Pages

Showing posts with label Renunganku. Show all posts
Showing posts with label Renunganku. Show all posts

Friday, June 9, 2017

Mother Culture

My HSer friend, Maria wrote this enlighten article about qualified Me Time, Mother Culture. It's not easy to provide Me Time among zillion to-do-list. From preparing balance diet meals for my family,  supporting my kids activities (from training self help etc etc  for my eldest, to piano - trigonometry - flute etc etc for my youngest), to my illustration job deadlines. Plus Jakarta's traffics that really sucks :(
Mother Culture is now written in my to-do-list. Me Time is not a sin. Because unhappy mother could be a "monster".
Here what she wrote. Thanks a lot Maria.

Saturday, April 16, 2016

Discipline and Self Control

This is one of 20 Charlotte Mason's principles in education. I'm not a Charlotte Masoner, but somehow, I agree with this principle. Well, not only this one, but many of them.

"We train a child to have a good habits and self-control." 
For Donna, this means that she has to control herself in using her cellphone. So, we have an agreement. If she couldn't control her time in using her gadget, she could use her cellphone only once a week (on Saturdays). The better self-control,  the more days she could use her cellphone (2 days in a week, then 3 days a week and so on).  If her habit back to uncontrolled, she will back to once a week again.
So far this way help her much. However, without her cellphone, she still can use her desk computer to learn , connect to the world and have fun. The special thing about this desk computer compare to her cellphone is, that this tool stay in a specific place, so it won't be anytime anywhere stay besides her. 

And of course as her parents, my husband and I show a good example for her. We show her that a cellphone is only a tool that help us, so we are not under cellphone addiction.



Tuesday, February 9, 2016

Plastic Micro Beads in Our Personal Care

 I was shocked knowing that most of our face & body scrub contain plastic micro beads instead of natural ones. They are washed directly down the drain and into our water systems, where they harm our waterways and the animals that live there. It is one of the most dangerous sources of plastic pollution, because they could be consumed by the animals.
We can choose natural scrub instead, like the inside part of lemon or lime skin, coffee grounds, sugar & salt, etc. You can find many natural recipes from Google.
Here is the article I read about the plastic micro beads http://www.5gyres.org/microbeads/

Thursday, January 21, 2016

Personal Thought di Awal Tahun

*Dalam Bahasa Indonesia, karena ini masalah yang ada di dalam kepala & hatiku, gerundelanku.

Sudah lama aku bertanya-tanya, mengapa teman-temanku yang kukenal, juga saudara-saudaraku ada banyak sekali yang bisa punya waktu luang.
Mereka bisa pergi main, berkali-kali "reuni", ketemuan (you name it) dengan teman-teman lama. Dari tingkat SD, SMP, SMA, bangku kuliah, teman bekas satu kost, sekota dst. Aku baru sekali ikutan, dan tidak bisa hadir untuk belasan lainnya. Ada yang sinis menuduh aku sombong, tidak mau meluangkan waktu untuk teman-teman lama dst. Well...
Kalau misalnya pada waktu ada acara ketemuan dengan teman-teman lama, pada saat itu anak kalian pas jamnya audisi di suatu tempat, mana yang akan kalian pilih? Kalau aku dan suami jelas pilihannya: anak kami.
Ada pula banyak pertemuan model lain, pertemuan dengan orangtua bekas teman-teman sekelas Donna. Dengan judul "anak-anak ingin ketemu, kangen". Iyakah? Itupun kami tidak bisa ikut.
Juga ketemuan dan acara-acara untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Sudah belasan tahun kami absen.
Ada pula beberapa family gathering, atau kondangan, baik ulang tahun maupun kawinan. Banyak sekali yang kami tidak bisa datang.
Media sosial? Tidak terlalu aktif. Makanya aku berusaha menolak kalau diajak masuk grup-grup di MedSos, apalagi yang tujuannya tidak jelas. Tanpa bermaksud menyerang siapapun, pernah aku dimasukkan grup yang isinya OMG, banyak sampahnya daripada isinya. Dalam hal ini aku sangat selektif.
Jujur, aku tidak tahu lagi bagaimana memadatkan jadwal yang sudah padat ini. Bahkan seringkali kesehatanku sampai terganggu karena kekurangan waktu istirahat (baca: tidur) saking banyaknya hal dan urusan yang harus kukerjakan. Mulai dari urusan rumah tangga tanpa asisten totally. Homeschool Liza, supporting Homeschool Donna, dan kerjaan sebagai freelance illustrator. Senin sampai Minggu. Nonstop. Dan walau begitupun aku masih berusaha selalu untuk belajar, berusaha meng-up grade diri, sekecil apapun.
Pernah juga saking lelahnya aku tertidur ketika sedang nyetir di tengah kemacetan, dengan hasil nubruk mobil di depanku :(  Serem sekali karena aku bawa anak-anak.

Untungnya hubunganku, suami dan anak-anak sangat dekat. Setiap ada waktu, yang aku inginkan hanya menikmati dan berkegiatan bersama mereka. Bukan dengan lainnya. Nyaris ke mana aku pergi, mereka ada bersamaku.
Jadi kesimpulanku, semua orang memiliki waktu yang sama, 24 jam sehari. Pemakaian dan pembagian waktu tergantung pilihan individu. Berjejaring dan berkawan tanpa pandang bulu memang penting. Tapi di atas itu semua, tetap First Thing First. Dan bagiku itu berarti keluargaku, dengan satu anak berkebutuhan khusus dan satu anak lagi yang as busy as a bumble bee.



Sunday, November 1, 2015

Assignment for Coursera's LHTL: Learn By Teaching Others How To Learn

These are 3 concepts/ideas from the course Learning How to Learn that impressed me, and that's why I want to share with others:
A. Sleep
B. Procrastination
C. How to be a better learner

Sleep
It seems like such a waste of time, but actually these are the facts behind it:
- it's your brain's way keeping itself clean and healthy
- tidies up ideas & concepts
- erases less important parts of memories and strengthen areas you need/want to remember
- deactivates pre-frontal cortex helps other areas of your brain to communicate more easily
- helps your brain form new synapses (neural connections)

Procrastination
Usually happens by diverting your attention to something less painful. How to minimise this procrastination?
- keep a planner journal
- commit yourself to certain routines and tasks each day
- delay rewards until you finish the task
- watch for procrastination cues
- gain trust in your new system
- have a back up plan for when you still procrastinate
- eat your frog first (do the hardest thing first)


How to be a Better Learner
- doing physical exercise (this activity also helps neurone survive) increases oxygen supply to your brain and increases brain neurotransmitters
- practice the matter you want to master, as well as train the brain
- learn new things because new neurones are born everyday


Tuesday, October 20, 2015

Coursera's Learning How to Learn

This what impressed me from week 2 of this MOOC's course "Learning How to Learn":

Addictive drugs artificially increase dopamine activity and fool your brain into thinking that something wonderful just happened. I fact, just the opposite has just happened. This leads to craving and dependence, which can hijack your free will and can motivate action that are harmful to you.
- Dr Terrence Sejnowski
Who is Dr Sejnowski?
He is pioneer researcher in neural networks and computational neural science.
He is a living legend, in the elite group of only ten living scientists to have been elected to all three of the national academies, in engineering, science, and medicine.
He is a leading father figure for the modern field of neuroscience.




And because I have to be realistic with my work loads, I have to un-enroll my third course ( Fantasy & Science Fiction) and put it in my watch list for later.

Tuesday, July 28, 2015

Random of Thoughts

I try my best to:

--> find balance among homeschooling activities, work and keeping a home
--> spend every free minute of the day for learning, writing and illustrating


... by the Grace of God.




Sunday, March 15, 2015

Steve Jobs Was a Low Tech Parent

Judul itu aku copy paste dari berita yang ditulis oleh wartawan NYTimes.com. Banyak yang terkejut membacanya. Tak disangka Steve Jobs, orang di balik sukses perusahaan komputer terkenal seperti Apple, justru tidak mengijinkan segala macam peralatan high tech di rumahnya untuk digunakan oleh anak-anaknya. Dan bukan hanya Steve Jobs saja, tapi beberapa pemimpin dan pendiri perusahaan yang tergolong High Tech juga melakukan pembatasan yang amat ketat terhadap penggunakan gadget dan screen untuk anak-anak mereka. Mereka tahu bahaya penggunaan gadget yang berlebihan pada anak-anak mereka. Jadi apa yang dilakukan oleh Mr Job di rumah bersama anak-anaknya?
Aku kutip sedikit di sini:
“Every evening Steve made a point of having dinner at the big long table in their kitchen, discussing books and history and a variety of things,” he said. “No one ever pulled out an iPad or computer. The kids did not seem addicted at all to devices.”
Atau selengkapnya bisa baca di sini.

Bagaimana di rumahku sendiri? Aku & suami sampai saat ini bangga tidak punya gadget, kecuali PC di rumah dan Handphone model jadul tanpa internet. Demikian pula dengan anak -anak kami, no gadget. Entah ke depannya bagaimana, tapi sampai saat ini kami bangga dengan hal itu. Jadi ketika kami pergi bersama sekeluarga, jarang sekali kami sibuk dengan gadget masing-masing. Kami bisa bebas ngobrol, bergurau dan berdiskusi bersama. Hp ada hanya untuk berkomunikasi seperlunya. Miris melihat anak2 bahkan batita pun sudah disodori gadget untuk membuat mereka "anteng" dan "tidak mengganggu" orang tua mereka. Waktu yang sangat sebentar bersama anak-anak bukannya dipakai untuk memperkuat ikatan batin dan berdiskusi hal-hal yang penting untuk tumbuh kembangnya kelak, malah dianggapnya anak-anak itu "pengganggu". 
Kira-kira bagaimana ya generasi yang sudah dicekoki gadget ini kelak memperlakukan orang tua mereka yang sudah uzur ? Apakah kira-kira mereka akan terganggu dengan kehadiran orang tuanya yang "mulai merepotkan"? Dan sebagai pengganti kehadiran diri, mereka mengirimkan gadget terbaru untuk orang tua mereka, biar orang tua mereka "anteng"? Mungkin juga plus mengirim "nanny" (yang tentunya juga sibuk main gadget, seperti yang mereka dapatkan selama mereka menjalani masa kanak-kanak)? . Entahlah...
Kami sendiri di rumah tidak totally screen free. Kami selama ini memakai PC untuk bekerja dan belajar. Sebagaimana sifat PC itu sendiri yang tidak bisa dibawa ke mana-mana, hanya bisa digunakan di tempat tertentu dan waktu tertentu, sehingga di waktu selebihnya kami lebih bisa berinteraksi penuh sebagai manusia nyata.

Just my two cents.

Thursday, March 5, 2015

Lama tak Update dan si Batu Bercerita

Sudah lama sekali ternyata aku tidak menulis di sini. Selain kesibukan sehari-hari mengurus rumah dan membantu Liza belajar, juga sesekali mengerjakan ilustrasi untuk anak-anak. Dan yang terbaru adalah Story Stones alias Batu Bercerita.



Awalnya adalah ketika aku mengganti penampilan taman super mungil di depan rumahku. Kami ingin memperluas kolam kura-kura yang sudah ada dikarenakan sudah terlalu kecil untuk kura-kura kami yang tumbuh makin besar. Apalagi dapat limpahan 2 ekor kura-kura yg lebih besar lagi (pemiliknya sudah tidak mau piara mereka lagi ). Dan itu membuat area untuk tanaman yang sudah super sempit menjadi lebih sempit lagi. Maka kuputuskan untuk mengganti area tanam yang sempit itu dengan hamparan batu kerikil (besar dan kecil) warna putih, dan menjadi area untuk kura-kura berjalan-jalan keluar kolam. 
Setelah selesai, melihat beberapa batu yang mulus dan putih itu kok aku jadi merasa melihat kanvas. Maka iseng-iseng kupilih beberapa yang besar lalu kugambari dan kuwarnai. Jadinya cantik juga. Lalu aku dan Donna bermain bergantian bercerita menggunakan batu bergambar itu, seru sekali sampai kami tertawa terbahak-bahak. Dan terpikir, kalau batu-batunya lebih kecilan seukuran 1-2 cm saja, mungkin bisa dimasukkan dalam satu kantong kain kecil, lalu bisa dibawa ke mana saja dan bisa dimasukkan ke dalam tas tangan sebagai alat untuk bermain dan bercerita di mana saja dan kapan saja. Terbayang di ruang-ruang tunggu (entah di bandara, rumah sakit, apotik, bioskop, stasiun, mana saja) anak-anak bisa asik bermain batu-batu ini dengan ibunya, penjaganya atau dengan teman lainnya. Bandingkan dengan pemandangan yg sering kita lihat selama ini: ibunya atau penjaga anaknya asik main gadget, atau melototi tayangan sinetron atau infotainment, dan anak-anaknya pun jadinya tanpa punya pilihan ikut main gadget atau ikut menatap layar TV :(
Maka ketika ada teman dari Klub Oase menawarkan untuk dijual di suatu acara seminar mereka, aku girang sekali. Mungkin ini saatnya aku bisa berkontribusi untuk mengubah pemandangan yang bikin senep (hahaha apa ya padanannya...oh iya, pemandangan yang bikin sebal) di ruang tunggu yang selama ini kulihat, dengan sesuatu yang lebih baik. Maka ngebuuutlah aku waktu itu membuat beberapa kantong untuk dijual di acara itu.

Dan ternyata peminatnya lumayan banyak. Semoga makin banyak pula orang tua yang mulai menyadari bahwa waktu dengan anak-anaknya tidaklah banyak sebelum mereka akhirnya "terbang meninggalkan sarang". Jangan tukar waktu itu dengan hal lain yang, sebetulnya kita semua tahu, tidak penting.
Bagaimana sih bermain dengan batu bercerita itu? Lihat di sini.



Sunday, September 7, 2014

Komuni Pertama Donna

Setelah beberapa tahun lalu Liza mendapatkan komuni pertamanya, tgl 22 Juni 2014 lalu giliran Donna.
Senang dan lega, kami sekeluarga bisa menyambut komuni bersama tiap ke gereja.


Saturday, May 3, 2014

Belajar Lewat coursera.org

Sudah ada 4 online course yang Donna ambil dari coursera.org. 3 course sudah mendapatkan Statement of Accomplishment, yang satu masih dalam proses grading (Dino 101)
Pengalaman pertama aku ceritakan di sini. Di sini dia belajar pertama kali secara online tentang arkeologi. Untuk yang proses awal ini Donna masih aku dampingi untuk mengerjakan assignmentnya, karena dia masih penyesuaian. Untuk selanjutnya benar-benar Donna sendiri yang menangani, dari mulai memilih course yang dia maui, enroll, kapan mulai, kapan deadline untuk quiz ataupun assignment, menjawab quiz dan mengerjakan assignment. Semuanya dilakukannya sendiri. Kalau ada yang tidak tahu dia akan bertanya (kepada kami atau internet, karena pengetahuan kami pun terbatas sangat).
Selanjutnya setelah lulus yang pertama ini, dia menjadi ketagihan. Karena cara belajarnya menyenangkan, bisa diakses kapan saja dan dibawakan secara menyenangkan pula oleh pengajar yang bergelar profesor. Berbeda banget dengan pengalaman kuliahku dulu :( . Dulu para profesor biasanya ditakuti, tidak ramah kepada mahasiswanya, menjelaskan bahan kuliah pun lebih terkesan sulit daripada jelas. Benar-benar berbeda.
Lalu Donna pun enroll sendiri segala macam online course yang dia mau sekaligus!!. Aku peringatkan waktunya tidak akan cukup, bisa-bisa gagal semua. Belum lagi karena dia masih sekolah tentu dia ditimbuni segala macam PR dan Projects yang kadang jumlahnya tidak masuk akal. Belum lagi ujian piano dan kompetisi yang dia ikuti tentu memerlukan waktu berlatih yang lumayan menyita hari-harinya. Dan benarlah demikian. Donna keteteran. Satu persatu online course yang dia ikuti dia batalkan. Tinggal 1 yaitu Dino 101 yang dia suka sekali. Tapi langkah ini sudah terlambat, karena ada beberapa quiz dari Dino 101 ini yang sudah terlanjur dapat score rendah dan tidak bisa diulangi lebih dari 2 kali.
Akhirnya ketika waktunya statement of accomplishment keluar, dia tidak mendapatkannya, karena total scorenya kurang nol koma sekian dari minimal 80%. Dia agak kecewa. Tapi belajar banyak dari kejadian ini. Bahwa waktu dan tenaga kita ada batasnya. Lalu pelan-pelan kutanya, mau mengulang lagi? Dengan mengulang mungkin dia jadi bisa mempunyai pengertian yang lebih baik dan kemungkinan bisa mendapatkan statement of accomplishment. Tapi kalau tak mau ya tak apa-apa juga. Ternyata dia mau. Dia menunggu-nunggu saat mulainya. Lalu perkuliahan yang mustinya berlangsung selama 12 minggu dia selesaikan semua ujiannya hanya dalam waktu hampir 2 minggu saja. Kata Donna, karena aku sudah tahu sebagian besar (walau ada perubahan sedikit katanya). Dino 101 ini baru selesai sebulan lalu proses perkuliahannya, jadi Donna masih menunggu proses gradingnya.
Selama menunggu (karena Dino 101 yang kedua diselesaikan hanya dalam waktu 2 minggu dari seharusnya 12 minggu) Donna ikut Fundamental English Writing course dan mendapatkan statement of accomplishment dan Exploring Beethoven's Piano Sonata course.
 Ini dia statement accomplishmentnya:




Yang mengenai Beethoven Sonata ini Donna mengakui mengalami kesulitan. Bayangkan, dia belum pernah belajar satupun sonatanya Beethoven selama ini. Tapi kuakui luar biasa usahanya, dia berjuang menjawab semua quiznya, melihat video kuliahnya berkali-kali, masih ditambah googling dan Youtube, sampai menit-menit terakhir deadline, walau dia tetap merasa kesulitan. Akhirnya ketika coursenya selesai dia bilang dia tidak yakin mendapatkan statement of accomplishment, karena dia merasa kesulitan sekali.
Kubilang ya tak apa. Mau ngulang lagi atau nanti kapan-kapan ketika merasa perlu?
Dan dia memilih 'tar kapan-kapan kalau aku merasa perlu'.
Dan kami semua merasa surprise ketika akhirnya Statement of Accomplishment atas namanya keluar!
Ketika aku cerita ke guru pianonya, guru pianonya merasa terkejut, kenapa ikut yang Sonatanya Beethoven? Sonata Beethoven itu tak beraturan, entah karena terlalu jenius atau gila, benar-benar sulit untuk dipahami. Mustinya ikut yang Haydn dulu.
Begitu katanya. Rupa-rupanya Donna tidak cerita ataupun bertanya ke guru pianonya.
Ketika kusampaikan pada Donna apa kata guru pianonya, begini jawabnya:
Kalau Haydn sih gampang, karena dia orang kaya yang hidupnya sangat teratur, jadi karyanyapun sangat menurut aturan. Beda jauh dengan Beethoven yang mencipta dengan keadaan tuli sehingga kadang dia musti menggigit senar piano untuk merasakan getarannya.
Demikian katanya. Aku sendiri terus terang kurang tahu hahahaha...lagian di coursera memang adanya 'Exploring Beethoven's Sonata' bukan 'Exploring Haydn's Sonata' sampai saat ini.
Dan sambil menunggu statement of accomplishment dari Dino 101, kami dikirimi email: jikalau peserta Dino 101 ini berusia 6 s/d 16 th apakah bersedia menerima interview untuk riset pengembangan selanjutnya dari University of Alberta Canada (penyelenggara Dino 101 course). Hasil interview akan dirahasiakan, hanya untuk ketua riset yaitu Dr. Catherine Adams dari Department of Secondary Education, Faculty of Education dan asistennya. Nama murid akan disamarkan. Peserta riset adalah yang sudah lulus Dino 101 ini.
Interview melalui Skype sudah dilakukan semalam dengan sangat menyenangkan. Sebagian besar Donna sendiri yang menjawabnya. Periset menyatakan ketakjubannya, bahwa ternyata, Dino 101 (ilmu paleontology/ mengenai dinosaurus) yang didesain dan ditujukan untuk pelajar dewasa (mahasiswa) ternyata banyak diikuti oleh anak-anak , yang sebagian besar adalah Homeschooler. Banyaknya anak-anak yang mengikuti perkuliahan yang diselemggarakan oleh MOOC (Massive Open Online Course) inilah yang mendasari riset ini.
Terus terang online course ini juga bagian dari persiapan Donna untuk menjalankan Homeschool nya kelak, setahun lagi. Semoga dari riset ini bisa dihasilkan kebijakan yang memihak anak-anak, di mana mereka seharusnya berhak mendapatkan proses pendidikan yang terjangkau, menyenangkan dan spesifik sesuai minat dan bakatnya. Aku yakin, tak ada anak yang tak suka belajar jika prosesnya menyenangkan.
Proses pembelajaran yang benar akan membuat sang pembelajar senantiasa 'kehausan' untuk terus meneguk ilmu. Senantiasa membuat sang pembelajar merasa bukan siapa-siapa dan tak tahu apa-apa. Itulah yang dirasakan Donna. Tak akan bisa aku meredamnya (walau terus terang banyak yang mengira itu bagian dari ambisiku...oh nooo :( aku sendiri pontang panting mengikutinya).
Berapa banyak hal yang belum kita pelajari? Tak terhingga...

Monday, March 3, 2014

...as Children's Book Ilustrator

Sudah lama juga rasanya aku tidak meng-update blogku yang ini. Semenjak mulai bekerja sebagai ilustrator profesional untuk buku anak - anak freelance memang waktuku benar-benar tersedot habis. Untungnya aku suka sekali menggambar, jadilah pekerjaan tambahanku ini bisa juga dianggap sebagai "Me Time".

Menggambar adalah hobiku sedari kecil. Hanya saja tidak berlanjut ke manapun karena waktu itu tak seorang pun tahu, apa sih keistimewaan dari kebisaanku menggambar itu. Dan lagi pula keadaan perekonomian kami waktu itu yang sangat mepet membuatku tak punya alat atau bahan menggambar apapun, selain pinsil dan kertas bekas pembungkus sebagai "buku gambarku".
Ada saat di mana aku tidak tahan untuk tidak menggambar, apalagi ketika jaman SMP, jaman 'memberontak' ABG. Aku memilih duduk di kursi paling belakang, dan sibuk menggambari bagian belakang dari buku tulisku, tidak menghiraukan guru di depan kelas. Untunglah semua nilaiku baik jadi tidak ada masalah.
Tapi apa boleh buat, karena tidak tahu pekerjaan apa yang bisa menghidupiku dengan kebisaan menggambar itu, aku mulai serius belajar lagi ketika SMA, sampai melanjutkan kuliah Teknik Sipil. Gambar menggambar pelan-pelan terkubur semakin dalam.
Ketika punya anak Liza, aku perlu menggambar sedikit-sedkit untuk alat bantu belajar secara visual. Ada juga menggambar agak banyakan ketika menghias rumah kardus untuk anak-anak.

Kebetulan ada kardus bekas di kantor suamiku yang cukup tebal dan kokoh.
Gambar kubuat di kertas-kertas bekas sisa dari kantor yang masih putih di sebaliknya. Lalu kutempel di sisi rumah kardus bagian luar. Alat gambarnya pun hanya memakai sisa crayon dan pinsil warna punya Liza, yang tidak lebih dari 12 macam warna.
Gambar di rumah kardus ini kubuat tahun 2004, 10 tahun yang lalu. Rumah kardus ini sudah lama dibuang karena mulai rusak. Maklum anak-anak tetangga yang "sekolah sore" di rumahku suka sekali main di dalam rumah kardus ini, termasuk dipanjat atapnya, keluar masuk lewat pintu maupun jendelanya...dan tak lama pun jebol hahaha.
Untung masih sempat kufoto untuk kenang-kenangan.
















Baru di tahun 2012 yang lalu aku mengenal menggambar secara digital untuk ilustrasi. Mataku seperti dibukakan lebar-lebar: bahwa ada profesi yang terhormat dari kemampuan menggambar ini. Menjadi Ilustrator. Akunya sendiri suka menggambar, dibayar, dan bisa dilakukan tanpa meninggalkan rumah dan anak-anak (walau jumpalitan gak karuan mengatur waktunya, mengatur rumah sekaligus mendidik Liza di rumah tanpa ada asisten satupun, kecuali suamiku yang sangat suportif ini).

Beginilah meja kerjaku sekarang ini:
Aku masih jauh dari sempurna, masih harus terus belajar, sharpen my saw, terutama mengatur waktu dan menyeimbangkan kegiatan agar anak dan suami tidak terlupakan. Masih akrobatik tiap saat nih sekarang ini.

Beberapa waktu lalu ada kenalan yang telpon, basa-basi nanya sekarang kegiatanku apa selain ngurus anak.
Kujawab nyambi jadi ilustrator anak. Dia nanya apa itu ilustrator. Padahal usianya jauh lebih muda dariku, ternyata gatau apa itu ilustrator. Kemane ajee...
Katanya, mending gitu dari pada gak ngapa-ngapain di rumah.
Whaaat??? Gak ngapa-ngapain di rumah?
Padahal dia sering lihat Liza seperti apa
Padahal anak dia cuma satu, 11 tahun, tapi kalau gada pembantu bisa mengeluh panjang lebar
Padahal anaknya bukan special need 
Padahal anaknya bukan Homeschooler
Padahal....
Biarpun sewot tapi waktu itu aku gak jawab, sayang waktunya, mending kembali ke meja kerjaku ^_^

Thursday, November 7, 2013

Ketika itu...

Ketika itu aku tiba-tiba nyaris pingsan. Ternyata kadar Hb di dalam darahku tinggal 6 (normalnya paling tidak 12). Sehingga harus opname di rumah sakit untuk proses transfusi. Itu terjadi tgl 15 September 2013 menjelang tengah malam.
Semuanya terasa kacau. Suami terpaksa cuti mendadak. Urusan rumah keteteran karena memang tak ada yang membantu. Suami & anak-anak mengantar ke IGD, sampai jam 2 dini hari. Mereka lelah dan terkantuk-kantuk. Apalagi Liza yang tidak bisa mengetahui apa yang sedang terjadi. Kuminta mereka pulang saja. Jenguk kalau jam bezoek sore saja. Kasihan kalau bolak balik ke rumah sakit. Toh di RS mereka tidak bisa ngapa-ngapain. Jam 5 subuh baru aku dimasukkan ke kamar perawatan. Jadi sebagian perjanjian/surat di RS yang musti ditandatangani, kutandatangani sendiri dengan tangan berjarum infus/transfusi.
Tapi Tuhan kirim malaikatNya :). Ada seorang teman yang berbaik hati mengirimkan macam-macam lauk, dibungkusin satu persatu. Sehingga suamiku tinggal panasin untuk makan anak-anak.

Dan ternyata penyebabnya adalah adanya miom, cukup besar, 8 cm dan 6 cm, di dalam rahimku. Yang menyebabkan di saat menstruasi jumlah darah yang dikeluarkan lebih banyak dari pada seharusnya, sehingga menyebabkan anemia parah :(
Tak ada gejala lain selain itu. Eh iya sama aku mudah mengantuk & lelah. Tidak ada berkunang-kunang atau pusing-pusing, padahal Hb tinggal 6. Entah karena prosesnya yang pelan sehingga aku jadi terbiasa atau karena kebiasaan hidup sehat yg sudah kujalani selama 4 tahunan (raw juice, yoga).
Akhirnya setelah transfusi 4 kantung darah, Hb-ku bisa mencapai Hb minimal, yaitu 10.

Setelah berkonsultasi beberapa obsgyn (dokter langganan, second opinion ke sepupu & teman yg obsgyn), diputuskan bahwa rahim harus diangkat. Musti buru-buru, sebelum keburu mens lagi, takut Hb turun lagi. Karena untuk sebuah operasi besar macam itu, Hb minimal 10.
Lalu tgl 27 September 2013 pagi operasi pun dilaksanakan (setelah cek jantung, darah, paru semua ok). Dipilih hari jumat, agar suami tidak terlalu banyak cuti, dan senin  siang sudah bisa keluar dari RS.
Sebelum diangkat aku "berterimakasih" kepada rahimku, yang telah menemaniku sejak aku ada sebagai manusia, yang telah membantu menjaga kedua putriku sehingga mereka boleh dilahirkan dengan sehat & baik. Saat ini tugasnya sudah selesai. Aku minta maaf karena harus mengakhirinya dengan seperti ini.
Aku harus ditransfusi lagi pasca operasi karena banyak darah keluar pada waktu operasi. Mungkin juga karena Hbku memang pas-pasan. Aku ditransfusi 2 kantung darah dan 2 kantung plasma darah.
Sehabis operasi, ketika setengah tersadar, aku kesakitan. Sungguh sakit operasi ini.

Untuk persiapan operasi kali ini, kami meminta bantuan ibu mertua untuk membantu menjaga anak-anak di rumah. Lumayan lebih "beres" urusan rumah.
Tapi tetap saja anak-anak kurang terurus. Donna sehari setelah aku keluar dari RS akan ada Term Test dari sekolahnya. Untungnya sih dia bisa belajar sendiri. Cuma saja, suasana rumah tidak dibuat mendukung proses belajarnya. Rumahku kecil. Jadi kalau ada suara hiruk pikuk tentu mengganggu proses itu. Oma yang menjaga di rumah suka nonton TV, sinetron jenisnya, dan tentu suaranya tidak pelan (karena pendengaran beliau memang sudah kurang). Padahal di saat yang sama, Liza juga menyetel lagu-lagunya (ini memang hobi dia, dan lagi karena dia gak ada "kerjaan"). Jadi rumah kecilku hingar bingar.
Dan Liza, batuk parah. Dia memang punya bakat batuk alergi. Waktu itu pengobatan belum selesai, plus dinebulizer, keburu Mamanya opname di RS. Aku keluar RS lanjut lagi tp keputus lagi waktu aku masuk RS lagi. Sedih sekali melihatnya seperti itu. Orang lain tak bisa menanganinya untuk menebulizer dia, karena Liza menolak keras kalau bukan Mamanya.

Kesemuanya itu bisa beres akhirnya. Setelah selesai operasi, di mana aku harus istirahat penuh, aku bisa menebulizer Liza. Dan dengan dibantu healer sahabat kami, akhirnya Liza pun sembuh total batuknya. Hasil Term Test Donna juga termasuk bagus, kecuali untuk bahasa Mandarin. Hahaha gak apalah, wong itu bahasa yang gak pernah terpakai di rumahku ini. Terlalu asing. Hasil ini makin menunjukkan kemandiriannya.
Hari-hari di mana aku masih harus banyak istirahat sepulang dari RS ini aku pun dibantu para malaikatNya (ibu mertua sudah kembali ke Jogja). Temanku yang waktu itu mengirimkan lauk untuk anak-anakku kembali melakukannya, buanyak sekali, cukup sampai aku bisa kembali memasak untuk anak-anak. Dan adik iparku berkenan menjemput Donna dari sekolahnya (kalau berangkat memang diantar suamiku sekalian ngantor).
Bersyukur sungguh dengan bantuan-bantuan itu.
Dan setelah kurenungkan, dalam sebulan sakit kemarin itu, aku juga telah ditolong orang lain yang aku tidak tahu siapa, yang jelas berhati malaikat dengan menyumbangkan darahnya ke PMI. Total 6 kantung darah dan 2 kantung plasma yang kupakai. Padahal dalam setahun maksimal seseorang hanya dapat menyumbangkan 4 kantung darah. Aku "berhutang darah". Untunglah suamiku rajin berdonor.

Banyak hikmah dari kisah sakitku ini. Aku jadi punya banyak waktu untuk lebih "melihat ke dalam". Punya waktu untuk membaca (yang kurindukan sangat), walau karena kondisi yang masih lemah aku suka jatuh tertidur dengan buku masih di tangan.
Bahwa Tuhan sebenarnya selalu ada di sisiku dan menolongku, walau aku sering menyakitiNya dan sering bersikap skeptis padaNya.
Dan bahwa manusia tak bisa hidup tanpa pertolongan sesamanya.

Ketika itu...memang waktuku untuk lebih banyak merenung. Terimakasih atas kesempatan ini ya Tuhan.

Saturday, September 14, 2013

Homeschool? Sosialisasinya Bagaimana?

Kebetulan ada postingan dari teman Homeschooler Adelien Tandian mengenai isu yang paling sering ditanyakan : SOSIALISASI. Dan keluar juga unek-unekku mengenai kebosananku dengan pertanyaan yang itu- itu saja.
Beginilah tanggapanku:
Sosialisasi adalah hal yg paling sering ditanyakan orang, ketika tahu aku memilih home education. Apa dipikirnya kalau anak di sekolah berarti bersosialisasi? Hah yg bener aja!. Kalau di ruang kelas bolehkah anak2 ngobrol bebas? jawabannya: TIDAK. Anak di suruh duduk diam mendengarkan, tidak boleh berisik. Kalau jam istirahat/jam makan bisakah ngobrol leluasa? jawabannya juga:TIDAK. Karena kalau ngobrol tidak sempat menghabiskan makanan dengan sempitnya waktu yg diberikan. Jadi cuma bisa memilih ngobrol atau makan. Pulang sekolah juga musti buru2 pulang karena ditunggu tugas dan peer segudang.Kalau ada peristiwa penting keluarga (misal kematian) pun kadang sulit untuk hadir. Karena apa? Besok ada ujian, besok sekolah, dsb yg berhubungan dgn sekolah.Jadi kenapa masih nanya itu mulu? Mari kita luruskan: sekolah tidak ada hubungannya dengan sosialisasi. Titik. Sekolah dan sosialisasi adalah dua hal yg berbeda.

 Thanks to Adelien for this link : Homeschooling and the S-Word (Socialization).

Friday, August 23, 2013

Statement of Accomplishment for Donna

Inilah hasil kerja keras Donna belajar di Coursera.org, mengambil Archaelogy .

Memang tidak dapat level grade "With Distinction" karena terlewat 3 kali quiz dan 3 assignment. 2 quiz & 2 assignment yang pertama terlewat karena kami baru tahu ketika perkuliahan online sudah berjalan lebih dari 2 minggu. Dan 1 quiz berikut 1 assignment lagi terlewatkan karena konsentrasi Donna terpecah ketika dia mengambil macam-macam perkuliahan online lainnya secara bersamaan, sehingga lupa kapan dead linenya. Euforia merasakan kebebasan pembelajaran dengan model yang berbeda membuatnya jadi ingin mengisi seluruh hari-harinya dengan model pembelajaran seperti itu.

Begitulah. Akhirnya Donna juga dapat pembelajaran : jangan serakah, karena waktu yang kita punyai juga terbatas. Apalagi karena dia masih sekolah, tentu masih harus mengerjakan PR dan project dari sekolah.
Dan dia pun mulai mengatur agar tidak ada lebih dari satu macam dalam satu waktu pengambilan.
Sebagai ibunya aku sangat bangga dan senang atas pencapaian ini. Aku makin mantap dengan pilihan kami untuk meng-home educate Donna nanti selepas SD, sesuai dengan keinginannya juga. Sekarang dia kelas 5 SD.

Kenapa aku baru akan meng-home educate Donna nanti selepas SD? Karena home education Liza yang lebih mirip terapilah masalahnya. Harus one on one, tidak bisa sambil mengerjakan hal lainnya (misal sambil mengajari atau memeriksa kerjaan Donna). Jadi mau tak mau aku lebih mengharap Donna mandiri. Dan di usianya yang ke-9 tahun inilah sangat terlihat kemandiriannya dalam belajar.
Tentu sebagai seorang anak, Donna tetaplah memerlukan bimbingan penuh dari orang tuanya.

Wednesday, June 19, 2013

Belajar Lagi secara Online dan Gratis di Coursera

Sudah sejak awal bulan Juni 2013 aku mengikuti kuliah gratis di Coursera.
Sudah beberapa lama sebetulnya aku tahu teman-temanku banyak yang mengikuti kuliah di Coursera ini, dengan macam-macam pilihan bidang studi. Berhubung kesibukan ini dan itu, dan (sepertinya ini yang paling berperan) kebetulan belum ada bidang yang bisa menggeser prioritas yang lain, aku tidak berusaha mati hidup (lebay ini sih) untuk mengambil salah satu dari jurusan-jurusan itu.
Baru ketika temanku Mieke Nurmalasari  memberi link ini , terbelalak mataku. Kenapakah? Karena ini tentang :

Introduction to Art: Concepts & Techniques 
by Anna Divinsky

Kubuka link dan mencoba jalan-jalan, dan wooow tambah kepincut!. Walau kuliah sudah berjalan hampir satu minggu sebelumnya, dengan semangat luar biasa kuusahakan mengejarnya. Ngelembur nonton videonya, sambil terkantuk-kantuk karena nontonnya bisanya tengah malam dengan tenaga yang nyaris tak bersisa. Tapi tetap semangaat! Dan sekarang sudah memasuki perkuliahan minggu keempat dari total jatah tujuh minggu.

Baru kali ini, aku, yang kini menyatakan diri sebagai seniman, belajar seni secara "sekolahan". Dari belajar tekniknya hingga sejarahnya. Perkuliahan selain diisi tugas menonton video, mambaca literatur yang diberikan, quiz juga ada tugas/assignment. 

Sebetulnya selain memang keinginan diri untuk tak henti belajar, aku juga ingin memberikan "pemandangan" untuk Donna, bahwa ada cara kuliah seru seperti ini, dan bahwa sampai setua ini pun Mamanya masih belajar dan belajar terus.
Belajar adalah proses yang kita alami selama hayat dikandung badan.

Sunday, June 2, 2013

Terlalu Capek

Yah itulah yang terjadi ketika bulan lalu Donna mengikuti in house concert di tempat sekolah pianonya, di panggung dia tiba-tiba lupa semua not lagu yang sudah lancar dan hafal dimainkannya. Dia kembali ke bangku dan menangis sejadi-jadinya.
Sudah sejak bulan April dia sibuk sekali. Mempersiapkan macam-macam kegiatan yang ingin diikutinya. Dari lomba story telling, di mana dia dapat juara 2, lalu menjadi Master of Ceremony bersama teman-temannya di @america, lalu in house concert, persiapan kompetisi piano bulan Juli, persiapan Year End Performance sekolah...Semua itu memerlukan persiapan dan latihan tersendiri dan makan waktu.
Bahkan dia sempat jatuh sakit sebelum konser tsb, panas tinggi, sampai tak bisa masuk sekolah 3 hari.

Tapi semua itu jadi ada hikmahnya. Donna bersedia mengurangi dan memilih kegiatan mana yang benar-benar tak bisa ditinggalkan. Karena, sebelumnya, kalau kutegor untuk mengurangi, yang ada adalah kemarahannya. Dia sangka aku tak menginginkan dia senang. 
Yah, blessings in disguise...


Ini waktu jadi juara 2 Story Telling Competition dengan membawakan cerita "Sangkuriang".
Ilustrasi untuk cerita "Sangkuriang" bisa dilihat di sini.






Saturday, January 5, 2013

Frankenstein


Awal tahun ini Donna membaca cerita berjudul "Frankenstein" dari serial Classics Starts. Dia ketakutan setelah selesai membacanya, dipenuhi bayangannya sendiri tentang si monster.
Penasaran, aku ikutan baca. Yang ada di bayanganku awalnya hanya ini : makhluk hasil reka cipta ilmuwan bernama Victor Frankenstein, yg kejam dan mengerikan. Itu yang kudapat dari filem-filem jaman aku anak-anak, khas budaya pop hollywood yang enteng.
Setelah selesai membacanya aku ajak Donna berdiskusi. Yang ada di kepalaku sekarang adalah makhluk rekaan yang bukan atas kemauannya diciptakan dengan keadaan fisik yang sangat mengerikan, sehingga semua orang takut dan menghindarinya, betapapun sang monster telah berusaha berbuat baik. Sang monster menjadi sangat kesepian. Aku menjadi iba padanya karena keadaan yang menimpanya. Bahwa kemudian sang monster berbuat kejam, itu karena memang keadaan yang memaksanya, hanya itu yang dia tahu dan bisa perbuat untuk mencoba mengubah nasibnya.
Kata Donna : Aku tahu, tp aku tetap takut, membayangkan monster yang tersusun dari potongan-potongan mayat.
Yah ketakutan yang wajar.
Setelah membacanya aku jadi merenung, berapa banyak kita juga telah "menghindari" seseorang karena tampangnya yang "kurang layak" menurut ukuran kita, walaupun hatinya baik.
Padahal di sisi lain banyak juga yang berwajah malaikat tapi malah berhati kejam.
Kita masih suka terpesona oleh "bungkus luar" saja.
Yah tapi kalau di kehidupan nyata aku tiba-tiba bertemu monster ciptaan Frankenstein ini aku juga akan lari ketakutan :D :D

Wednesday, December 5, 2012

What About Socialization?

Temanku Wiwiet memuat ulang tulisan ini. Dan aku masih suka membacanya lagi dan lagi.


What about socialization?
http://www.geocities.com/mhfurgason/hug/socialization.html

Author Unknown

Two women meet at a playground, where their children are swinging and
playing ball. The women are sitting on a bench watching. Eventually,
they begin to talk.

W1: Hi. My name is Maggie. My kids are the three in red shirts
–helps me keep track of them.

W2: (Smiles) I’m Patty. Mine are in the pink and yellow shirts. Do
you come here a lot?

W1: Usually two or three times a week, after we go to the library.

W2: Wow! Where do you find the time?

W1: We homeschool, so we do it during the day most of the time.

W2: Some of my neighbors homeschool, but I send my kids to public school.

W1: How do you do it?

W2: It’s not easy. I go to all the PTO meetings and work with the
kids every day after school and stay real involved.

W1: But what about socialization? Aren’t you worried about them
being cooped up all day with kids their own ages, never getting the
opportunity for natural relationships?

W2: Well, yes. But I work hard to balance that. They have some
friends who’re homeschooled, and we visit their grandparents almost
every month.

W1: Sounds like you’re a very dedicated mom. But don’t you worry
about all the opportunities they’re missing out on? I mean they’re so
isolated from real life — how will they know what the world is like
–what people do to make a living — how to get along with all
different kinds of people?

W2: Oh, we discussed that at PTO, and we started a fund to bring
real people into the classrooms. Last month, we had a policeman and a
doctor come in to talk to every class. And next month, we’re having a
woman from Japan and a man from Kenya come to speak.

W1: Oh, we met a man from Japan in the grocery store the other
week, and he got to talking about his childhood in Tokyo. My kids were
absolutely fascinated. We invited him to dinner and got to meet his
wife and their three children.

W2: That’s nice. Hmm. Maybe we should plan some Japanese food for
the lunchroom on Multicultural Day.

W1: Maybe your Japanese guest could eat with the children.

W2: Oh, no. She’s on a very tight schedule. She has two other
schools to visit that day. It’s a systemwide thing we’re doing.

W1: Oh, I’m sorry. Well, maybe you’ll meet someone interesting in
the grocery store sometime and you’ll end up having them over for
dinner.

W2: I don’t think so. I never talk to people in the store
–certainly not people who might not even speak my language. What if
that Japanese man hadn’t spoken English?

W1: To tell you the truth, I never had time to think about it.
Before I even saw him, my six-year-old had asked him what he was going
to do with all the oranges he was buying.

W2: Your child talks to strangers?

W1: I was right there with him. He knows that as long as he’s with
me, he can talk to anyone he wishes.

W2: But you’re developing dangerous habits in him. My children
never talk to strangers.

W1: Not even when they’re with you?

W2: They’re never with me, except at home after school. So you see
why it’s so important for them to understand that talking to strangers
is a big no-no.

W1: Yes, I do. But if they were with you, they could get to meet
interesting people and still be safe. They’d get a taste of the real
world, in real settings. They’d also get a real feel for how to tell
when a situation is dangerous or suspicious.

W2: They’ll get that in the third and fifth grades in their health courses.

W1: Well, I can tell you’re a very caring mom. Let me give you my
number–if you ever want to talk, give me call. It was good to meet
you.

Friday, November 30, 2012

Renungan Ketika Berkunjung ke Semarang

Jumat 23 November 2012 Nenekku dari Papa dipanggil menghadapNya, di usia ke 92 tahun.
Aku hanya dapat menghadiri pemakaman beliau hari minggunya, tgl 25 November.
Naik pesawat terpagi dari Jakarta, langsung menuju ke Rumah Duka dijemput sepupuku. Acara berlangsung dari pagi s/d siang hari. Setelah acara pemakaman, aku masih punya waktu beberapa jam lagi sebelum kembali ke Jakarta lagi. Aku ingin menengok ke rumah nenek di Gang Baru, yang sudah lama tak kukunjungi (karena aku jarang bertemu nenekku, dan seringnya bertemu di rumah tanteku atau di satu acara keluarga).

Kembali ke sana terasa seperti kembali menyusuri ingatan masa kecil. Rumah-rumah itu, para tetangga yang sebagian besar masih sama, hanya menua . Tapi ada banyak hal yang mengganjal hatiku.
Rumah nenekku, yang berloteng kayu, sebagian kayunya rusak :(. Atapnya bocor, mungkin itu yang menyebabkan beberapa bagian kayunya rusak. Menurut cerita Alm Mamaku, loteng itu dibangun oleh kakek sendiri dibantu Papaku yang masih kecil waktu itu.
Memandang tangga kayunya yang beberapa bagian aus dimakan usia dan rusak, terasa sedih hatiku. Tangga ini dan loteng kayunya adalah tempat main kami para cucu waktu kecil. Sewaktu liburan sekolah biasanya kami sekeluarga bermobil dari Purwokerto ke Semarang, mengunjungi kakek & nenek. Namanya anak-anak, kalau sudah lari-larian kami suka jadi kurang hati-hati. Aku pernah jatuh di tangga kayu itu, 2 atau 3 kali :D. Demikian juga adik-adikku.
Dari dulu rumah itu, yang merangkap sebagai warung kelontong di bagian depan, memang penuh dengan barang dagangan. Aku kecil suka memandangi macam-macam barang yang dijual di situ, mengamatinya satu persatu. Kadang menerka-nerka apa guna dari barang tersebut. Ada batu apung dan kentang di peti kayu. Ada rak berisi bermacam-macam tepung yang sudah berplastik. Ada rak yang berisi bahan makanan kering dan kalengan. Ada rak berisi botol-botol bumbu dan sirup. Rak-rak itu menjulang dari lantai ke langit-langit, mengelilingi dinding waserba yang kecil. Banyak sekali macamnya. Kagum aku mereka (nenek dan para tante yang membantu) bisa ingat semuanya, ya jenisnya, ya harganya, ya tempatnya berada.
Rumah nenekku ini memang berlokasi di dalam pasar, Pasar Gang Baru. Pasar buka sejak sebelum subuh sampai siang hari. Ketika menginap di sana dulu, sekitar jam 3.30 pagi sudah mulai suara gaduh layaknya sebuah pasar yang menggeliat bangun. Apalagi di depan rumah nenek ada yang jual kelapa yang diparut. Sepagi itu dia sudah mulai menyalakan mesin parutnya. Pagi-pagi itu biasanya aku terbangun, oleh suara berisik, lalu mengintip kesibukan orang-orang yang sedang mempersiapkan dagangannya. Tak berani mengganggu, karena nenek dan para tante yang membantu sungguh sibuk, hilir mudik di tempat yang kecil itu. Jadi aku beraninya mengamati barang-barang dagangan itu ketika warung sudah tutup.
Kemarin itu perasaan barang-barang dagangan yang ada sudah makin banyak dan mengokupasi tempat-tempat yang tersisa. Jadi makin sempit dan kotor :(

Duduk di balai-balai kayu di depan warung sorenya bersama Papaku, seorang tante dan sepupu, aku mengamati para tetangga. Banyak rumah yang dulunya berarsitektur pecinan kuno sudah berubah. Berganti jadi bangunan tembok modern :(
Jalanan sempit di depan warung masih sama, aspal yang sudah terkelupas sana-sini. Selokan bau masih tetap bau.
Berandai-andailah aku. Andai pemerintah kota Semarang berkenan mempertahankan arsitektur rumah-rumah lama di situ. Andaikan jalannya di paving rapi dan selokannya dibuat tertutup sehingga tidak menyebarkan bau. Tempat itu bisa jadi tempat wisata yang lebih menarik, bahkan dibandingkan dengan kompleks Pasar Baru di Jakarta.
Di seberang warung nenek, terpaut beberapa rumah, masih berproduksi pia Tan Tie Kang, yang entah sudah berapa puluh tahun ada di situ. Dengan pia model kunonya yang kukangeni.
Sore dan malam hari para penjaja makanan banyak yang lewat. Semuanya enak-enak. Sayang kemarin itu aku tidak bisa bermalam di sana, karena harus buru-buru mengejar pesawat kembali ke Jakarta (senin suami ngantor dan Donna masuk sekolah).
Sebetulnya hari minggu itu ada acara Semawis. Sayang aku tidak sempat mengunjunginya karena waktu bukanya jam 6 sore, sedangkan aku musti sudah berada di airport jam 17.30an. Semoga lain waktu aku bisa mengunjunginya.

Kekayaan budaya suku tionghoa yang sudah menyatu jadi kebudayaan Semarangan ini kalau serius diperhatikan dan didukung pemerintah, bisa menarik wisatawan jauh lebih banyak daripada yang disuguhkan Singapore ataupun Malaysia. Tinggal menunggu, kapan hal itu bisa terjadi, sebelum bangunan kuno di situ melapuk dan berganti jadi bangunan modern.