menolong banyak. Dia berangkat tanpa keceriaan sedikit pun.
Sesampai di tempat kompetisi sudah banyak peserta yang hadir. Beberapa sedang mencoba piano di panggung. Donna juga ingin mencoba piano di panggung. Ada seorang anak lelaki yang memborong pianonya (atas permintaan orang tuanya), berlatih terus dan hanya memberi sedikit kesempatan kepada dua-tiga orang lain, sampai waktu habis. Donna bertambah stress. Kami bergantian mengajaknya berjalan di sekeliling gedung yang cantik itu. Kami berusaha menceriakan Donna tapi tak berhasil. Wajahnya pucat pasi.
Dan kekuatiran kami pun terjadilah. Dimulai saat memberi hormat, Donna hampir terjatuh (sampai aku kepikiran aduh jangan-jangan dia akan pingsan di panggung). Repertoir yang pertama adalah lagu wajib, yang tidak sulit dan tidak panjang. Donna melakukan kesalahan di bagian yang tak pernah salah sebelumnya. Repertoir kedua lagu kesukaan kami, tapi dia mainkan tanpa jiwa.
Dan memang demikianlah seharusnya. Donna tidak menang. Dia termenung lama sekali. AKu membahasnya sesantai mungkin. Jangan pedulikan menang atau kalah, itu bukan soal, yang lebih penting bagi kami adalah kamu main dengan senang hati. Itu pesanku padanya.
Kemarin dia bertekad ikut untuk yang tahun 2012. Sementara aku masih tak bisa menghapus kesedihanku karena membiarkannya stress sendirian malam itu, di waktu sebenarnya dia sangat membutuhkanku.
Monday, September 26, 2011
Maafkan Mamamu, Donna
Saturday, September 10, 2011
Mengurangi Sampah Plastik Rafia : Tali Batang Pisang
Banyak sekali macam sampah plastik di sekitar kita, salah satunya adalah tali rafia. Sudah lama aku ingin menguranginya. Antara lain dengan tidak membuang tali rafia yang kudapat (dari tukang jual pisang, atau dari pengikat paket kiriman dari saudara/teman). Yang kudapat dari tukang pisang biasanya kukembalikan ke yang bersangkutan untuk dipakai lagi menggantung si pisang. Sedangkan potongan-potongan rafia yang lain kuikat-sambung sehingga kalau memerlukannya tinggal potong seberapa panjang.
Ada satu lagi yang sudah lama ingin kulakukan, tapi belum kesampaian karena tak memiliki bahannya : tali dari batang pisang! Ini juga berhubungan dengan 'romantisme' masa kecil : ikut Mama belanja di pasar dan menyaksikan barang belanjaan dibungkus dengan daun jati lalu diikat tali batang pisang. Cantik sekali.
Akhir bulan lalu bertepatan kami mengunjungi Oma di Jasinga, ada sebatang pohon pisang sepanjang kira-kira limapuluh centimeter yang teronggok di tanah. Batang pisang itu boleh kuminta dan bawa pulang ke rumah. Asyiik! Inilah saatnya aku menunjukkan ke Donna bagaimana orang dulu mendapatkan tali dari batang pisang, sekaligus ramah lingkungan. Awalnya Donna protes :"Kenapa pohon pisangnya ditebang?"
Setelah dia tahu bahwa itu berasal dari pohon pisang yang tak lagi produktif, dia semangat sekali untuk segera membuatnya setiba kami di rumah. Cara membuatnya sangat sederhana. Begini:
Buang dulu kulit bagian luar yang sobek-sobek sampai bersih.
Kupas batang pisang pelan-pelan dari salah satu sisi lembaran.
Kupas terus sampai ke bagian intinya.
Inilah bagian inti batang pisang yang tak bisa kita buat jadi tali.
Bisa dipakai untuk main "masak-masakan" :)
Jemur lembaran-lembaran batang pisang sampai kering.
Ketika sudah kering kira-kira begini bentuknya. Memang tidak serempak keringnya, tergantung ketebalan masing-masing lapisan. Tentunya jangan sampai terlalu kering (akan mudah remuk), cukup kering tapi masih lentur ketika ditekuk.
Lembaran yang sudah kering tadi bisa kita 'sobek' selebar tali rafia.
Ini sebagian tali batang pisang yang sudah jadi. Kami menyebutnya tali gedebog (artinya batang pisang, dalam Bahasa Jawa).
Salah satunya langsung kupakai untuk menggantung pisang :D
Ada satu lagi yang sudah lama ingin kulakukan, tapi belum kesampaian karena tak memiliki bahannya : tali dari batang pisang! Ini juga berhubungan dengan 'romantisme' masa kecil : ikut Mama belanja di pasar dan menyaksikan barang belanjaan dibungkus dengan daun jati lalu diikat tali batang pisang. Cantik sekali.
Akhir bulan lalu bertepatan kami mengunjungi Oma di Jasinga, ada sebatang pohon pisang sepanjang kira-kira limapuluh centimeter yang teronggok di tanah. Batang pisang itu boleh kuminta dan bawa pulang ke rumah. Asyiik! Inilah saatnya aku menunjukkan ke Donna bagaimana orang dulu mendapatkan tali dari batang pisang, sekaligus ramah lingkungan. Awalnya Donna protes :"Kenapa pohon pisangnya ditebang?"
Setelah dia tahu bahwa itu berasal dari pohon pisang yang tak lagi produktif, dia semangat sekali untuk segera membuatnya setiba kami di rumah. Cara membuatnya sangat sederhana. Begini:
Buang dulu kulit bagian luar yang sobek-sobek sampai bersih.
Kupas batang pisang pelan-pelan dari salah satu sisi lembaran.
Kupas terus sampai ke bagian intinya.
Inilah bagian inti batang pisang yang tak bisa kita buat jadi tali.
Bisa dipakai untuk main "masak-masakan" :)
Jemur lembaran-lembaran batang pisang sampai kering.
Ketika sudah kering kira-kira begini bentuknya. Memang tidak serempak keringnya, tergantung ketebalan masing-masing lapisan. Tentunya jangan sampai terlalu kering (akan mudah remuk), cukup kering tapi masih lentur ketika ditekuk.
Lembaran yang sudah kering tadi bisa kita 'sobek' selebar tali rafia.
Ini sebagian tali batang pisang yang sudah jadi. Kami menyebutnya tali gedebog (artinya batang pisang, dalam Bahasa Jawa).
Salah satunya langsung kupakai untuk menggantung pisang :D
Labels:
Art and Culture,
Daily Life,
Renunganku
Monday, September 5, 2011
Selamat Ulang Tahun Ke-70 Ma
Hari ini, 5 September 2011, kalau Mamaku masih ada, beliau berulang tahun yang ke-70. Sudah enam tahun beliau meninggalkan dunia untuk memulai kehidupan baru di surga. Bebas dari segala penderitaan dan sakitnya. Aku sangat merindukannya.
Mamaku seorang yang aktif dan sangat mencintai anak-anaknya. Beliau juga sangat kreatif, terutama dalam membuat craft. Sedari kecil aku beberapa kali melihat Mama membantu saudara dan kenalan untuk menghias nampan seserahan untuk pernikahan. Jaman itu membantu seperti itu tentulah "pro bono", bukan merupakan pekerjaan berbayar. Dikerjakan sambil mengurus rumah tangga, tapi sangat indah dan teliti. Mama bilang, pantang merusak barang seserahan hanya demi keindahan. Maksudnya misalnya handuk, beliau akan membuatnya menjadi sangat cantik tanpa perlu menjahitnya (sayang, berlubang nanti, walaupun kecil tak terlihat). Sayang aku dan adik-adikku tak ada yang berminat untuk belajar hal seperti itu :(Andai beliau masih ada bersama kami di sini, aku membayangkan membuatkan blog khusus craft untuk beliau, sehingga beliau dapat mewariskan ilmu-ilmu kreatifitasnya dalam hal crafting. Beliau sangat senang kalau ada yang datang dan minta diajarkan sesuatu.
Aku masih ingat bulan Agustus enam tahun yang lalu, dua setengah bulan sebelum beliau dipanggil-Nya, menjelang acara 17 Agustusan. Mamaku sudah tinggal tulang berbalut kulit, lebih banyak berbaring di tempat tidur. Tetangga sebelah datang padaku bertanya apakah ada ide menghias sepeda anaknya (untuk lomba sepeda hias di sekolah). Aku bilang hias pakai kertas crepe saja. Ketika Mamaku mendengar hal itu, beliau berusaha bangkit duduk dengan susah payah, mengajarkan tetanggaku bagaimana membuat bunga-bungaan dari kertas crepe. Dengan tenaga yang tersisa dan tangan bergetar, beliau memberi contoh step by step! Luar biasa.
Beberapa hari yang lalu aku membuat craft untuk tantangan Frame It dari teman-teman Brisik Lestari.. Di situ aku selipkan "Ballerina" dari pembungkus permen. Ya, bungkus permen yang sudah tak terpakai itu, ditangan Mamaku bisa berubah menjadi ballerina cantik. Kala kami masih kecil, Mama sering membuatnya lalu menyelipkan di kaca jendela rumah sehingga menimbulkan imajinasiku akan ballerina-ballerina cantik yang sedang menari.
Waktu Mama mulai sakit, aku teringat pada para ballerina itu dan minta Mama ajarkan cara membuatnya. Beginilah yang kubuat beberapa hari yang lalu:
Buat simpul.
Potong salah satu sisi, menjadi bagian untuk kepala dan dua tangan.
Pendekkan bagian kepala dan rapikan, pelintir kecil bagian tangan.
Potong bagian "Rok" bawah secara melebar untuk kedua kakinya.
Potong dua atau tekuk jadi dua sama panjang dan pelintir kecil.
Selipkan di bagian belakang. Kalau perlu bisa dibantu gunting untuk menyelipkannya.
Jadilah ballerina yang cantik.
Dulu aku yang mengagumi, sekarang Donna anakku yang menggantikan posisiku.
Terima kasih, Ma. Selamat Ulang Tahun yang ke-70. Aku sangat merindukanmu...
Labels:
Art and Culture,
Renunganku
Friday, September 2, 2011
Beda Rumput Beda Reaksi
3 Hari berturutan kami berlibur sekeluarga, 2 hari yg pertama ke Puncak (Kebon Raya Cibodas dan Gunung Mas) lalu mengunjungi Oma di Jasinga. Di ketiga tempat ada rerumputan yg luas untuk kami bermain-main. Liza tidak suka rumput, apalagi menginjaknya dengan telanjang kaki. Tapi biasanya kami bujuk supaya mau melepas sepatunya dan sekedar berjalan-jalan di atasnya. Awalnya biasanya kami ajak Liza berjalan-jalan dulu dengan sepatunya. Yg hari pertama itu, sudah lamaa sekali Liza tak merasakan input taktil seperti rumput/pasir.
Mulanya Liza tidak mau duduk di rumput, minta pangku. Pelan-pelan mau duduk di rumput, lalu kami bujuk & lepas sepatunya. Beginilah reaksi kaki Liza.
Setelah terbiasa, lama-lama Liza bosan cuma duduk-duduk di rumput. Dia tertarik dengan kolam yang tampak di kejauhan. Lalu dia berjalan telanjang kaki sendiri ke situ. "Mau ke mana Liza?" "Berenang!"
Hahahaa...
Waktu kami menginap di Gunung Mas, rumputnya juga sehalus di Kebon Raya Cibodas (walaupun baru saja dipotong). Kami ajak Liza berjalan-jalan telanjang kaki. Merasakan rumput yg dibawah naungan terasa dingin dan basah embun, sedangkan yg terkena matahari terasa lembut dan hangat. Liza mau, walau sesekali dia bilang "Mau bobo di kamar".
Kami juga ajak Liza merasakan sensasi yg lain : berjalan di rerumputan yg bertaburan dengan daun-daun kering. Liza baik-baik saja, walau kalau boleh memilih dia akan cari jalan yg mulus lalu kembali ke kamar.
Tapi waktu kami ajak berjalan di rerumputan di Jasinga, tempat Omanya bekerja, yg terjadi adalah sebaliknya :Liza marah dan nangis! Padahal prosedurnya sama seperti waktu pertama di Kebon Raya Cibodas.
Liza tidak suka rumputnya. Rumputnya rumput gajah mini yg tumbuh bergerombol kecil-kecil, sehinga tanah tidak benar-benar rata berumput seperti hari-hari sebelumnya.
Liza marah & nangis.
Beda rumput beda reaksi. Mungkin juga ketambahan hawa yg panas di Jasinga, tidak sedingin di Puncak?
Bagi yg bingung, ini disebut Defensive Tactile :
Children who have tactile defensiveness are sensitive to touch sensations and can be easily overwhelmed by, and fearful of, ordinary daily experiences and activities.
Sensory defensiveness can prevent a child from play and interactions critical to learning and social interactions.
Often, children with tactile defensiveness (hypersensitivity to touch/tactile input) will avoid touching, become fearful of, or bothered by the following:
textured materials/items
"messy" things
vibrating toys, etc.
a hug
a kiss
certain clothing textures
rough or bumpy bed sheets
seams on socks
tags on shirts
light touch
hands or face being dirty
shoes and/or sandals
wind blowing on bare skin
bare feet touching grass or sand
Ini merupakan bagian dari sensory-processing-disorder.
Mulanya Liza tidak mau duduk di rumput, minta pangku. Pelan-pelan mau duduk di rumput, lalu kami bujuk & lepas sepatunya. Beginilah reaksi kaki Liza.
Setelah terbiasa, lama-lama Liza bosan cuma duduk-duduk di rumput. Dia tertarik dengan kolam yang tampak di kejauhan. Lalu dia berjalan telanjang kaki sendiri ke situ. "Mau ke mana Liza?" "Berenang!"
Hahahaa...
Waktu kami menginap di Gunung Mas, rumputnya juga sehalus di Kebon Raya Cibodas (walaupun baru saja dipotong). Kami ajak Liza berjalan-jalan telanjang kaki. Merasakan rumput yg dibawah naungan terasa dingin dan basah embun, sedangkan yg terkena matahari terasa lembut dan hangat. Liza mau, walau sesekali dia bilang "Mau bobo di kamar".
Kami juga ajak Liza merasakan sensasi yg lain : berjalan di rerumputan yg bertaburan dengan daun-daun kering. Liza baik-baik saja, walau kalau boleh memilih dia akan cari jalan yg mulus lalu kembali ke kamar.
Tapi waktu kami ajak berjalan di rerumputan di Jasinga, tempat Omanya bekerja, yg terjadi adalah sebaliknya :Liza marah dan nangis! Padahal prosedurnya sama seperti waktu pertama di Kebon Raya Cibodas.
Liza tidak suka rumputnya. Rumputnya rumput gajah mini yg tumbuh bergerombol kecil-kecil, sehinga tanah tidak benar-benar rata berumput seperti hari-hari sebelumnya.
Liza marah & nangis.
Beda rumput beda reaksi. Mungkin juga ketambahan hawa yg panas di Jasinga, tidak sedingin di Puncak?
Bagi yg bingung, ini disebut Defensive Tactile :
Children who have tactile defensiveness are sensitive to touch sensations and can be easily overwhelmed by, and fearful of, ordinary daily experiences and activities.
Sensory defensiveness can prevent a child from play and interactions critical to learning and social interactions.
Often, children with tactile defensiveness (hypersensitivity to touch/tactile input) will avoid touching, become fearful of, or bothered by the following:
textured materials/items
"messy" things
vibrating toys, etc.
a hug
a kiss
certain clothing textures
rough or bumpy bed sheets
seams on socks
tags on shirts
light touch
hands or face being dirty
shoes and/or sandals
wind blowing on bare skin
bare feet touching grass or sand
Ini merupakan bagian dari sensory-processing-disorder.
Subscribe to:
Posts (Atom)