Pages

Monday, April 20, 2009

bercermin


Kemarin siang, ketika saya sedang menemani Liza mengikuti pelajaran untuk persiapan komuni pertamanya, ada seorang ibu yang bertanya Liza sekolah di mana.
Seperti biasa saya jawab dia homeschooling.
Dan seperti biasa juga pertanyaan lanjutannya pasti adalah kenapa dia tidak di sekolahkan di sekolah A atau B.
Sebetulnya saya sungguh bosan menjawab pertanyaan seperti ini, tapi apa boleh buat saya harus tetap menjawab.
"Memangnya bisa dapat apa kalau anak saya sekolah di situ?"
"Macam-macam ketrampilan, juga terapi ini dan itu"
Saya jelaskan secara komplit, saya didukung tim lengkap ada dokter, psikolog dan terapis. Dan karena kekhususannya Liza membutuhkan komputer untuk menulis plus keyboard BigKeys.
Dan yang lagi lagi pasti menjadi cecaran berikutnya adalah "Dia kan perlu SOSIALISASI"
Saya yang sedang flu + batuk + sakit tenggorokan sebetulnya sudah amat malas menjawab, tapi yah... demi sopan santun tetap saya jawab :
"Sosialisasi kan bisa di mana saja, Liza juga ikut kelas musik di Yamaha"
Tapi dia tetap ngotot bahwa Liza perlu sosialisasi di suatu sekolah khusus, seperti anak si A, anak si B, juga anak dia sendiri yang tunarungu yang di sekolahkan di sekolah khusus.
Saya coba jelaskan dengan menahan sabar, sosialisasi macam apa yang didapat di suatu lingkungan yang homogen, padahal kita hidup di dunia nyata yang sangat heterogen.
Tapi ya ampuun ibu yang satu ini ngotot bener. Padahal saya lihat dia begitu kasar ke anaknya yang tunarungu. Dikarenakan pada waktu itu si anak tak bisa menghapal suatu tugas hapalan , dia berkata (anaknya baca gerakan bibir) dengan mimik kesal + suara keras "Kamu malas, lihat teman-teman semua bisa", itu diulang beberapa kali. Si ibu itu bukannya mendukung anaknya yang berkebutuhan khusus, malah berkata seperti itu. Padahal di satu sisi dia menjelaskan ke semua orang mohon pengertian karena anaknya tuli. Saya pikir mestinya kekasaran seperti ini sering terjadi, sehingga si anak pun menjawab dengan kesal "Mama bawel".
Sepulang dari sana saya masih kesal. Kenapa dengan pengetahuannya yang begitu dangkal ibu itu bisa begitu ngotot. Apa jadinya kalau semua orang berpikiran bahwa sosialisasi yang benar adalah hanya yang terjadi dalam satu golongan (satu keadaan, seumur, dan hal lain yang homogen). Padahal di kehidupan nyata kita bergaul dengan berbagai macam orang, dari tukang roti sampai dokter, dari tukang sayur sampai pimpinan bank, dll.
Tapi kemudian saya terhenyak! Bukankah si ibu itu juga termasuk di lingkungan heterogen yang pasti akan saya jumpai suatu saat? Bukankah dia termasuk orang yang butuh pencerahan, bukannya butuh jawaban ketus saya? Di suatu lingkungan yang heterogen pasti kita akan banyak bertemu orang yang tidak sehaluan, bahkan berlawanan, yang pendapatnya mungkin kedengaran aneh di telinga kita, atau bahkan terasa menyakitkan.
Lalu apakah demi kenyamanan hati dan kuping kita lalu memilih berkumpul terus hanya dengan lingkungan yang homogen?


2 comments:

https://drawingofmind.blogspot.com said...

Thanks for your visit.

Sang Musafir said...

LINGKUNGAN MEMBENTUK KARAKTERISTIK MANUSIA, PENGARUHNYA LEBIH DARI 50%

Sungguh suatu keputusan yang bijaksana telah ibu ambil, dengan mempertahankan bahwa putri ibu berada dalam lingkungan yang heterogen, ibu telah memberikan suatu pengaruh lingkungan yang kaya yang akan membentuk karkteristik dan kemampuan seorang anak dalam menanggapi lingkungan, soal kemampuan memang masing-masing anak punya perbedaan.

Banyak artis yang bermula dari bukan artis tetapi hidup lama dilingkungan artis, demikian juga masih banyak kejadian yang bisa dijadikan ukuran bahwa sungguh lingkungan memberikan pengaruh lebih dari 50%.

Disinilah peran orang tua, kata kahlil gibran : seorang anak bak mata panah, sekali terlepas dari busur maka tidak akan berputar kembali. LEPASKANLAH PADA SASARAN YANG TEPAT.

Salam untuk Lisa , Donna , dan semua.