Pages

Sunday, July 31, 2011

Pengalaman Pertama Berkemah Sekeluarga di Pasir Mukti

Mungkin bisa dibilang lebay :P, tapi terus terang pengalaman kami sekeluarga berkemah sangat mengesankan, sehingga membuat ketagihan.
Tgl 23-24 Juli 2011 yang lalu kami sekeluarga ikutan Klub Oase berkemah di Pasir Mukti.
Yang sangat mengesankan adalah bagaimana Liza bisa ikutan menikmati acara perkemahan ini (tadinya kami kuatir sekali, bagaimana dia b.a.b kalau closetnya jongkok semua, bagaimana dia bisa tidur di tenda, dll). Dari awal kami sudah menyiapkan diri kami, bahwa ini nginep di perkemahan, bukan hotel. Jadi harus berusaha menikmati setiap momen, seperti apapun keadaannya (makanannya, kondisinya dll). Saya juga berusaha mempersiapkan Liza dengan membuat keterangan tertulis (pendek saja) tentang apa yang akan dia dapatkan disana : bahwa kita akan tidur di tenda, pakai sleeping bag (untungnya gak perlu pakai sleeping bag ,karena tidak terlalu dingin hawanya).
Surprise: semua menikmati, tidak mengeluh!
Donna menyayangkan kenapa cuman semalam :D
Liza tidak marah walau kalau mau ke toilet harus jalan yang agak jauh, malamnya gelap jalan mengikuti cahaya senter (mata Liza minus 8, dengan kacamata minus 5), licin berlumpur lagi (karena malamnya hujan lebat sekali).
Hehehe belum pernah bangun tenda, yang mana dulu yaa? Ternyata tidak sulit kok :)
Naah beres dah tendanya. Hari panas terik, tapi lumayan ada semilir angin dari pepohonan.
Pemandangan cantik dari dalam tenda.
Siang panas terik, Donna bersama teman-teman mengikuti program bersama pihak Pasir Mukti.
Malamnya hujan lebat + sesekali guntur menggelegar. Benar-benar pengalaman yang komplit dan mengasikkan.
Malamnya ada api unggun (untungnya bisa dinyalakan setelah terkena hujan lebat). Bahkan Liza pun ikut menikmati api unggun dari balik jendela tenda.



Baru pertama berkemah tapi sungguh mengesankan bagi kami, dan Tuhan bermurah hati memberikan "edisi komplit" (ada panas terik, ada hujan lebat :)). Terimakasih Tuhan. Juga kepada panitia yang bekerja keras di balik semua yang kami nikmati ini. Kiranya hanya Tuhan yang dapat membalasnya.

Thursday, July 28, 2011

My Little Assistant

Senangnya kalau Donna sedang liburan, tangan-tangan kecilnya sangat menolong diriku, yang terus terang sering pontang-panting dalam mengurus semua pekerjaan rumah + mengajar Liza.
Sering ketika melihat pakaian yang dijemur di atas belum sempat kuambil, diam-diam dia mengambil bangku dan dibawa ke atas (padahal tangga kami sangat curam, 70 derajat). Bangku itu membantunya dalam meraih pakaian yang digantung.
Pelan-pelan dengan langkah kecilnya dia bawa bangku itu ke atas.
Begini ini gayanya ketika mengambil jemuran di loteng.
Terus pelan-pelan turun dengan keranjang berisi pakaian kering. Setelah itu balik lagi ke atas untuk membawa bangkunya turun. Saya wanti-wanti agar berhati-hati (3 bulan lalu dia terpelanting dari ayunan & mengalami gegar otak ringan gara-gara gak pegangan), dan agar tidak mengisi keranjang pakaian terlalu penuh karena akan menjadi terlalu berat.
Terharu..., terimakasih nak.

Sunday, July 24, 2011

Digital Scrapbook

Sudah beberapa lama teman-teman Homeschooler (ibu-ibunya) sharing digital scrapbook mereka. Awalnya aku tidak terlalu berminat (susah kayaknya, males belajarnya kayaknya ribet). Tapi setelah baca tulisan Mbak Lala di Rumah Inspirasi mengenai tutorial membuat kolase foto (bisa dilihat di sini), mulailah aku tertular "virus" digital scrapbook ^_^
Ini salah satu hasilnya (meggunakan ACDSee Photo Manager 12 untuk mengedit foto dan photovisi.com sebagai digital scrapbooknya):














Ini bikinnya sambil aku belajar, juga langsung praktek bersama Donna.

Ada juga tutorial dari Mbak Dinar di sini.Yang ini menggunakan photoscape.org sebagai editor fotonya dan shabbyprincess.com sebagai digital scrapbooknya.












Aku pribadi lebih cenderung pilih mengedit dengan ACDSee Photo Manager 12 (maksudnya sudah lebih terbiasa hehehe) dan photovisi.com.

Wednesday, July 20, 2011

Fun Learning

Beginilah kira-kira proses pembelajaran untuk Liza.

Tuesday, July 19, 2011

"Melihat" SD di Jepang

Dari tulisan di Kompasiana yg saya baca dari postingan teman di FB, saya jadi bisa ikutan "melihat" kayak apa sih SD di Jepang itu.
Berikut ini adalah copas yang saya ambil:

Moral di SD Jepang

Anak saya bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) kota Tokyo, Jepang. Pekan lalu, saya diundang untuk menghadiri acara “open school” di sekolah tersebut. Kalau di Indonesia, sekolah ini mungkin seperti SD Negeri yang banyak tersebar di pelosok nusantara. Biaya sekolahnya gratis dan lokasinya di sekitar perumahan.

Pada kesempatan itu, orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Kami diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.

Melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa ada kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang terjadi “by default”, namun pastilah “by design”. Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan terus menerus di masyarakat.

Dan saat saya melihat bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses pembelajaran itu terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih menitikberatkan pada pentingnya “Moral”. Moral menjadi fondasi yang ditanamkan “secara sengaja” pada anak-anak di Jepang. Ada satu mata pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral. Namun nilai moral diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.

Sejak masa lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang.

Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.


Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.

Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.

Empat kali dalam seminggu, anak saya kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia harus membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain.

Kebersahajaan juga diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Nilai moral jauh lebih penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak pernah menunjukkan atau bicara tentang materi. Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah di Jepang.

Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah membersihkan WC, maka otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah tertanam dan terpateri di anak.

Dengan kata lain, orang tua tidak “membongkar” apa yang diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka justru mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian sang anak.

Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan menyajikan minuman.

Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain. Saya yakin, apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya melayani masyarakat, bukan malah minta dilayani.

Saya sendiri bukan seorang ahli pendidikan ataupun seorang pendidik. Namun sebagai orang tua yang kemarin kebetulan melihat sistem pendidikan dasar di SD Negeri Jepang, saya tercenung. Mata pelajaran yang menurut saya “berat” dan kerap di-“paksa” harus hafal di SD kita, tidak terlihat di sini. Satu-satunya hafalan yang saya pikir cukup berat hanyalah huruf Kanji. Sementara, selebihnya adalah penanaman nilai.

Besarnya kekuatan industri Jepang, majunya perekonomian, teknologi canggih, hanyalah ujung yang terlihat dari negeri Jepang. Di balik itu semua ada sebuah perjuangan panjang dalam membentuk budaya dan karakter. Ibarat pohon besar yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya tetap dari satu petak akar. Dan akar itu, saya pikir adalah pendidikan dasar.

Sistem pendidikan Jepang seperti di atas tadi, berlaku seragam di seluruh sekolah. Apa yang ditanamkan, apa yang diajarkan, merata di semua sekolah hingga pelosok negeri. Mungkin di negeri kita banyak juga sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada sekolah mahal yang bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan sebagai sistem nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalagi kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka satu nilai moral sudah berkurang di sana.

Di Jepang, masalah pendidikan ditangani oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, dan Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut dengan Monkasho. Pemerintah Jepang mensentralisir pendidikan dan mengatur proses didik anak-anak di Jepang. MEXT menyadari bahwa pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam proses pendidikan, anak diajarkan budaya dan nilai-nilai moral.

Mudah-mudahan dikeluarkannya kata “Budaya” dari Departemen “Pendidikan dan Kebudayaan” sehingga “hanya” menjadi Departemen “Pendidikan Nasional” di negeri kita, bukan berarti bahwa pendidikan kita mulai melupakan “Budaya”, yang di dalamnya mencakup moral dan budi pekerti.

Hakikat pendidikan dasar adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi pekerti, bukan sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu teknologi. Apabila halnya demikian, kita tak perlu heran kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun miskin moral dan budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk menginternalisasi nilai-nilai moral saat SD dulu. Mungkin waktu kita saat itu tersita untuk menghafal ilmu-ilmu “penting” lainnya.

Demikian sekedar catatan saya dari menghadiri pertemuan orang tua di SD Jepang.

Salam.
Junanto Herdiawan
Ekonom dan penggiat ilmu filsafat. Hobi jalan-jalan dan makan-makan. Saat ini tinggal dan bekerja di Tokyo. Bertugas mencermati dinamika ekonomi Jepang, Cina, Korea, Taiwan, dan Hong Kong.

Friday, July 15, 2011

"Aku Mau Bikin Sekolah Untuk Anak-Anak Autistic dan Down's Syndrome"

Awal Juli lalu kami sekeluarga ke Bandung, konsultasi rutin dengan psikolog kami.
Pulangnya tumben-tumbenan Donna (7 th) total main sama Liza (14 th) kakaknya, biasanya cuma sesekali.
"Aku mau bikin sekolah untuk anak-anak autistic dan Down's Syndrome, dan cicik akan menjadi asistenku", kata Donna. Dan sibuklah dia menjelaskan apa saja yang ada di sekolah versinya : ada ruang bermain, ada ruang komputer, ada ruang musik, ada ruang makan ("Mama yang masak makanannya, karena masakanmu sehat, jangan yang sulit disuap karena nanti mereka gak bisa makan sendiri"). Semuanya kuiyakan (Amiin, dalam hatiku).
Dan beberapa hari kemudian Donna bilang "Since today, I'll spend more time with cicik".
Terharu...
My Little Assistant sedang "mengajar"

Thursday, July 14, 2011

Kenyataan yang Mengerikan

Ini adalah copas tulisan dari seorang bapak di Kompasiana.com yang saya copas :

Membunuh Kecerdasan Anak, Itukah Tujuan Pendidikan di Indonesia?
HL | 11 July 2011 | 16:22 2184 71



Kurikulum pendidikan Indonesia tampaknya ingin membuat jutaan anak Indonesia menjadi hard disk berjalan. Dengan cara membunuh potensi kecerdasan, kreatifitas, daya imajinasi serta sifat kritis anak. Kurikulum pendidikan Indonesia tampaknya hanya ingin memproduksi anak-anak yang hanya bisa mengulang dengan tepat apa yang dikatakan oleh orang dewasa.
****

Berapa banyakkah orang tua di Indonesia yang menyadari apa yang diberikan oleh sistem pendidikan negeri ini kepada anak-anak mereka.

Tadi anak saya memulai hari pertama sekolahnya di tingkat Sekolah Dasar. Di salah satu sekolah yang kami pilih setelah melalui berbagai seleksi yang kami lakukan terhadap banyak sekolah lain.

Hari sabtu yang lalu, pihak sekolah membagikan buku-buku teks yang akan menjadi beban pelajaran bagi anak saya semester ini.

Salah satu dari buku yang diberikan kepada anak saya itu adalah Buku IPS untuk Kelas I SD yang diterbitkan oleh penerbit Yudhistira. Dengan Tim Penyusun Dra. Indrastuti, Dr. Sutisnan Rochadi dan Dwi Suyanti,S.Pd. Yang ditulis dengan standar ISI 2006.

Buku ini alih-alih menginspirasi anak dan mengembangkan rasa ingin tahu anak, malah mematikan kreatifitas anak dengan doktrin yang membatasi imajinasi anak sebatas apa yang sudah digariskan secara tidak cerdas oleh para penyusun yang berpredikat sarjana ini.

Contoh pembatasan dengan doktrin tidak cerdas ini bisa kita lembar evaluasi di halaman 22 dalam buku itu.

Di lembar evaluasi , para penyusun meminta anak memilih jawaban paling tepat terhadap pertanyaan seperti ini;

Pengalaman berbelanja biasa dilakukan bersama…..

a. adik
b. kakek
c. ibu

Melihat pasar malam merupakan pengalaman yang….

a. menyenangkan
b. menyedihkan
c. menakutkan

Saya benar-benar tidak paham apa yang ada dalam pikiran para penyusun buku bergelar sarjana ini saat membuat pertanyaan evaluasi semacam itu kepada anak SD kelas I yang imajinasinya masih sangat luas. Saya sulit menemukan point apa yang diharapkan oleh para sarjana ini dari anak-anak yang masih polos dengan menjawab pertanyaan seperti yang mereka susun.

Pada pertanyaan pertama, jawaban yang mereka inginkan jelas IBU. Tapi apakah semua anak mutlak harus memiliki pengalaman seperti itu?. Jelas tidak!

Contohnya anak saya yang menjadi target dari evaluasi yang mereka buat ini, bukannya menjawab tapi malah emosi sebab tidak satupun dari pilihan itu yang cocok dengan pengalamannya, karena dia biasa berbelanja dengan saya. Sementara adik sepupunya yang tinggal dengan mertua saya biasa berbelanja dengan kakeknya.

Sebagai orang dewasa, kita dengan mudah bisa melihat adanya bias gender dalam pertanyaan evaluasi ini.

Tapi karena anak kelas I SD jelas tidak punya sikap kritis seperti itu. Jelas kalau kita sebagai orang tua tidak mendampingi mereka akan menelan mentah-mentah doktrin ini. Dan karena di sekolah anak-anak itu dipacu untuk menjadi juara, anak-anak itu akan tanpa saringan menjawab B untuk mendapatkan nilai yang baik demi prestasi sekolahnya. Dan sikap bias gender yang ditanamkan oleh para sarjana pendidikan penyusun buku ini pun mulai masuk ke dalam kesadaran anak-anak yang masih lugu.

Apakah ini point yang diharapkan oleh para sarjana pendidikan penyusun buku?

Berbeda misalnya kalau pertanyaan itu diawali dengan sebuah cerita tentang anak yang katakanlah bernama Wati yang biasa berbelanja dengan ibunya. Lalu dalam pertanyaan evaluasinya ditanyakan berdasar pengalamannya, dengan siapakah Wati biasa berbelanja?. Ini jelas lebih masuk akal.

Lalu di pertanyaan kedua, ini benar-benar pertanyaan gila. Bagaimana mungkin ada orang dewasa yang bisa menentukan bahwa pengalaman seorang anak melihat pasar malam harus menyenangkan, menyedihkan atau menakutkan. Sebab seorang anak bisa saja mengalami perasaan apapun saat melihat pasar malam. Bisa menyenangkan kalau saat melihat pasar malam itu perasaan anak sedang senang dan bahagia. Bisa menyedihkan kalau sedang melihat pasar malam itu dia melihat peminta-minta dan orang cacat. Bisa menyebalkan kalau di pasar malam itu orang tuanya ribut dan berantem. Bisa juga menakutkan kalau di pasar malam itu dia bertemu badut, atau dirampok atau mengalami pengalaman horor lain. Jadi bagaimana orang-orang dewasa ini bisa menentukan apa yang dirasakan oleh anak saat melihat pasar malam?

Sebagai orang tua, saya juga melihat para penyusun buku ini masih sangat dipengaruhi oleh teori psikologi usang yang menganggap anak sebagai kertas kosong yang bisa ditulisi apa saja sekehendak orang dewasa. Dan menafikan kalau anak di usia 6 tahun juga sudah memiliki kapasitas mental untuk memiliki pendapat dan menganalisa benar salahnya sebuah tindakan.

Pandangan seperti ini tercermin di lembar evaluasi yang sama pada halaman 23.

Di sana ada pertanyaan yang berbunyi :

ayah dan ibu tidak ada di rumah
ninis ditemani bibi
ninis harus…

a. seenaknya sendiri
b. menonton televisi dan tidak belajar
c. mematuhi nasehat bibi

Melalui pertanyaan seperti ini jelas para penyusun buku ini sedang memaksa anak untuk menempatkan diri pada posisi inferior yang tidak memiliki hak suara apapun di hadapan orang dewasa. Seperti para budak yang harus patuh pada apapun kata tuan pemiliknya.

Sehingga seolah-olah. Oleh para sarjana penyusunnya. Buku ini didesain untuk membuat anak untuk menjadi robot yang tidak memiliki kepercayaan diri. Didesain untuk membuat anak menjadi seorang yes man yang patuh sempurna pada atasan dan mempercayai bahwa seorang atasan tak pernah salah.

Ini baru pelajaran IPS yang sesuai standar ISI 2006. Masih ada racun-racun standar pembunuh kreatifitas dan kepercayaan diri anak yang lebih parah yang akan kita temui kalau kita membaca buku pelajaran budi pekerti.

Setelah membaca buku-buku pelajaran ini saya jadi bertanya-tanya sendiri, membunuh Kecerdasan, kreatifitas Anak, Inikah tujuan pendidikan di Indonesia?

Lebih dari 400 tahun lalu di kota firenze Italia, seniman sekaligus ilmuwan besar Leonardo da Vinci mengatakan An argument based on authority, is not the intelligence but the memory.

Sekarang empat abad kemudian inilah yang dipraktekkan oleh sistem pendudukan di Indonesia, mengajarkan anak berargumen berdasarkan atas otoritas yang dimiliki.

Mengacu pada apa yang dikatakan Da Vinci, kita menyaksikan. Sistem pendidikan di Indonesia, mendidik anak untuk memperkuat daya ingatnya, bukan intelegensi alias kecerdasannya.

Kurikulum pendidikan Indonesia tampaknya ingin membuat jutaan anak Indonesia menjadi hard disk berjalan. Dengan cara membunuh potensi kecerdasan, kreatifitas, daya imajinasi serta sifat kritis anak. Kurikulum pendidikan Indonesia tampaknya hanya ingin memproduksi anak-anak yang hanya bisa mengulang dengan tepat apa yang dikatakan oleh orang dewasa.

Sebagai orang tua kita tidak punya banyak pilihan. Memilih sekolah bagus yang menghargai potensi dan kreatifitas anak, biayanya tidak kurang dari 5 juta sebulan. Memasukkan anak ke sekolah berkurikulum Indonesia, anak kita bukan dididik menjadi manusia, tapi menjadi hard disk yang tidak bisa diandalkan untuk mengolah data.

Jadi sebagai orang tua dengan penghasilan pas-pasan yang tidak mampu menyekolahkan anak di sekolah dengan biaya 5 juta per bulan. Kita punya sedikit sekali pilihan, mendidik anak dengan cara home schooling yang membuat anak-anak terisolasi dari dunia sekolah seperti anak-anak seusianya. Atau membiarkan anak sekolah dengan kurikulum Indonesia tapi dia mendapatkan kegembiraan bermain dengan resiko sekolah menjadikannya hard disk berjalan.

Saya memilih yang kedua dengan sedikit modifikasi. yaitu menjadikan anak sebagai pemberontak, melawan sistem sejak usia muda.

Wassalam

Win Wan Nur
Orang Tua yang tersiksa dengan kurikulum pendidikan Indonesia


Komentar saya tentang sosialisasi anak homeschooler: tergantung orangtuanya karena sosialisasi bisa di mana saja, tak terbatas di sebuah ruang bernama 'kelas'. Senyata-nyatanya, berapa persen dari teman-teman sekolah kita dulu yang beneran menjadi karib kita?

Tulisan Rhenald Kasali tentang Beban Pelajaran di Sekolah Indonesia

Aku setuju kalau Pak Rhenald Kasali menjadi Mendiknas (semoga tetap seidealis ini ya Pak). Berikut adalah tulisan beliau yang saya copas:

Benarkah Semakin Berat, Semakin Hebat?
oleh Rhenald Kasali pada 14 Juli 2011 jam 6:26

Sebagian besar pembaca, mungkin dibesarkan dalam kultur ekonomi yang sulit sehingga kaya dengan berbagai peribahasa seperti: Hemat Pangkal Kaya dan Rajin Pangkal Pandai. Kita bermain layang-layang di antara pematang sawah yang tiada batasnya, menangkap belut di antara lumpur-lumpur sungai yang airnya bening, bermain bersama anak-anak kampung dengan tiada henti canda, tawa, dan keringat.



Bagaimana anak-anak kita sekarang? Lahan-lahan kosong telah berganti menjadi kebun sawit atau perumahan mewah. Tak ada lagi lapangan badminton, arena bermain layang-layang dan air yang mengalir bening. Pestisida dan pupuk kimia merusak tanah. Tapi anak-anak punya mainan baru, Facebook, Twitter, online games, warnet, dan bimbel. Pergaulan fisik diganti oleh dunia maya, statistic, dan ilmu berhitung diganti kalkulator dan software. Dulu kita hanya belajar sembilan mata pelajaran sehingga masih banyak waktu untuk bermain. Bagaimana anak-anak kita?



Bukannya dikurangi, tetapi semakin hari yang dipaksakan masuk ke dalam otak anak-anak kita semakin banyak. Sewaktu saya menulis "Sekolah Untuk Apa?" minggu lalu, saya menyebut anak saya di kelas sepuluh diharuskan menuntaskan 16 mata pelajaran, seorang ibu menyurati saya karena anaknya yang belajar di MI diwajibkan tuntas 23 mata pelajaran. Sementara di New Zealand dan banyak negara maju anak-anak sekolah hanya mengambil 6 mata pelajaran. Ketika mereka menganut spirit "The Power of Simplicity", kita justru tenggelam dalam spirit benang kusut, "kalau terlalu mudah tidak akan melahirkan kehebatan".



Bukan hanya itu, di banyak negara selain dirampingkan, mata ajar wajib juga dibatasi hanya dua, selebihnya dijadikan pilihan yang dikaitkan dengan karier masa depan. Bagaimana di sini? Mata ajar yang banyak itu adalah mata ajar yang "sakral", wajib diambil semuanya. Kesakralan itu sesungguhnya hanya semu saja, karena mata ajar agama disamakan dengan berhitung dan sejarah ala kita, yaitu ala hafal-hafalan. Bukan belajar dari sejarah, tetapi pengetahuan tentang sejarah. Bukan akhlak dan moral dalam beragama, melainkan hafalan ayat. Dan bukan logika matematika, melainkan bagaimana menurunkan rumus. Lengkaplah penderitaan anak-anak kita.



Ubah Cara Pandang

Namun sewaktu saya bercerita bagaimana sekolah di Belanda, Cina, dan New Zealand, ada juga orang tua yang protes. Mereka tak menginginkan sekolahnya dibuat lebih mudah. “Sekolah itu memang harus sulit dan anak-anak harus berjuang,”. Kalau dibuat mudah, bagi orang tua ini, maka sekolah tak akan menghasilkan apa-apa. Saya dapat mengerti pandangan ini karena anaknya termasuk anak yg cerdas, tuntas semua mata pelajaran dengan nilai tinggi. Namun saya kurang mengerti bagaimana orangtua rela menyita seluruh waktu masa muda anaknya hanya untuk belajar.



Mendidik bukanlah untuk melahirkan orang-orang yang bingung, tahu semua tapi selalu bertanya "saya harus melakukan apa?" ini adalah realita, semakin banyak ditemui orang yang tak bisa bekerja dengan prioritas. Anda mungkin pernah mendengar ucapan Stephen Covey, "Dahulukanlah Yang Utama". Atau seperti kata Maxwell, "Bekerjalah dengan prioritas karena 80% hasil yang engkau capai hanya berasal dari 20% upayamu." Orang yang ingin menuntaskan semua tugas (dan banyak) bisa bagus di ijazah tapi bisa bingung dalam kehidupan. Kata para ulama, kesempurnaan hanyalah milik Tuhan. Tetapi seperti Michael Jackson yang sudah sempurna, manusia selalu ingin lebih sempurna lagi, sampai akhirnya rusaklah wajah, tubuh dan kesehatan jiwanya.



Saya juga kurang mengerti kalau pendidik kurang memahami bahwa talenta dan leadership merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan hidup. Untuk itulah talenta harus diasah, diberi ruang ,dan waktu agar ia tumbuh . Leadershipmaupun entrepreneurship diasah dari keseharian di luar bangku sekolah. Diuji dalam interaksi kehidupan.

Tentu saya bertanya-tanya kalau pendidikan kita dibuat lebih ramping apakah benar menjadi lebih baik. Saya selalu teringat masa-masa memulai karir sebagai penguji di program S3. Saat seorang tua, kandidat doktor diuji, yang mengajukan pertanyaan ada 13 orang hebat. Namanya juga orang hebat, pertanyaannya pasti sulit bagi seorang pemula. Tetapi Semua penguji tidak puas, kandidat digoreng kekiri, diongseng ke kanan hingga nyaris hangus. Di ruang rapat semua menyatakan tidak puas. Sebagai doktor muda yang baru kembali dari sekolah doktor saya tak punya suara yang berarti. Saya hanya bertanya,"beginikah cara bapak-bapak menguji seorang calon doktor?"



Semua orang terdiam, dan saya pun terkejut dengan pertanyaan saya. Beberapa orang menatap tajam, karena mereka adalah mantan guru-guru saya dan terkenal di hadapan publik. Karena malu telah berta-kata bodoh, saya teruskan saja berkata jujur. Saya katakan kita harus percaya diri. Ujian dengan penguji sebanyak ini menunjukkan kita kurang pede. Lagi pula tak ada yang bisa lulus dengan ujian seperti ini. Semua dosen hanya marah-marah karena kepintarannya tak dimengerti orang lain, dan memberi saran yang saling bertentangan.



Sayapun mengatakan andaikan saya yang diuji di sini, saya berani jamin saya pun tidak akan lulus. Pertanyaan ujian terlalu luas. Di Amerika Serikat, kita hanya diuji oleh empat orang pembimbing, dan bila kita bingung, kita tidak dibantai, malah dibantu. Di Indonesia, kalau kita membantu mahasiswa kita dianggap berkolusi. Di SLTA negara-negara maju, jumlah mata ajar memang ramping, tetapi sejak remaja mereka sudah biasa membuat makalah dengan kedalaman referensi dan terbiasa bekerja dengan metode ilmiah.



Demikianlah persekolahan kita. Bukannya disederhanakan, justru dibuat menjadi lebih kompleks. Semua mata ajar kita anggap sakral. Buku ditambah. Subjek ditambah. Guru juga ditambah. Saya kadang tak habis berpikir, bagaimana kita bisa menghasilkan kehebatan dari keribetan ini.



Saya tentu tak akan protes kalau dengan sekolah yang ditempa kesulitan ini kita bisa pergi ke bulan. Fakta menunjukkan sebaliknya. Bahkan TKW yang Sekolah Dasarnya ditempuh dengan sama beratnya dengan para dokter saja hanya berakhir di ujung kesulitan. Tidakkah kita bertanya, jangan-jangan ada yang tidak beres dengan kurikulum persekolahan kita?



Saya juga bertanya-tanya, akankah anak-anak dididik dengan baik kalau hanya belajar 6 mata pelajaran seperti di New Zealand, Denmark atau negara-negara industri lainnya? Namun fakta yang saya temui, ternyata pendidikan yang hanya fokus pada enam mata pelajaran itu menempatkan pendidikan New Zealand terbaik keenam di dunia. Rasanya di sana juga tak ada siswa yang kesurupan saat ujian, apalagi contekan massal. Perlukah kita meremajakan cara berpikir kita?



Rhenald Kasali

Ketua Program MMUI



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/412716/4

Monday, July 11, 2011

The Witch's Daughter

I read this book from here.

The story is very good.It is about the witch's daughter named Broccolina who wanted to be as pretty as an angel. The witch and her daughter were mean and ugly. One day the witch went to a faraway land and asked her daughter to stir the magic potion pot. Broccolina didn't like it and said it was not fair. When she was stirring the magic potion,one by one her mom's animal came and Broccolina hurt them. The parts of the animal that was being hurt,stuck on Broccolina's body. The angel who was on the way to the heaven,heard Broccolina's howling and came to see what's wrong. She said that there was no any beauty secret, but if Broccolina was good to the injured animals she would be as pretty as an angel,Broccolina did what the angel said and she became an angel.

Donna

Sunday, July 10, 2011

I Want to be a Paleontologist

Hari Minggu tgl 3 Juli lalu kami ke Pesta Buku Jakarta di Istora, dan nemu ini : woodcraft construction kit, yang kalau dirangkai akan jadi kerangka Apatosaurus. "Kalau aku besar nanti aku mau jadi paleontologist".
Dan sibuklah Donna berpura-pura menggali, seakan-akan menemukan fosil demi fosil.
Tapi merangkai bagian-bagiannya agak sulit, gambar dan petunjuknya cukup membingungkan untuk anak usia 7 tahun. Jadilah dia merekrut asisten (gantian antara Mama & Papanya).


Done!

Thursday, July 7, 2011

Jus Sayur Buah Favorit Kami

Ini adalah jus sayur buah favorit kami yang terdiri dari : bayam, toge, tomat, pisang dan nanas. Sebetulnya karena kental sekali bisa dibilang bukan jus tapi smoothie.
Inilah sarapan pagi kami berempat tiap pagi.